Berita Nasional

Menguji Jiwa Kenegarawanan Hakim MK dalam Menangani Sengketa Pilkada Serentak Tahun 2024

Menguji Jiwa Kenegarawanan Hakim MK dalam Menangani Sengketa Pilkada Serentak Tahun 2024 

Istimewa
Agus Widjajanto 

TRIBUN-BALI.COM - Hajatan demokrasi terbesar dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik Untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya pada 508 Kabupaten/ kotamadya dan 37 propinsi di seluruh Wilayah Republik Indonesia telah berlangsung, 27 November 2024.

Walaupun hasil dalam  perhitungan cepat sudah bisa kita ketahui bersama dan sekarang masih dalam tahab perhitungan faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada setiap daerah yang telah diawasi oleh Bawaslu.

Baca juga: SIMPEL! Giri Prasta Tanggapi Kemenangan Koster-Giri di Pilgub Bali, Singgung Angelus Bhuwana

Nantinya rekapitulasi lengkap akan diumumkan oleh KPU, apapun hasilnya nanti, tentu ada yang puas dan ada yang tidak puas.

Hal yang wajar dalam hajatan demokrasi, bagi yang tidak puas akan hasil akhir  tentu akan melakukan upaya hukum gugatan pada Mahkamah Kontitusi. 

Mental dan paradigma berdemokrasi masyarakat kita belum selevel seperti pemilihan Presiden Amerika Serikat.

Baca juga: Real Count Pilgub Bali, Koster-Giri Sapu Bersih 1,2 Juta Suara, Mulia-PAS Segini

Dalam Pemilihan Presiden Amerika pada tahun ini, beberapa waktu yang lalu Kemala Harris dari Partai Demokrat mendapat suara 226 suara elektoral dari seluruh negara negara bagian.

Sedangkan Donald Trump dari Partai Republik mendapat suara 312 Suara elektoral dari seluruh negara-negara bagian  dan tidak terjadi konflik hukum gugat menggugat. Dimana Incumbent,  presiden Joe Biden dan Kemala Harris, sudah mengucapkan selamat kepada lawan politiknya yakni Donald Trump dari partai Republik. 

Ini sebagai pembelajaran politik dalam berdemokrasi di negara kita, untuk kedepan. 

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah susahkah masyarakat dan para pemimpin kita, baik dari level tertinggi hingga para calon Kepala Daerah baik Gubernur, Walikota, Bupati beserta team pemenangnya sudah mencapai level kematangan berdemokrasi layaknya Amerika Serikat, bisa menerima kekalahan dengan legowo?

Sepertinya belum, dan konsekwensi dari proses berdemokrasi tersebut adalah melakukan upaya hukum berupa gugatan dalam Pilkada serentak kali ini yang seluruhnya bermuara di Mahkamah Kontitusi dengan sembilan hakim Kontitusi dengan batasan waktu dalam perkara yang telah diatur oleh Undang-undang. 

Mampukah Mahkamah Kontitusi untuk menampung dan mengadili proses gugatan dari seluruh gugatan yang akan diajukan oleh pihak yang kalah yang dipandang telah terjadi kecurangan baik dalam proses perhitungan, selama proses kampanya hingga politik uang yang dianggap sebagai masalah pelanggaran Terstrukture, Masif dan Sistematis? 

Katakanlah secara hitungan kasar dari peserta pemilihan umum dalam Pemilukada, 508 Kabupaten/Kota dan 37 propinsi di seluruh Indonesia yang dilakukan serentak pada tanggal 27 November kemarin, setengah saja dari peserta Pilkada melakukan upaya gugatan di Mahkamah Kontitusi.

Berarti 254 Kabupaten/Kotamadya dan 18 Propinsi, apakah dengan kondisi ruangan dan jumlah Hakim Kontitusi yang ada, batasan waktu, mampu untuk menyelesaikan proses persidangan dalam sengketa Pemilukada ini ? 

Belum lagi dari masyarakat yang mengajukan perkara diluar gugatan Pemilukada  untuk menguji Undang- Undang apakah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Tidak bisa terbayangkan kondisinya. 

Kewenangan Mengadili 
Mahkamah Kontitusi ( MK ) melalui putusannya Nomor: 97/PUU-XI/ 2013 menyatakan tidak lagi berwewenang untuk mengadili perselisihan hasil Pemilukada karena secara limitatif disebutkan dalam pasal 24 C UUD 1945, hanya memberikan kewenangan untuk mengadili perkara pemilihan umum saja dan tidak termasuk Pemilukada. 

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved