bisnis
GULUNG Tikar 60 Perusahaan Tekstil! Produk Impor Pakaian Makin Masif, API: Industri TPT Sedang Sakit
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana menggambarkan kondisi bisnis pada industri TPT sedang sakit.
TRIBUN-BALI.COM - Penundaan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor dikhawatirkan bisa memberikan dampak besar terhadap kelangsungan usaha industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Kekhawatiran lain yang dapat muncul adalah potensi bertambahnya jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), konsumsi publik melambat yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana menggambarkan kondisi bisnis pada industri TPT sedang sakit. Penyebabnya, Permendag yang diterbitkan pada tahun lalu itu membuat produk impor, khususnya produk pakaian jadi, semakin masif di Indonesia.
Baca juga: KISAH 2 Mahasiswa UPMI Lulus Tanpa Skripsi, Windari Buat Buku Sastra, Dede Tulis Karya Jurnalistik
Baca juga: DETEKSI Pelaku Tawuran hingga Ledakan, Robot Polisi Unjuk Aksi di HUT Bhayangkara Ke-79
“Dengan adanya penundaan (revisi Permendag 8/2024) ini maka semakin menguatkan adanya hidden agenda dalam meloloskan barang jadi ke dalam negeri. Ini sangat merugikan pelaku usaha industri TPT,” ujarnya.
Data API dalam dua tahun terakhir tercatat ada sekitar 60 perusahaan tekstil padat karya yang harus gulung tikar dengan jumlah karyawannya mencapai puluhan ribu.
Lalu secara karakteristik industri TPT ini menyerap jutaan tenaga kerja di daerah dengan tingkat pendidikan rendah hingga menengah serta sebagiannya adalah UMKM. Data BPS 2024, latar belakang pendidikan pekerja di industri TPT terbanyak dihuni oleh tamatan SD (23,22 persen). Selanjutnya diikuti tamatan SMA (21,38 persen) dan SMP (17,47 persen).
Melihat fakta seperti itu, Danang sangat berharap pemerintah dapat memberikan kepastian terhadap revisi Permendag/2024.“Dengan semakin lama menunda maka semakin berat buat industri yang pada akhirnya bisa berdampak terhadap peningkatan jumlah PHK,” kata Danang.
Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan keputusan tersebut mempertimbangkan keterbatasan pasokan dalam negeri.“Kapasitas produksi nasional belum mencukupi kebutuhan industri pengguna.
Sebagian besar produsen juga memproduksi untuk keperluan sendiri,” ujarnya, belum lama ini.
Ia menambahkan, sektor hulu TPT saat ini telah dikenai sejumlah trade remedies, seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) berdasarkan PMK No. 46/2023, serta BMAD atas polyester staple fiber dari India, Tiongkok, dan Taiwan melalui PMK No. 176/2022.
Menurut Budi, jika BMAD tetap diberlakukan pada benang filamen sintetis tertentu, justru akan menaikkan biaya produksi sektor hilir dan menurunkan daya saing industri secara keseluruhan. Apalagi, industri TPT tengah menghadapi tekanan akibat dinamika geoekonomi, tarif resiprokal AS, dan tutupnya beberapa pabrik.
Sementara itu, peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Mohamad Dian Revindo, usai Kementerian Perdagangan (Kemendag) membatalkan konferensi pers terkait deregulasi atau revisi Permendag 8/2025 pada Rabu (25/6).
Revindo mengatakan sejauh ini kontribusi industri TPT terhadap PDB manufaktur nasional sekitar 5,8 persen, tetapi kontribusinya terhadap kesempatan kerja mencapai 18,35%. Fakta tersebut menunjukkan, sektor TPT merupakan salah satu sektor penopang industri manufaktur dan lebih penting lagi sebagai benteng penyedia lapangan kerja.
“Peran ini sangat penting di tengah maraknya PHK dan banyaknya pengangguran. Jangan lupa bahwa total 3,9 juta pekerja di seluruh industri TPT adalah juga konsumen yang harus dijaga daya belinya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Melindungi pekerjaan mereka juga sekaligus melindungi daya beli/konsumsi masyarakat,” kata Revindo, Kamis (26/6).
Revindo meminta seluruh pemangku kepentingan harusnya memiliki komitmen pada upaya menjaga daya saing industri TPT ini. Isu daya saing ini, menjadi ranah pelaku usaha dalam bentuk menghadirkan produk yang efisien, kebaruan teknologi, desain, pemasaran, dan lain sebagainya. Namun ada yang menjadi ranah kebijakan publik, kata dia, khususnya yang terkait kebijakan industri dan perdagangan. (kontan)
Praktik Perdagangan yang Adil
Salah satu isu penting untuk patut dicermati adalah pengelolaan impor TPT yang harusnya berfokus pada menjaga praktek perdagangan yang adil (fair) dan transparan. peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Mohamad Dian Revindo menegaskan, Indonesia memang tidak bisa menutup diri terhadap perdagangan bebas asalkan selama prakteknya fair, yaitu tidak ada dumping, subsidi terselubung, misklasifikasi produk atau under invoicing.
“Untuk itu kita perlu memperkuat manajemen impor untuk menjamin industri dalam negeri terlindungi dari praktik impor yang ilegal, tidak fair atau tidak transparan. Strategi ini juga lebih murah dibandingkan dengan insentif dan subsidi bagi industri, apalagi di tengah defisit APBN yang dibatasi tidak boleh melampaui Rp 616,3 triliun,” ujar pengajar di Sekolah Pascasarjana Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) ini.
BRI Finance Genjot Transformasi Bisnis |
![]() |
---|
OKUPANSI Mal di Kisaran 75Persen, Bisnis Pusat Perbelanjaan Moderat, Dampak Masuknya Investasi Asing |
![]() |
---|
PUTUS Rantai Kemiskinan, BPJS Ketenagakerjaan Banuspa dan Pemrov Papua Selatan Teken MoU Jamsostek! |
![]() |
---|
HARGA Beras Tembus Rp15.500 Per Kg, Zulhas Sebut Terus Alami Kenaikan |
![]() |
---|
Pengembangan AI di 9 Kota Termasuk Bali, Begini Cara Telkom Melakukannya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.