Berita Nasional

Jadi Saksi Ahli, Prof Gde Pantja Astawa: Penetapan Tersangka Petinggi PT IGM Tidak Beralasan

Jadi Saksi Ahli, Prof Gde Pantja Astawa: Penetapan Tersangka Petinggi PT IGM Tidak Beralasan

istimewa
Jadi Saksi Ahli, Prof Gde Pantja Astawa: Penetapan Tersangka Petinggi PT IGM Tidak Beralasan 

Pakar Hukum Administrasi Negara asal Bali ini berpendapat, penetapan CSY, Head of Finance PT IGM yang merupakan anak usaha dari PT Indofarma Tbk sebagai tersangka  oleh Kejati DKI Jakarta tidak beralasan secara hukum. Sebab tidak ada keuangan Negara ataupun kekayaan Negara yang dipisahkan yang digunakan sebagai modal usaha maupun yang berbentuk saham dalam anak dan cucu perusahaan BUMN.
"Dalam konteks ini, jelas dan nyata terjadi pelanggaran HAM, menyangkut hak – hak dalam proses hukum serta tidak ada hak – hak yang didengar sesuai dengan asas Audi et Alteram Partem (mendengarkan dua belah pihak)," ungkap Prof. Pantja Astawa. 

Sementara itu Ahli Pidana Universitas Trisakti Jakarta,  Dr. Maria Silvya Elisabeth Wangga, SH., MH.,   dalam pendapatnya mengatakan, due process of law lahir dari pengakuan HAM sebagai tercantum dalam magna carta. Proses peradilan harus dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dengan tidak membeda-bedakan. 
"Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan bebas, memiliki asas praduga tidak bersalah, dan didampingi penasehat hukum. Sehingga ketika tidak didampingi penasehat hukum dalam pemeriksaan, maka itu bertentangan due process of law. Jadi adanya pelanggaran prosedur," ungkapnya. 
Lebih lanjut ahli yang diajukan pemohon praperadilan ini mengatakan, merujuk KUHAP mengenai hak tersangka, ketika dimulainya penyidikan sebagaimana Putusan MK 130/2014, penyidik wajib memberitahukan SPDP kepada pelapor, korban, dan terlapor dalam waktu 7 hari sejak penyidikan. Sebelum diperiksa sebagai tersangka, terlapor atau calon tersangka harus diberi tahu terlebih dahulu sebagai calon tersangka yang kegunaannya untuk menyiapkan pembelaan. 
"Jika proses tersebut terlewatkan, maka diajukan praperadilan. Jika penetapan tersangka atau pemeriksaan tersangka yang tidak sesuai dengan prosedur, maka itu mengandung kecacatan," tegas Dr. Maria Silvya.
Lebih lanjut dikatakan, KUHAP berlaku untuk semua sistem peradilan pidana, bukan hanya dalam delik pidana umum, tapi juga lex specialis dalam tindak pidana korupsi, yang mana hak tersangka diberikan sejak dari pemeriksaan saksi.  Menurut Dr. Maria Silvya, BAP (Berita Acara Pemeriksaan) paling krusial justru saat pemeriksaan saksi dan harus didampingi penasihat hukum, agar tidak ada tekanan, jebakan, intimidasi dan itu bagian dari  due proces of law, suatu rangkaian peristiwa yang tidak bisa terpisahkan termasuk penerapan pasal dan Undang Undang. “Jika salah, sudah layak untuk diuji di praperadilan, karena MK sendiri dalam putusanya memberikan kesempatan frasa baru dalam kewenangan praperadilan,” pungkas Dr. Maria Silvya.

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved