Berita Nasional

Refleksi Akhir Tahun 2024, Penegakan Hukum di Indonesia

Dua bulan menjelang akhir tahun kita dikejutkan dengan ditangkapnya Mantan Pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar

istimewa
Agus Widjajanto 

Apakah menyelamatkan uang negara  atau melakukan proses pidana sebagai unsur pembalasan dalam delik pidana? 

Ini juga harus jelas kemana sebenarnya tujuan paling utama. 

Kedua: Naikan tunjangan dan gaji para penegak hukum tersebut 500 persen , agar mereka lebih tenang bekerja dan mencukupi kebutuhan keluarganya. 

Ketiga: Harus diback-up dari pemimpin yang paling tinggi dalam pemerintahan dalam hal ini Presiden, yang harus bisa memberikan suri tauladan, Tut Wuri Handayani, Ing Ngarso Sun Tulodo kepada aparat penegak hukum dan dengan tegas akan memberikan sangsi apabila ada aparat yang terbukti melakukan korupsi datau penyimpangan.

Ini harus dimulai dari lingkungan presiden terlebih dahulu, dengan jaminan tidak lagi melakukan kriminalisasi terhadap lawan lawan politiknya.  

Memberikan otoritas yang penuh kepada satu lembaga yang dianggap kredible dan didukung dengan regulasi perundang-undangan untuk melakukan tindakan terhadap para aparat penegak hukum, baik pada kepolisian, kejaksaan, maupun pada hakim pada semua tingkatan yangv melakukan korupsi.

Ini merupakan pekerjaan rumah Presiden Prabowo Subianto untuk berani mengambil gebrakan demi terciptanya keadaan yang lebih baik dalam peradilan kita untuk mencapai bahwa hukum sebagai panglima. 
Jangan sampai "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" ditafsirkan dan diplesetkan masyarakat yang merasa kecewa menjadi "Demi Keadilan berdasarkan Keuntungan yang Lebih  Besar".  

Angin segar telah digulirkan pada Acara Golkar oleh Presiden Prabowo Subianto tentang wacana Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan kepada DPRD, karena menimbulkan cost biaya besar mencapai  triliunan yang harusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. 

Menengok kebelakang tentang  sejarah terbentuk nya negara ini, yang dikaitkan dengan Sila dari Pancasila.  Mr. Soepomo dengan ide negara Integralistik, menguraikan bahwa negara ini dibentuk berdasarkan ide dari Pemerintahan Desa dalam adat di Indonesia, tapi dalam lingkup Nasional atau Negara.

Pemimpin Desa atau Kepala Desa dipilih berdasarkan musyawarah mufakat dalam Rembuk Desa yang dihadiri oleh tokoh agama, pemuda, adat, perwakilan dusun, untuk mengambil keputusan bersama dalam jalannya pemerintahan saat itu.

Hal ini di implementasikan melalui sila ke-empat dari Pancasila yang berbunyi "Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat, Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan".

Dilambangkan kepala Banteng yang bermakna komunitas banteng ini suka berkumpul dalam kelompok dan selalu mengambil keputusan secara musyawarah dan mufakat dari semua yang hadir. 

Jadi  sejak awal negara ini berdiri tidak pernah dikenal dengan pemilihan langsung kepala daerah maupun Presiden dan Wakil Presiden, yang ada adalah pemilihan Partai Politik. Hasil dari pemilihan tersebut dilakukan musyawarah dan bermufakat untuk memilih pemimpin baik kepala daerah,  Gubernur, Bupati atau Walikota  maupun Presiden dan wakil presiden.

Untuk itulah dibentuk sebuah lembaga tertinggi yang merupakan manifestasi dari keterwakilan rakyat yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Format Rembuk Desa ini telah dihancurkan oleh kaum reformis dengan mengatasnamakan demokrasi, padahal pemilihan langsung adalah produk Demokrasi Liberal dalam sistem Liberal pada negara Kapitalis, bukan pada sistem Negara Pancasila. 

Dengan keputusan politik melalui politik hukum yang berani, hal ini harus dikembalikan pada format awal pada berdirinya negara ini, yang tentu hal ini karena menyangkut cost yang sangat besar.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved