Berita Nasional

Hegemoni Indonesia Kedepan dan Falsafah Kepemimpinan yang Kuat

Bangsa ini pernah menjadi bangsa yang sangat perkasa hingga kekuasaannya meliputi seluruh teritorial negara Asia Tenggara

istimewa
Agus Widjajanto 

TRIBUN-BALI.COM - Bangsa ini pernah menjadi bangsa yang sangat perkasa hingga kekuasaannya meliputi seluruh teritorial negara Asia Tenggara saat ini yakni, Vietnam, Kamboja, Filipina, Semenanjung Malaya, Singapura, Brunei dan Kepulauan Indonesia sendiri saat ini.

Ini bukan hanya dimulai pada era kejayaan Imperium Majapahit pada abad ke-12 , tapi sejak Kerajaan Medang Kemulan (Mataram Hindu) pada abad ke-7 Masehi hingga pemerintahan Singosari pada abad ke-11 Masehi. 

Baca juga: 582 GEMPA Bumi Mengguncang Bali Sepanjang Tahun 2024, Dominan Gempa Dangkal, Ini Penjelasan BMKG

Demikian juga setelah Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan sebagai sebuah Bangsa dan lahirnya Negara Kesatuan RI terbebas dari cengkeraman Imperialisme saat itu dan era dimana pada awal pemerintahan Orde Baru, hingga bertahan 32 tahun. 

Harus jujur dikatakan mencapai jaman keemasan dimana Indonesia sebagai Negara Macan Asia dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dengan stabilitas politik yang stabil serta mampu berswasembada pangan  dan menjadi tuan di negeri sendiri dalam bidang seni budaya, sandang, pangan dan papan. 

Baca juga: PMI Asal Canggu Meninggal di Jepang, I Nyoman Sudiana Diketahui Berstatus Overstayer

Semasa Presiden Soeharto berkuasa, falsafah kepemimpinan Jawa cenderung dijadikan inspirasi untuk memaknai kemerdekaan dengan membangun perekonomian dan stabilitas politik Nasional.

Presiden Soeharto saat itu menerapkan dan berpedoman pada falsafah  Tri Darma yang diambil dari Pangeran Samber Nyawa Raden Mas Said (Mangkunegoro 1), dimana dalam falsafah nya beliau mengajarkan harus senantiasa merasa turut memiliki dan melindungi negara. 

Falsafah Tri Darma diterapkan oleh pemimpin Orde Baru saat itu dalam upaya menjaga stabilitas politik, hingga terciptanya perdamaian dan falsafah tersebut sejalan dengan falsafah dari Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX yakni, Hamengku, Hamangku dan Hamemgkoni. 

Hamengku: Seorang pemimpin senantiasa harus melindungi seluruh rakyat secara adil tanpa membedakan golongan, ras, agama, strata sosial. 

Hamangku: Pemimpin senantiasa memberikan darma bakti pada seluruh rakyat dimana lebih banyak memberi dari pada menerima.

Hanengkoni: Seorang pemimpin harus bisa memberikan teladan bagi seluruh rakyat dan harus berani memikul tanggung jawab beserta segala resiko. 

Dalam buku butir - butir Budaya Jawa yang ditulis oleh almarhum Presiden Soeharto, mengulas bagaimana sejatinya hidup dan kehidupan dalam masyarakat berbangsa dan bernegara, baik secara pribadi sebagai warga negara maupun dalam kaitan tanggung jawabnya sebagai masyarakat.

Untuk mencapai kesempurnaan hidup (Hangayuh Kasempurnaning Urip), Ngudi Sejatining Becik (Apa yang kita tanam maka kita akan ngunduh atau  menuai sesuai apa yang menjadi  amal kebaikan  kita). Budaya gotong royong dimana merupakan implementasi dari nilai - nilai Pancasila.

Kita harus memberikan bantuan, sokongan, cinta kasih kepada sesama yang membutuhkan  sebagai bagian dari hidup  dan  tugas kita sebagai hamba Tuhan pada alam semesta dan harus membuat kebajikan (Memayu Hayuning Bawono).

Kita bisa pelajari dari makna yang terkandung dalam huruf Honocoroko, yang pada setiap huruf dan katanya mempunyai makna falsafah spiritualistis  dari mana kita berasal, setelah lahir didunia untuk apa dan setelah mati kita kemana. 

Namun sayangnya,  seiring perkembangan waktu dan jaman, ajaran - ajaran kepemimpinan dalam falsafah leluhur Jawa tersebut dilupakan. Generasi muda lebih tertarik pada falsafah kepemimpinan demokrasi ala Barat, yang sebenarnya bukan budaya dan tata cara dari demokrasi kita sebagai Bangsa Indonesia.

Dalam memasuki era globalisasi menuju dan menyongsong Indonesia kedepan yang oleh presiden terpilih  pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menyatakan "Menyongsong Indonesia Emas" tidaklah semudah membalikan telapak tangan untuk mencapai harapan tersebut.

Perlu kerja keras dan partisipasi seluruh elemen bangsa, baik pejabat, dunia usaha dan para pendidik, baik ditingkat Sekolah Dasar dan  sampai Perguruan Tingggi baik sekolah negeri maupun swasta, kaum agamawan, Budayawan (Penulis) dan anak - anak muda milenial yang kerap membuat kreator di media social dan tentu dari TNI dan Polri sebagai penyangga pertahanan dan keamanan.  

Semuanya bahu membahu bersatu menuju yang dicita-citakan – citakan,  mencapai  Indonesia Emas seperti yang didengungkan pada  pemerintahan Presiden Prabowo Subianto  yaitu sejahtera, adil makmur, gemah ripah loh jinawi, untuk seluruh rakyat.

Membicarakan perjalanan dan sejarah sebuah Bangsa tidak bisa dilepaskan dari sifat atau karakter dari para pemimpinannya dalam memimpin, termasuk Indonesia. 

Pada masa lalu saat di Jawa dan Nusantara ini berdiri kerajaan - kerajaan besar, kerajaan di Jawa sejak abad ke-7 telah menguasai Asia Tenggara. Hal ini untuk meluruskan sejarah, dimana ada yang  menganggap bahwa ekspansi Majapahit setelah Mahapatih Gajah Mada melakukan Sumpah Amukti Palapa, baru bisa menyatukan Nusantara adalah tidak tepat. 

Raja - raja sebelumnya, baik pada Kerajaan Medang (Mataram Hindu) pada abad ke-8, telah menguasai Kamboja. Ini bisa dilihat dari prasasti "Sdok Kak Thom" (Tahun 802 Masehi) yang isinya pertalian sejarah antara kerajaan Kmer Kamboja dengan Jawa. Dalam prasasti tersebut tertulis "Yang Mulia Parameswara telah datang dari Jawa kemudian jadi Raja di dikerajaan Indrapura". 

Kata Jawa tidak hanya didapatkan dari prasasti Sdok Kak Thom, akan tetapi juga ditemukan dalam prasasti Vat Samrong, disamping prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayawarman II, prasasti Yang Tikuh yang tertulis tahun 799 Masehi. Isinya, kerajaan Kmer telah diserang oleh pasukan dari Jawa dan ini berlanjut hingga abad ke-11 akhir, saat Raja Singosari Kertanegara memberikan adik kandungnya,  Ratu Pakasi untuk menjadi permaisuri Raja Jayawarman ke-6. Nantinya dari Cicit Ratu Pakasi ini ada yang merantau ke Jawa dan menyebarkan agama Islam yang lebih dikenal dengan Raden Rahmat Sunan Ampel di Ampel Denta, Surabaya,  yang merupakan keponakan dari Ratu Dwarawati, istri dari Prabu Brawijaya V Majapahit

Tidak hanya itu di Philippina juga ditemukan prasasti Keping Tembaga, tertulis pada tahun 822 Saka atau 900 Masehi mengunakan bahasa sansekerta, yakni bahasa Jawa Kuno yang ditulis dengan aksara Kawi. isinya adanya pernyataan hutang emas kepada Raja Medang (Mataram Hindu). 

Kejayaan Nusantara ini pada waktu dan saat yang tepat sesuai perputaran siklus jaman (Cakra Manggilingan), kejayaan sebuah bangsa setiap 600 tahunan akan terwujud kembali. Sebetulnya, bangsa kita juga dikenal sebagai bangsa pelaut ulung, yang sering  melakukan ekpansi kekuasaan kewilayah lain. 

Sedangkan  falsafah yang diterapkan para pemimpin masa lalu yakni raja - raja besar saat itu, adalah "Adil Paramarta" baik dalam hukum negara, hukum agama, maupun hukum sosial dan politik.

Antara lain yang menerapkan sifat Adil Paramarta adalah, Raja Ratu Shima, abad ke-7 Masehi, Raja Samaratungga (Raja Medang tahun 1812- 833 M), Rakai Pikatan/Mpu Manuku (Medang tahun 838 - 885 M), Mpu Sendok (Raja Medang tahun 929 - 947 ),  Raden Wijaya (Dyah Wijaya, Raja Majapahit 1293- 1247 Masehi) dan Ratu Tribuwana Tunggal Dewi (Raja Wilwatikta Majapahit 1328 - 1350). 

Falsafah Adil Paramarta  dilakukan Ratu Shima saat menjatuhkan hukuman kepada setiap orang tanpa kecuali, termasuk terhadap putra mahkotanya yang mengambil dan menggeser tempayan uang pemujaan di perempatan jalan.

Raja Samaratungga menikahkan putrinya sendiri yakni Dyah Kusumawardani dengan Mpu Manuku yang dalam sejarah dikenal dengan Resi Gunadarma  atau yang dikenal dengan Rakai Pikatan yang berjasa membangun Candi Jinalaya (Candi Borobudur).

Raja Samaratungga memberikan apresiasi atas jasa Mpu Manuku sebagai arsitek dan kepala proyek pembangunan candi Budha terbesar tersebut meskipun Mpu Jinalaya ( Rakai Pikatan ) bukan beragama Budha Hinayana tapi beragama Hindu

Disamping menerapkan  falsafah Adil Paramarta, para raja besar di Jawa dan Nusantara ini juga menerapkan falsafah Memayu Hayuning Bawono, yang artinya adalah menjaga kelestarian dunia (Jagad Raya). Dalam pandangan spiritualitas Jawa terdiri dari Jagad Cilik (Mikrokosmos) dan Jagad Gede (Makrocosmos).

Mikrokosmos terdiri dari seluruh alam beserta isinya seperti manusia, hewan, tumbuhan, gunung, lautan, sungai. Sementara Macrokosmos berarti wilayah negara, bumi seutuhnya dan alam semesta (Galaksi Bima Sakti). 

Selain itu, raja - raja terdahulu juga menerapkan falsafah Manunggaling Kawulo Gusti, konsep falsafah kepemimpinan Jawa bukan hanya dimaknai kemanunggalan antara hamba dan Tuhan secara Jagad Cilik, akan tetapi harus dipahami sebagai hubungan antara rakyat  dengan pemimpinannya.

Raja yang menerapkan falsafah kepemimpinan tersebut dianggap raja yang merakyat. Falsafah kepemimpinan Manunggaling Kawulo Gusti tidak hanya diterapkan pada masa Mataram Hindu hingga Medang Kediri dan Singosari sampai Majapahit akan tetapi juga diterapkan hingga Mataram Islam. Falsafah ini diterapkan oleh Hamangkubuwono ke IX , saat pra kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan. 

Falsafah kepemimpinan Jawa senantiasa berlatar belakang pada budaya dan agama/ spiritual Jawa. 

Faktor inilah yang membedakan antara falsafah kepemimpinan Jawa dengan falsafah kepemimpinan dari daerah lain di Indonesia  dan negara - negara lain di dunia.

Pada hakekatnya, falsafah tersebut dipahami sebagai pedoman untuk menjadi pemimpin berjiwa Jawi, yang artinya seorang pemimpin harus punya sikap, sifat, dan pemikiran yang mencerminkan kepribadian orang Jawa.

Adapun seorang pemimpin berjiwa Jawi senantiasa harus mampu menerapkan sikap bijaksana, diantaranya yaitu: 

1. Adil Ambeg Paramarta. Pemimpin harus bisa membedakan urusan penting dan tidak serta harus bersikap adil, harus menghilangkan urusan yang bersifat pribadi. 

2. Berbudi Bawa Laksana. Pemimpin Harus bermurah hati serta teguh memegang janji pada rakyat sesuai kampanye nya saat pilihan umum dan saat sumpah janji pelantikan jabatan yang diembannya sebagai raja. 

3. Wicaksana. Pemimpin harus bijaksana  dalam mengambil segala  keputusan kenegaraan. 

4.Eling lan Waspodo. Pemimpin sejatinya sebagai abdi rakyat, yang harus memenuhi dan mewujudkan aspirasi rakyat. 

5 Panditho Ratu. Pemimpin harus mempunyai sifat Sabdo Panditho Ratu, yang mempunyai makna memiliki watak Panditho sekaligus Raja  sebagai hamba Tuhan juga sebagai abdi masyarakat. Dengan demikian tugasnya sebagai raja adalah sebagai Dharma dalam kehidupannya untuk menyejahterakan rakyat  dan pengabdian pada Tuhannya. 

Pada Era pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, kearifan lokal melalui ajaran luhur tentang kepemimoinan Nasional juga di ajarkan oleh pendiri perguruan/pendidikan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantoro, agar para pemimpin senantiasa memberikan contoh dan tindakan yang baik kepada bawahan atau masyarakat dan guru juga memberikan contoh yang mulia. 

Disamping mengajarkan falsafah luhur seperti: Ing Ngarso sung Tulodo dan  Tut Wuri Handayani. 

Demikian juga saat era Mataram Islam, Raden Mas Said Pangeran Samber Nyowo, Raja Pura Mangkunegoro I, juga mengajarkan falsafah hidup, Hangayomi, Handarbeni, Hangajeni yang arti atau maknanya: 

Hangayomi, memberikan perlindungan kepada orang lemah, rakyat seluruhnya tidak membedakan dari kasta, ras, suku dan agama  keyakinan  apapun.

Handarbeni, ikut turut serta memiliki atas dunia ini dan lingkungan serta negara ini, agar bisa berjalan dalam keadaan baik dan stabil. 

Hangajeni : memberikan rasa hormat kepada siapapun tanpa memandang kasta, pangkat, golongan, suku dan agamanya. 

Sifat dan rasa toleransi tersebut sekarang ini dianggap telah luntur oleh jaman, orang hidup dengan sifat individualitas, rasa gotong - royong telah hilang  akibat gempuran dan pengaruh dari budaya asing yang telah mempengaruhi seluruh sendi - sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa  dan  negara ini sudah menjadi negara Liberal, bercorak sebagai negara Kapitalis  bukan lagi negara yang berbudaya Indonesia yang berdasar Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup bangsa. 

Itulah menjadi tugas dari pemimpin kedepan dari bangsa ini untuk mengembalikan lagi ruh Keindonesiaan dari bangsa yang beradab dan berbudaya ketimuran. 

Apabila pemimpin kedepan mempunyai sifat dan watak serta karakter sesuai falsafah kepemimpinan Jawa Jawi diatas maka untuk mencapai dan menuju Indonesia Emas rasanya semakin ringan. 

Mendapat dukungan oleh seluruh rakyat serta seluruh elemen bangsa ini menuju yang dicita-citakan oleh UUD 1945, yang senantiasa berpedoman pada Pancasila  dalam semua aspek kehidupan . Semoga, inilah harapan kami dan harapan seluruh rakyat. 

 

Penulis: Agus Widjajanto 

Praktisi hukum, pemerhati masalah sosial, politik, budaya dan sejarah

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved