Berita Buleleng

GURU Khawatir Terhadap Hukuman & Stigma Sosial, Salah Satu Penyebab Disleksia Anak SMP di Buleleng

Atas kondisi yang terjadi, pihaknya akan berkoordinasi dengan kepala sekolah untuk memberikan jam khusus pada siswa.

Tribun Bali/Muhammad Fredey
BERI KETERANGAN - Plt Kepala Disdikpora Buleleng, Putu Ariadi Pribadi saat memberikan keterangan mengenai masalah disleksia di Buleleng. Ia mengungkapkan banyak faktor penyebab, salah satunya intimidasi terhadap guru. 

TRIBUN-BALI.COM  - Kekhawatiran guru terhadap ancaman hukuman dan stigma sosial, dinilai menjadi salah satu penyebab banyaknya siswa SMP di Buleleng mengalami gangguan belajar (disleksia).

Hal tersebut diungkapkan Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng, Putu Ariadi Pribadi saat ditemui Senin (14/4).

Ariadi mengatakan, pihaknya telah melakukan pendataan ihwal siswa SMP di Buleleng yang mengalami gangguan belajar (disleksia). Diakui ada beragam faktor yang menyebabkan siswa mengalami gangguan belajar. 

Ariadi mengatakan, secara umum masalah disleksia ini dibagi menjadi dua faktor, yakni internal dan eksternal. Faktor internal meliputi motivasi belajar yang rendah, kemampuan kognitif atau kemampuan untuk memahami, gangguan belajar, hingga kurangnya minat membaca. 

Baca juga: TEWAS di TKP! Sumarmi Terlibat Kecelakaan Sepeda Motor Vs Truk di Jalur Tengkorak Gilimanuk Bali

Baca juga: POLISI Dalami Penganiayaan Pecalang oleh Pemedek saat IBTK di Besakih, Pelaku Tersinggung Diarahkan!

ILUSTRASI - Kekhawatiran guru terhadap ancaman hukuman dan stigma sosial, dinilai menjadi salah satu penyebab banyaknya siswa SMP di Buleleng mengalami gangguan belajar (disleksia).
ILUSTRASI - Kekhawatiran guru terhadap ancaman hukuman dan stigma sosial, dinilai menjadi salah satu penyebab banyaknya siswa SMP di Buleleng mengalami gangguan belajar (disleksia). (ABBAS MOMANI via Kompas.com)

Sedangkan faktor eksternal, lanjut Ariadi, meliputi efek jangka panjang pembelajaran jarak jauh (PJJ), kesenjangan literasi dari jenjang SD, pemahaman keliru tentang kurikulum merdeka, dampak lingkungan dan keluarga siswa, hingga beban tambahan guru mengurus administrasi sehingga tidak fokus mengajar. 

"Selain itu ada kekhawatiran guru terhadap ancaman hukum dan stigma sosial," ucapnya.

Lanjut dijelaskan, guru saat ini cenderung hati-hati, bahkan enggan menegur siswa maupun memberi tindakan disiplin. Ini karena guru khawatir dipidanakan atas dasar pelanggaran HAM maupun dianggap melakukan intimidasi. "Hal ini menurunkan keberanian guru dalam menerapkan disiplin akademik. Termasuk mempertahankan siswa yang belum memenuhi kompetensi," ujarnya. 

Selain itu, guru juga kerap mendapat tekanan sosial dan politik. Pernyataan-pernyataan publik yang menyudutkan guru seperti yang dilakukan tokoh masyarakat ataupun tokoh berpengaruh lainnya, membuat guru merasa disalahkan terus-menerus. "Ini menciptakan ketakutan dan tekanan psikologis, serta mengurangi inisiatif guru dalam menjalankan peran secara profesional," ungkapnya. 

Kata Ariadi, total jumlah siswa SMP di Buleleng sebanyak 34.062 orang. Dari jumlah tersebut 155 siswa di antaranya terkategori tidak bisa membaca (TBM) dan 208 siswa terkategori tidak lancar membaca (TLM). 

"Jika dibandingkan antara jumlah total 34.062 siswa SMP, maka persentase siswa dengan kemampuan membaca rendah sebanyak 0,011 persen. Secara rinci, 227 siswa ada di kelas VII, 90 siswa di kelas VIII, dan 46 siswa di kelas IX," sebutnya

Atas kondisi yang terjadi, pihaknya akan berkoordinasi dengan kepala sekolah untuk memberikan jam khusus pada siswa. Sehingga siswa bisa mendapat pendampingan dalam mengenal huruf, belajar menulis, sehingga bisa membaca. 

"Mungkin nanti kita coba evaluasi 3 hingga 6 bulan ke depan, sehingga dari 363 ini berapa yang bisa membaca," katanya.

Tak hanya di jenjang SMP, pihaknya juga melakukan pendataan pada jenjang SD, khususnya bagi siswa di kelas IV, V, dan VI. "Itu kita harus ketahui sebagai langkah mitigasi. Sehingga tidak lagi di SMP belum bisa membaca," ujarnya. 

Mengenai saran dari Ketua DPRD Buleleng memanfaatkan dana BOS untuk bimbel, Ariadi mengaku kondisi ini memungkinkan dilakukan apabila melibatkan pihak ketiga. Seperti relawan, atau kursus dari lembaga-lembaga pendidikan. 

"Kalau memanfaatkan guru tidak bisa menggunakan dana BOS, karena itu merupakan tugasnya. Namun akan kita coba dorong dulu melalui guru, kita akan koordinasi. Kalau guru masih ada waktu untuk itu (les) kita optimalkan guru. Tapi kalau guru sudah kekurangan waktu, kita coba cari jalan keluar dengan pihak ketiga untuk bisa memberi pendampingan," tandasnya. (mer)

RAPAT KOMISI - Ketua DPRD Buleleng, Ketut Ngurah Arya saat menghadiri rapat Komisi IV DPRD Buleleng bersama Disdikpora Buleleng. Ngurah Arya menyarankan agar dana BOS bisa digunakan untuk memberikan bimbel, menindaklanjuti masalah disleksia pada anak SMP di Buleleng.
RAPAT KOMISI - Ketua DPRD Buleleng, Ketut Ngurah Arya saat menghadiri rapat Komisi IV DPRD Buleleng bersama Disdikpora Buleleng. Ngurah Arya menyarankan agar dana BOS bisa digunakan untuk memberikan bimbel, menindaklanjuti masalah disleksia pada anak SMP di Buleleng. (Tribun Bali/Muhammad Fredey)

Sarankan Manfaatkan Dana BOS

Sebelumnya, Ketua DPRD Buleleng, Ketut Ngurah Arya menyarankan agar dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bisa dimanfaatkan untuk bimbingan belajar (Bimbel) siswa. Upaya ini menindaklanjuti tingginya angka siswa SMP yang mengalami gangguan belajar (disleksia). 

Hal ini terungkap dalam rapat kerja Komisi IV DPRD Buleleng dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora), Senin (14/4). Ada beberapa permasalahan yang diungkap pada rapat tersebut, salah satunya mengenai disleksia yang dialami ratusan pelajar SMP di Buleleng

Kepada awak media, Ngurah Arya tak memungkiri masih ada beberapa permasalahan dalam dunia pendidikan. Salah satunya siswa SD dan SMP yang belum bisa ataupun tidak lancar membaca. 

Untuk menindaklanjuti masalah disleksia, pihaknya menilai dana BOS harus di-split untuk kepentingan bimbingan belajar. Menurutnya sepanjang itu untuk pendidikan tidak ada masalah. Ngurah Arya juga mengaku saran ini sudah sempat disampaikan melihat fenomena yang ada.  "Cuma sekarang bagaimana kesiapan seorang tenaga pendidik termasuk juga di sekolah-sekolah ketika ada anak-anaknya yang begitu," tandasnya. (mer)


Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved