Sampah di Bali

Buang Sampah Organik ke Mana? DLHK Denpasar: Tidak Mesti dengan Teba

Setelah Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DLHK) Provinsi Bali mengumumkan bahwa tidak boleh lagi membuang sampah

TRIBUN BALI/ NI LUH PUTU WAHYUNI SRI UTAMI
MINTA SOLUSI - Puluhan motor pengangkut sampah terlihat berjejer di depan Kantor Gubernur Bali, Senin (4/8). Pengendara motor tersebut meminta solusi untuk penanganan sampah. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR — Setelah Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DLHK) Provinsi Bali mengumumkan bahwa tidak boleh lagi membuang sampah organik di TPA Suwung pertanggal 1 Agustus 2025, masyarakat khususnya di Kota Denpasar kebingungan membuang sampah organiknya. 

Sebab tak semua masyarakat Kota Denpasar memiliki lahan untuk teba. 

Lantas apa solusinya? Ketika diwawancarai, Ida Bagus Kade Wira Negara, Kabid Pengolahan Sampah, Limbah B3, Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, DKLH Bali mengatakan perlunya agar TPS3R aktif. 

Baca juga: Pengendara Puluhan Motor Pengangkut Sampah Gelar Aksi di Kantor Gubernur Bali: Kami Minta Solusi

“Kalau aktif TPS3R, aktif TPST, volume-nya tinggal kita menghitung volume saja. Volume per hari seperti apa."

"Kalau itu aktif akan memberi spare waktu kita untuk menyiapkan. Lebih bagus lagi, tidak mesti harus dengan teba gitu."

"Teba itu kan bagi masyarakat yang memang mempunyai lahan,” jelasnya pada, Selasa 5 Agustus 2025. 

Lebih lanjut ia mengatakan, terdapat banyak cara untuk mengelola sampah organik yang hanya dengan teba.

Baca juga: Sampah di Sejumlah Destinasi Wisata di Badung Bali Berjubel, Puspa Negara Minta Edukasi Pilah Sampah

Ada juga masyarakat yang menggunakan tong komposter, keranjang takakura, dan juga dengan maggot atau cara lain yang ramah lingkungan.

Sudah terpetakan bahwa 60-70 sampah Bali merupakan sampah organik

“Kalau itu selesai berbasis sumber, maka akan mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA. Kalau itu tidak dikurangi, mohon-maaf. Sanksi tidak bisa dijalankan, administrasinya siap-siap pidana,” imbuhnya. 

Di sisi lain, bagaimana dengan masyarakat yang rutin setiap bulan membayar uang sampah ke swakelola Desa dengan nominal Rp45 ribu sampai Rp50 ribu namun sampahnya tak semua diangkut?

Gus Wira pun mengatakan hal tersebut merupakan tanggung jawab dari masyarakat sendiri. 

“Nah, berarti kan sampahmu tanggung jawabmu. Masyarakat kan memang sudah membayar. Entah dia membayarnya ke desa, entah dia membayarnya ke swakelola."

"Nah sekarang memang karena wajib memilah, apalagi orang sudah membayar. Coba misalnya kita tingkatkan lagi edukasinya. Kenapa tidak kalau swakelola yang memilah?" 

"Kalau memang masyarakatnya tidak sadar memilah,” paparnya. 

Sebab masyarakat sudah membayar iuran sampah per bulan dengan biaya bervariasi.

Jika dibawa ke dalam bisnis, sebaiknya dilakukan perhitungan saja.

Diberikan penggolongan atau klasifikasi, misalnya masyarakat ada yang membayar iuran sampah bersifat premium, umum, dan medium. 

“Tapi kami dalam posisi ini tidak kapasitas kami untuk itu. Karena kami kan segi pemerintah, kami menjadikan layanan bagi masyarakat tanpa berbayar. Nah untuk di Pemprov Bali, kami tidak memungut retribusi loh,” tandasnya. 

Sampah organik ini ditekankan, dapat diolah oleh rumah tangga sendiri, desa atau pihak swasta.

Contohnya di Desa Punggul, Badung yang permasalahan sampahnya selesai di tingkat desa.

Bahkan Desa Punggul menawarkan kepada desa-desa lain agar, mengikuti replikasi TPS3R di Desa Punggul.

“Karena TPS3R itu harus berfungsi. Buat apa dong dikasih dana besar-besar kalau TPS3Rnya tidak berfungsi?"

"Di mana letak kekurangannya? Ternyata setelah diteliti, memang kendalanya itu di antara mesin yang ada, itu tidak match dengan komposisi sampah yang ada di Bali,” sambungnya. 

Komposisi sampah basah di Bali, 60-70 persen merupakan sampah organik, yang terdiri dari sampah sisa upacara.

Hal itu yang menyebabkan mesin-mesin di TPS3R tidak bisa berjalan dengan optimal.

Sehingga dimodifikasi mesin tersebut yang cocok dengan karakter sampah yang ada di Bali

“Jadi sudah ada beberapa solusi ditawarkan, yuk kita re-design TPS3R itu, sehingga cocok, kalau Punggul bisa, kenapa desa lainnya tidak bisa?"

"Untuk Denpasar memang kita akui karena perbedaan karakteristik, kemudian memang banyaknya pendatang ke Denpasar tingkat keberagamannya tinggi,” katanya. 

Sistem banjar adat di Denpasar diakui juga agak berbeda dengan tempat-tempat yang lain. 

“Nah kalau sistem pengakutan kan ada TPS3R, alangkah bagusnya kalau dioptimalkan lagi TPS3R."

"Nah kalau seandainya nanti volume sampahnya tidak cukup, nah ini mungkin kalau belum praktik kita sudah pesimis kan gitu ya, coba dipraktikkan dulu kalau menurut saya."

"Jadi kalau dibilang di Denpasar banyak sampah-sampah, cuma yang di sini kan sampahnya masih bersih, saya pulang ke rumah juga sampahnya masih terkontrol,” tutupnya. (*)

 

Berita lainnya di Sampah di Bali

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved