Berita Nasional

Merefleksi Kembali Ajaran Taman Siswa dalam Sistem Pendidikan Kita

Pendidikan adalah sebuah usaha kebudayaan yang bertujuan untuk menuntun pertumbuhan jiwa dan raga anak.

istimewa
Agus Widjajanto 

Sementara justru menghapus beberapa mata pelajaran Budi Pekerti, Cinta Tanah Air, penghormatan terhadap guru, sopan santun  dan bahasa daerah  serta sejarah bangsa. Seharusnya tetap melekat pada usia dini karena merupakan dasar dari pada membentuk karakter anak dan manusia seutuhnya dikemudian hari. 

Di Jepang yang merupakan negara maju  dan negara industri, sistem pendidikan di usia dini kelas satu sampai kelas tiga Sekolah Dasar, hanya diajarkan ekstra kulikuler bidang olah raga untuk membentuk tubuh yang sehat, serta diajarkan khusus  pendidikan budi pekerti, sopan santun, sosialisasi sesama teman dan bersih terhadap  lingkungan serta menghormati guru, orang tua, dan cinta budaya  tanah air.

Di Jepang dalam proses belajar tingkat dasar, kelas satu hingga kelas empat, tidak ada ujian seperti di negara kita. Guru memantau karakter dan cara bersosialisasi dalam pergaulan, sopan santunnya terhadap orang yang lebih tua  dan guru. Dengan sistem pendidikan tersebut apakah Jepang menjadi negara terbelakang?

Ternyata tidak, Jepang tetap sebagai negara industri maju, negara kampiun industri mobil, digital, elektronik , dan sumber keuangan dunia.

Berikan kepada siswa di semua strata pendidikan, kebebasan untuk berekpresi dalam berpikir agar menemukan ide-ide baru, melakukan nemukan terobosan baru, tanpa dikungkung oleh aturan dogma, tata cara dan juklak dimana kebebasan berekpresi untuk berpikir. Peran guru dan Dosen hanya sebatas juru tani, memberikan bimbingan dengan cara didepan siswa/mahasiswa memberi contoh, ditengah memberi semangat  dan dibelakang memberi dorongan. Itulah sebenarnya arti semboyan "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.

Jaman saya kecil dulu pada tahun 70-an dengan  sistem pendidikan lama, diajarkan tata cara menulis huruf latin halus, menulis huruf honocoroko yang merupakan bagian sejarah dari bangsa ini, diajarkan sopan santun, unggah-ungguh, hormat terhadap guru serta  orang yang lebih tua dan orang tua.

Saking kerasnya seorang guru mengajarkan disiplin terhadap muridnya agar menjadi manusia yang berahlak bertanggung jawab serta berbudi luhur dan di jaman itu guru sangat dihormati. Coba jaman reformasi sekarang, guru dianggap teman, apabila  ada guru menghukum muridnya disekolah, yang ada guru dilaporkan ke polisi oleh orang tua murid karena dianggap semena mena.

Disinilah telah tejadi pergeseran nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bermasyarakat yang  menafsirkan  sesuai nilai nilai Pancasila  dan ajaran Bapak Taman Siswa, Tut Wuri Handayani, Ing KarsoSun Tulodo. Tidak lagi terdengar diajarkan pada bangku-bangku sekolah oleh guru-guru kita, bahkan lebih berorientasi pada pendidikan yang menguntungkan secara finalcial (Education Bisnis). Jangan  kaget biaya pendidikan  begitu mahal saat ini yang harus ditanggung masyarakat.
Pembelajaran sopan santun, tata krama, sosialisasi cara bergaul  yang dilakukan sejak usia dini  tentu setidaknya akan melekat pola pikir di usia dini dari anak anak kita, agar menjadi pribadi yang luhur, jujur dan penuh toleransi terhadap sesama.  Bahkan sekarang kabarnya ditingkat Perguruan Tinggi rencananya mata kuliah Pancasila dihilangkan di semester pertama  pada beberapa universitas baik negeri maupun swasta.
Hal ini berbanding terbalik dengan masa pemerintahan Orde Baru yang mengajarkan nilai nilai Pancasila lewat program  Eka Prasetya Panca Karsa, untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, pejabat, kaum pendidik, agar bisa memberikan suri tauladan kepada masyarakat diajarkan, apa itu makna dan nilai-nilai dari Pancasila. 
Di dunia dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang seolah olah tidak ada lagi batas negara, dengan kemajuan tersebut hampir semua anak bangsa menggunakan internet, listrik, bahkan masa pandemi covid, dilakukan lock down dirumahkan. Memaksa masyarakat untuk  rapat dan sistem belajar mengajar menggunakan Zoom di internet.
Belum lagi sistem perbankan, bahkan mobil juga bertenaga listrik, yang tentu itu semua bermuara pada sistem kontrol, tergantung  pada Cip yang diciptakan berdasarkan teknologi canggih yang tidak semua negara mampu menguasai dan membuat nya. Jadi seolah-olah kita digiring pada suatu kondisi tertentu secara bersamaan dan merata. Apakah kita pernah membayangkan secara imajinasi saja, pada suatu ketiga terjadi Shotdwon (Mematikan seluruh sistem dan komputerisasi) sedangkan sistem yang dibangun menggunakan teknologi yang belum sepenuhnya kita kuasai.
Harus belajar dari kasus negara Estonia , dimana saat Shootdwon seluruh operasi perbankan dan operasional internet mati, yang berakibat seluruh jaringan mati, dimana Estonia saat itu mengalami kelumpuhan total. Ini harus kita pikirkan bersama, teknologi seolah membuat kita bangga dan hebat, padahal sebetulnya membuat diri kita semakin bodoh karena dikuasai oleh sistem tehnologi tersebut dan kita tidak bisa berbuat banyak kecuali ikut arus sistem tersebut.
Contoh segala internet  pakai pulsa, token listrik, tarik tunai uang dalam perbankan, tranfer, telpon  dan sebagainya. Mau tidak mau kita dipaksa untuk ikuti sistem  dunia tersebut, yang pada titik tertentu bukan tidak mungkin jikalau terjadi turbulensi dalam sistem, berakibat mati total dan lumpuh pada semua sektor.
Bahwa suatu sistem yang dirancang dan diciptakan  salah akan membuat orang baik akan terseret dalam  turbulensi lingkungan  menjadi orang jelek dalam kapasitasnya sebagai warga negara, tapi dengan sistem yang baik, orang yang jelek secara mens rea (niat jahat) akan terkikis dan ikut terseret menjadi baik karena sistem yang bagus .
Demikian juga dalam kehidupan politik, setiap hari dipertontonkan dengan hujatan karena pilihan berbeda dalam politik, ditengah kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, belum lagi pada masa lalu terjadi politik identitas menyangkut keagamaan dalam pilkada, yang menggiring masyarakat pada potensi perpecahan antar umat beragama.

Masyarakat digiring pada opini dikaitkan dengan keagamaan, bahkan surga dan neraka, hal ini akibat dari adanya kebebasan yang tidak dibarengi dengan rasa bertanggung jawab akibat dari pada dirubahnya sistem ketatanegaraan.
Hukum dasar kita yakni UUD 1945 telah diamandemen hingga empat kali, yang merubah format dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung, menggunakan proporsional terbuka dalam sistem pemilihan dalam partai politik, hal ini akan berimbas pada suatu  mata rantai yang saling terkait pada  bidang yang lain, karena cost yang ditimbulkan sangat besar. Tentu bermuara pada saat menjabat akan berorientasi pengembalian modal, dalam masa jabatannya.

Karena sistem proporsional terbuka siapapun calon legislatif, baik berusia muda maupun tua, belum lama masuk partai politik dan dengan pengalaman yang masih sangat minim  boleh mencalonkan diri.Pada akhirnya terjadi politik transaksional, layaknya pada negara sistem liberal yang berorientasi ekonomi kapitalis, yang setiap calon baik calon  kepala daerah, calon legislatif, Bupati, Walikota, Gubernur, bahkan Presiden ditengarai para ahli politik didukung oleh oligarki, yang tentu tidak ada makan siang yang gratis.

Hal ini berakibat pada sistem dan kondisi perekrutan jabatan jabatan strategis, baik di pemerintahan, penegak hukum, perbankan, menjadi ajang transaksional  yang muaranya akan timbul ketidak pastian dalam segala bidang, termasuk dalam bidang penegakan hukum, baik di tingkat penyidikan, penuturan maupun ditingkat peradilan pada Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung.

Masih jauh dari rasa keadilan, yang kerap dijumpai adalah adanya peradilan yang sangat mahal yang harus ditebus oleh para pencari keadilan dan terjadi penjungkir balikkan aturan hukum positif demi kepentingan tertentu,  hal ini diakibatkan oleh, adanya degradasi moral dari anak bangsa dan sistem yang dibangun sudah salah kaprah yang telah dikoyak dan diporandakan   sistem yang  yang ada.

Dibuat dengan konsep baru yang berorientasi pada soko guru negara liberal dengan sistem ekonomi kapitalis, yang telah keluar dari rel konsep lama yang telah dibangun oleh para pendahulu kita, para pemimpin pemimpin kita masa lalu.

Bahkan ada sementara pihak yang beranggapan Pancasila adalah produk Politik Hukum yang lahir pada tgl 1 Juni 1945 dan disahkan pada tgl 18 Agustus 1945. Artinya, Pancasila bukan lagi merupakan Filosofi dan pandangan hidup bangsa yang mengilhami seluruh tatanan bernegara yang telah hidup beribu-ribu tahun sebelum Indonesia Merdeka.

Digali oleh Bung karno melalui ajaran luhur nenek moyang saat Kerajaan Besar di Nusantara, yang merupakan Local Wisdom, diambil dari Kitab Negara Kertagama dan ajaran wulang Reh, tapi merupakan produk hukum yang merupakan politik hukum saat Indonesia Merdeka. Ini yang harus diluruskan kepada Generasi muda  Bangsa oleh para Guru, Dosen, Sejarawan, Budayawan, kaum Agamawan untuk mencetak generasi muda yang berbudi luhur.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved