bisnis

GULUNG Tikar 60 Perusahaan Tekstil! Produk Impor Pakaian Makin Masif, API: Industri TPT Sedang Sakit

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana menggambarkan kondisi bisnis pada industri TPT sedang sakit.

ISTIMEWA
ILUSTRASI - Penundaan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor dikhawatirkan bisa memberikan dampak besar terhadap kelangsungan usaha industri tekstil dan produk tekstil (TPT).   

Pria yang juga anggota WTO ini mengatakan, praktik impor yang tidak sehat sangat memukul perekonomian dari dua sisi. Pertama, kerugian keuangan negara karena hilangnya pemasukan tarif impor. Kedua, kerugian perekonomian karena memukul industri tekstil dan pakaian jadi dalam negeri.

Salah satu titik krusial dalam pengelolaan impor TPT, Revindo mengatakan, adalah pendataan dan pemeriksaan arus barang masuk. Untuk itu, ia menyarankan agar dilakukan penguatan kembali fungsi pabean, dimana barang impor yang keluar dari pelabuhan seharusnya sudah melalui custom clearance sehingga dapat dipastikan kesesuaian klasifikasi tarif dan volume barang. 

“Revisi Permendag 8/2024 sebaiknya mengarah ke aspek ini, sehingga kita dapat melindungi industri TPT dalam negeri dari praktik yang tidak fair tanpa menutup diri terhadap perdagangan internasional. Tanpa langkah serius ini, kita khawatir industri TPT akan semakin terpukul, semakin banyak PHK, dan konsumsi melambat, yang pada gilirannya memperlambat pertumbuhan ekonomi,” kata Revindo. (kontan)
Industri Hulu Tertekan Impor

Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia masih dibelit berbagai tantangan, khususnya di sektor hulu. Tekanan datang dari penurunan produksi, lonjakan impor, hingga ketidakpastian investasi.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyampaikan bahwa utilisasi produksi industri hulu TPT terus menurun. Saat ini, rata-rata utilisasi 23 perusahaan anggota APSyFI telah turun ke bawah 50%. 

“Rata-rata utilisasi tinggal 45%, dari sebelumnya 55% tahun lalu. Ada yang berhenti produksi, ada yang berjalan 30%, dan ada yang masih 80%,” ujar Redma, beberapa hari lalu.

Industri hulu TPT memiliki kapasitas produksi serat rayon sebesar 800.000 ton per tahun. Kapasitas untuk serat poliester dan benang filamen masing-masing sebesar 840.000 ton. Menurut Redma, kapasitas ini secara teknis mampu mencukupi kebutuhan nasional, terutama jika rencana reaktivasi dan investasi terealisasi. Namun, sejumlah tantangan menahan langkah investasi.

Salah satunya adalah keputusan pemerintah yang tidak melanjutkan rekomendasi pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas produk benang filamen sintetis tertentu dari Tiongkok, hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).

Redma juga meminta pemerintah memperbaiki tata niaga impor dan memberantas dugaan mafia impor tekstil. Menurutnya, perlu pengawasan ketat terhadap mekanisme Persetujuan Impor (PI) dan Pertimbangan Teknis (Pertek).

Data menunjukkan tren impor terus meningkat. Pada 2008, impor benang pintal dan filamen sebesar 130.000 ton, dan kain tenun, rajut, serta nirtenun sebanyak 294.000 ton. Sementara pada 2023, impor benang melonjak ke 336.000 ton, dan naik lagi ke 467.000 ton di 2024. Impor kain juga naik pada 2023 sebanyak 822.000 ton menjadi 873.000 ton pada 2024. (kontan)

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved