Pilkada Karangasem

Dana-Swadi Hormati Proses Demokrasi, Sangat Jauh dari Praktek "Money Politics" 

Prakteknya, ada yang melakukan mobilisasi KTP di seluruh desa, dalih uang bensin, dan berbagai motif lainnya. 

ISTIMEWA
Calon Bupati Karangasem, I Gede Dana. 

TRIBUN-BALI.COM - Isu praktek politik uang atau money politics, kini semakin liar ditengah panasnya situasi politik di Kabupaten Karangasem. Prakteknya, ada yang melakukan mobilisasi KTP di seluruh desa, dalih uang bensin, dan berbagai motif lainnya. 

Namun bagi pasangan calon I Gede Dana-I Nengah Swadi, praktek-praktek seperti itu tak mungkin dilakukan. Karena sejak awal Dana-Swadi sangat konsisten menghormati proses demokrasi, sehingga gaya kampanyenya selalu mengedepankan sosialisasi program yang benar-benar pro rakyat. 

Jika masyarakat Karangasem melihat bagaimana latar belakang calon Bupati Karangasem I Gede Dana, tentu isu politik uang itu kian sulit dipercaya dilakukan Dana-Swadi. Gede Dana merupakan politisi tulen yang lahir desa. Konsisten dalam garis ideologi PDI Perjuangan, hingga dipercaya rakyat menjadi kepala daerah.

Baca juga: Mulia-PAS Jelaskan Ketidakhadirannya di Dialog Kebangsaan Undiknas, Tawarkan Sebuah Solusi

Baca juga: KPU Sudah Punya Cara Atasi Gangguan Sirekap, Wilayah Blank Spot Justru Ada di Denpasar dan Badung

Dia bukan lahir dari kalangan ningrat politik atau pengusaha, yang punya cukup uang untuk melakukan money politics. "Soal politik uang, tim kami sudah pasti tidak melakukan itu, apalagi saya minim anggaran," ujar Gede Dana, Kamis (14/11).

Kuat dugaan isu ini sengaja dibelokkan oleh para pihak lawan politiknya, yang mungkin saja sedang gencar menggalang KTP masyarakat dengan janji realisasi uang. 
Hal itu mencuat di media sosial, setelah beredar luas tangkapan layar chat whatsApp, adanya mobilisasi KTP lengkap dengan nama dan nomor KTP nya. 

"Semoga tidak ada pihak yang sengaja membelokkan fakta, yang sedang mereka kerjakan sendiri," tegas Gede Dana.

Dalam konteks politik uang, kini sudah ada ketentuan baru. Jika ditemukan pelanggaran itu, dilengkapi bukti-bukti yang konkrit, maka sanksi tegas bisa langsung dijatuhkan kepada pemberi maupun penerima. Jika dulu saat pemilu penindakan politik uang baru bisa dilakukan kepada tim kampanye. Namun, sekarang saat pilkada kalau politik uang itu dilakukan orang per orang pun, Bawaslu bisa langsung melakukan penindakan. 

Sanksi pemberi dan penerima politik uang pilkada diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Ketentuan sanksi politik uang dalam konteks ini, diatur pada Pasal 187A, dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 Miliar.

Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat satu. (mit)

 

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved