Seni Budaya
Dwipa Ceritakan Keresahan Tergerusnya Budaya Bali Melalui Karya 'Hanuman Last Dance'
Seni lukis kerap kali menjadi wadah untuk mengungkapkan keresahan, akan isu-isu yang berkembang.
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Bermula dari kondisi di lingkungan sekitar yang pada saat itu berada dalam lingkup desa, tetapi sudah ada perkembangan teknologi yang masuk.
Ini membuat anak-anak di lingkungannya yang dulu masih melakukan aktivitas di luar ruangan, kini malah kalah oleh alat hiburan 'All In One', yang lengkap dalam sebuah genggaman.
Dampaknya, budaya Bali dianggap kuno, bahkan anak-anak kini seperti merasa malu terlibat dengan budaya Bali, seperti saat kegiatan gotong-royong di mrajan maupun Pura.
"Keresahan ini bermula saat saya menasehati keluarga tedekat, ketika sedang bermain ponsel. Awalnya dia diminta bantuan untuk membuat anyaman ketupat untuk sarana upakara di pura. Tetapi dia malah menolak dan lebih memilih ponsel itu sendiri," ungkapnya.
Tak hanya itu, ia juga kerap kali mendengar orang tua menasihati anaknya, seperti “Yen sing Gus nglanjutang merajanne, nyen ke tunden? Masa ajik ane be lingsir.” Sehingga dari sini dapat dilihat bahwasanya anak-anak dari hal sederhana saja sudah mulai malas melakukannya.
"Lebih lucunya lagi anak-anak di lingkungan saya rela menahan lapar hanya demi bermain HP seharian," imbuhnya.
Dwipa menegaskan, ia sendiri sejatinya tidak alergi dengan perkembangan teknologi. Namun melalui karya ini, ia berharap perkembangan teknologi tidak membuat orang-orang, terutama generasi muda melupakan Budaya Bali.
"Perkembangan teknologi memang bagus, tetapi kita juga perlu menyaring mana yang baik dan buruk serta diharapkan untuk lebih peduli terhadap budaya Bali," tandasnya. (*)
Berita lainnya di Seniman Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.