Berita Bali
Kesejahteraan Petani Jauh dari Kemajuan Pariwisata di Bali, Sulit Membendung Alih Fungsi Lahan
Wakil Gubernur Bali periode 2018-2023 ini menilai, para petani dan sektor pertanian berada di persimpangan jalan.
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Selain Cok Ace, Gede Sedana (Ketua DPD Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Bali), Moe Chiba (Perwakilan UNESCO), I Made Sarjana (Ketua Lab Subak dan Agrowisata, Fakultas Pertanian Universitas Udayana) dan perwakilan dari Komunitas Petani Muda Keren menjadi pembicara dalam acara ini.
Moratorium Jatiluwih
Subak Jatiluwih Tabanan telah mendapatkan status warisan budaya tak benda dari UNESCO pada 29 Juni 2012 lalu.
Namun seiring berkembangnya sektor pariwisata di kawasan tersebut, banyak pembangunan akomodasi wisata di sana.
Ini membuat status yang ditetapkan UNESCO terancam hilang atau dicabut.
Cok Ace menjelaskan status UNESCO bagi Subak Jatiluwih perlu dipahami lebih dalam.
Cok Ace bilang pengakuan UNESCO memberikan keuntungan besar, baik bagi pariwisata maupun sebagai motivasi bagi pemerintah dan masyarakat untuk menjaga warisan budaya tersebut.
“Kalau melihat betul dari hasil subaknya saja, dengan harga gabah Rp 6 juta, hasil per hektarnya 6-8 ton, dan satu kali siklus panen empat bulan bahkan ada yang enam bulan itu hasilnya kurang memadai. Di Bali kan tidak banyak punya lahan pertanian yang luas-luas, seperti bagaimana di Jawa yang hektaran. Bali ini sangat kecil sehingga hasilnya juga kecil,” jelas Cok Ace.
“Nah bagaimana kita memberikan pemahaman kepada para petani bahwa dengan pengakuan UNESCO ini mempunyai kekuatan yang luar biasa, kekuatan sebagai daya tarik pariwisata, mengakses lembaga-lembaga internasional, dan merupakan motivator kita, pemerintah, dan masyarakat untuk menjaga warisan budaya,” imbuhnya.
Untuk menjaga keberlanjutan Subak Jatiluwih, Cok Ace mengingatkan agar konsep pengembangan kawasan ini tidak semata-mata diarahkan untuk mendirikan fasilitas komersial seperti restoran, namun harus diimbangi dengan zonasi yang jelas dan tata ruang yang lebih terencana.
“Kalau dikembangkan sebagai destinasi atau tujuan wisata, jangan semua bikin restoran-restoran, tapi sesungguhnya untuk menguatkan Jatiluwih sebagai objek irigasi subak yang mendapatkan penghargaan UNESCO apa yang mesti disiapkan?,” jelasnya.
Cok Ace mendukung moratorium pembangunan di kawasan Subak Jatiluwih.
Ia bilang, moratorium ini adalah kesempatan baik bagi pemerintah daerah, khususnya Pemkab Tabanan untuk mengevaluasi kebutuhan dan arah pengembangan pariwisata di wilayah tersebut.
“Iya setuju. Moratorium kan bukan berarti dihentikan untuk selama-lamanya. Ini adalah merupakan momentum baik bagi kita. Terutama Pemkab sebagai ujung tombak yang mengeluarkan izin. Apa yang bisa kita lakukan selama 2 tahun sampai 2026, itu biar terlihat, khususnya di Tabanan,” katanya.
Ia menekankan pentingnya kajian selama periode moratorium ini untuk menentukan kebutuhan spesifik kawasan tersebut, sehingga saat moratorium dicabut, pembangunan dapat diarahkan pada fasilitas yang sesuai, seperti homestay yang berkonsep pertanian atau spiritual.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.