Berita Nasional

Merefleksi Kembali Ajaran Taman Siswa dalam Sistem Pendidikan Kita

Pendidikan adalah sebuah usaha kebudayaan yang bertujuan untuk menuntun pertumbuhan jiwa dan raga anak.

istimewa
Agus Widjajanto 

TRIBUN-BALI.COM - Pendidikan adalah sebuah usaha kebudayaan yang bertujuan untuk menuntun pertumbuhan jiwa dan raga anak.

Pendidikan juga merupakan media untuk mewujudkan manusia yang merdeka secara lahir maupun batin.

Guru berperan sebagai pamong atau pembimbing yang mendidik murid nya dengan kasih sayang dengan kesadaran personal.

Baca juga: Paket Jaya Siap Mundur jika 3 Tahun Tidak Tuntaskan Masalah Infrastuktur dan Air di Nusa Penida

Guru harus tetap berpegang pada kemampuan dasar siswa/murid dengan mendorong untuk mengungkapkan kemampuan berpikir tapi tetap  berbudi luhur.

Seorang Guru, Dosen, pada semua level pendidikan harus berpikir, berperasaan dan bersikap seperti juru tani, dimana menggarap tanah disesuaikan dengan karakteristik tanah tersebut, tanaman apa yang paling cocok ditanami. 

Baca juga: Deretan Hari Baik Untuk Mulai Memelihara Ternak Selama Bulan Desember 2024 sesuai Kalender Bali

Demikian juga  terhadap siswa/muridnya, seorang guru tidak bisa merubah karakter dari siswa, akan tetapi hanya bisa memperbaiki dan memperindah harmoninya.

Tut Wuri Handayani (Guru memberikan dorongan, semangat kepada muridnya), Ing Ngarso Sung Tulada, Guru dan pemimpin bangsa  didepan rakyatnya. Guru, Dosen didepan  murid/siswa, harus memberikan contoh tauladan yang baik  dalam pengajaran untuk mencetak generasi penerus  yang berbudi luhur, bukan hanya generasi yang cerdas seperti robot sesuai tehnologi kecerdasan buatan A1.

Dimana Moto, Ing Madya Mangun Karsa, yang artinya guru harus membangun motivasi memberikan semangat kepada murid atau siswanya, harus bisa lebih baik untuk nanti mendarma baktikan kepada keluarga, masyarakat  dan Bangsanya.

Semboyan Tut Wuri Handayani yang diabadikan sebagai logo Kementerian Pendidikan  Riset dan Tehnologi (Kemendikbudristek) yang hanya menjadi simbol.

Sistem pendidikannya justru telah mengamputasi semboyan dari pendiri Taman Siswa itu sendiri, dengan menghilangkan mata pelajaran dasar pada pelajaran Bahasa daerah, Pancasila, Sejarah Bangsa dan membentuk karakter siswa sejak dini.

Akibatnya, hasil dari pendidikan yang melupakan pendidikan karakter, adalah menghasilkan generasi yang individual, dan rasa nasionalisme yang luntur, serta budaya sopan santun juga telah hilang. Yang ada adalah sebuah generasi yang arogan  dan merasa paling benar serta lebih  cerdas dibanding generasi orang tuanya.

Melihat fenomena tersebut sebenarnya Pendidikan di  Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Perlu terobosan untuk memperbaiki sistem yang dibangun sejak pasca runtuhnya Orde Baru memasuki era Reformasi yang sudah keluar jalur serta  kebablasan. Harapan ini ditujukan kepada presiden terpilih tahun 2024 agar lebih bisa peka dan tanggap bahwa ada yang salah dan perlu dilakukan terobosan radikal untuk memperbaiki.

Fenomena tersebut tidak bisa dilepaskan karena terjadinya "degradasi moral" dari anak bangsa itu sendiri yang merupakan tugas kita semua. Mengajarkan moral dan etika serta cinta tanah air, sopan santun, rasa berbagi, toleransi antar umat beragama karena Negeri ini terdiri dari berbagai  suku  dengan ratusan bahkan ribuan bahasa daerah.

Harus dimulai sejak usia dini, yang merupakan tugas kita semua seluruh elemen anak bangsa, baik orang tua, guru baik tingkat Pendidikan Dasar, Menengah,  Dosen dan  Guru Besar pada Perguruan Tinggi, Agamawan, Budayawan serta Pejabat Negara pengambil kebijakan. Sementara sistem pendidikan kita dalam proses belajar mengajar sudah dibuat sedemian rupa seperti halnya sistem pendidikan di Eropa.

Dimana pada usia dini sudah dijejali matematika, logaritma, bahasa asing, yang merupakan pelajaran berat yang diajarkan di level pendidikan Menengah Atas atau yang lebih tinggi.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved