Sampah di Bali
Sosok I Nyoman Suwirta, Pernah Tiap Hari Naik Truk Sampah, Kelola Sampah Mandiri Sejak 2016
Pasca ditutupnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, permasalahan sampah di Bali kini menjadi perhatian publik.
Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pasca ditutupnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, permasalahan sampah di Bali kini menjadi perhatian publik.
Namun sebelum masalah sampah menjadi sorotan seperti sekarang, I Nyoman Suwirta, Anggota Komisi IV DPRD Bali yang juga mantan Bupati Klungkung 2 periode sudah terlebih dahulu "berjibaku" dengan permasalahan sampah saat menjabat sebagai Bupati Klungkung.
Baca juga: DPRD Bali Akan Tambah Teba Modern Yang Lebih Luas Untuk Kelola Sampah Organik
Saat itu, Suwirta sangat gencar mengatasi masalah sampah di Klungkung hingga Klungkung sempat benerapa kali mendapatkan bantuan Dana Insentif Daerah (DID) dari upaya mengatasi permasalahan sampah.
Mengawali karier sebagai Bupati Klungkung pada 2013, Suwirta mengisahkan, setiap hari dirinya harus berhadapan dengan masalah TPA Sente yang kerap terbakar.
Dari sanalah ia mulai serius memikirkan solusi jangka panjang terhadap sampah.
"Segala sesuatu harus melalui proses. Awalnya saya coba berbagai cara, seperti ecobrick, tapi hasilnya tidak maksimal," ujar Suwirta saat ditemui di kediamannya, Rabu (6/8/2025).
Baca juga: Polemik Penutupan TPA Suwung, Sampah Campuran Organik dan Anorganik Datang: Kije Abe?
Solusi mulai tampak saat ia bertemu dengan tim dari STT PLN yang memperkenalkan konsep listrik kerakyatan, mengubah sampah menjadi briket bahan bakar untuk genset.
Ia pun bekerja sama dengan Indonesia Power untuk mewujudkan konversi sampah menjadi energi terbarukan.
Baca juga: VIDEO TPA Suwung Penuh Sampah Campur, Gubernur Bali Tegaskan Warga Harus Kelola dari Rumah
Namun, upaya tersebut terhenti di tengah jalan karena produksi briket tidak terserap sesuai harapan.
"Banyaklah kami memproduksi briket, setengah jalan katanya briket ini mau dibeli, tapi ini tidak jalan," jelas Suwirta.
Tak menyerah, Suwirta lalu mengembangkan konsep pengolahan sampah organik menjadi kompos Osaki.
Baca juga: Polemik Penutupan TPA Suwung, Sampah Campuran Organik dan Anorganik Datang: Kije Abe?
Konsep ini berjalan baik, dengan pemilahan sampah dari rumah yang baik dan konsisten.
Tahun 2017, ia menggencarkan kampanye pemilahan sampah dari rumah.
"Setiap hari saya naik truk sampah, mengunjungi enam kelurahan untuk memastikan warga sudah memilah sampah. Kalau belum, saya sendiri yang turun ke gang-gang kecil," kenangnya.
Upaya itu membuahkan hasil.
Baca juga: TPA Suwung Tutup, Sampah di Destinasi Wisata Badung Berjubel
Tahun 2018, sekitar 87 persen masyarakat Klungkung telah taat memilah sampah.
Ia pun menegaskan kunci pengelolaan sampah ada pada pemilahan dari sumber, yakni rumah tangga.
Ia juga mengatakan, meberhasilan memilah samlah ini hanya akan berkelanjutan jika didukung oleh eksekusi, edukasi yang konsisten, serta sanksi yang tegas.
"Kami bahkan terapkan sanksi tipiring bagi yang buang sampah sembarangan. Edukasi tanpa eksekusi hanya jadi teori," tegasnya.
Kelola Sampah Mandiri
I Nyoman Suwirta, Mantan Bupati Klungkung 2 periode itu, bahkan telah mengelola sampah organik secara mandiri di rumahnya sejak tahun 2016 silam.
Nyoman Suwirta kebetulan sedang mengelola sampah saat ditemui di kediamannya di Banjar Siku, Desa Kamasan, Rabu sore (6/8/2025).
Di kediamannya ia menyediakan beberapa tempat sampah berukuran besar, untuk menampung sampah organik berupa sisa makanan dan sebagainya.
Serta sampah anorganik, seperti sampah plastik dan sejenisnya.
"Dari tahun 2016 saya sudah terbiasa pilah sampah. Ini saya sudah lama terapkan bersama keluarga," ujar Suwirta sembari membuang sampah organik.
Ia mengatakan, sejak tahun 2016 atau saat masih menjabat sebagai bupati, pihaknya telah gencar berupaya mengubah pola masyarakat di Klungkung untuk dapat mengelola sampah secara mandiri.
Terutama membiasakan masyarakat untuk dapat memilah sampah dari rumah tangga.
"Karena bagaimanapun juga, masalah sampah ini tanggung jawab bersama. Perlu komitmen dan aksi untuk dapat mengelola sampah dari rumah tangga," ungkapnya.
Suwirta menunjukkan bagaimana ia mengelola sampah di rumah tangga.
Ia menunjukkan Bangdaus (lubang daur sampah), inovasi berupa lubang untuk daur ulang sampah organik yang telah dibuatnya sejak tahun 2016 silam.
"Kalau dulu kami menyebutnya Bang Daus (lubang daur ulang sampah). Kalau sekarang dari bapak atau ibu gubernur menyebutnya Teba Modern. Apapun namanya, konsepnya sama untuk memfermentasi sampah organik," ungkapnya.
Setiap hari ia buang sampah organik di Bangdaus yang memiliki kedalaman sekitar 1,5 meter.
Lalu setiap hari disiram dengan air dan ditutup.
Hasil pengelolaan sampah organik di Bangdaus itu biasanya dipanen setahun sekali, menghasilkan fermentasi untuk bahan baku pupuk organik.
Sementara sampah plastik dikumpulkan setiap hari, dan dua minggu sekali diambil oleh DLHP atau desa untuk dikelola di TPS3R atau TOSS (tempat olah sampah setempat).
"Jadi selama ini sampah rumah tangga saya sudah bisa dikelola. Sampah organik tidak sampai ke luar rumah."
"Kalau ini bisa diterapkan seluruh masyarakat, alangkah bagusnya," ungkap tokoh asal Pulau Ceningan, Kecamatan Nusa Penida tersebut.
Ia berharap konsep-konsep kelola sampah seperti itu, bisa diterapkan tidak hanya di rumah tanggal.
Termasuk di pelantoran, intansi swasta maupun negara, hingga ke sekolah-sekolah.
"Kalau ada komitmen dan kemauan, sebenarnya tidak susah (kelola sampah). Cuma masalah sampah kalau terus dibahas, terus diperdebatkan tidak akan pernah selesai."
"Harus berani memulai dikerjakan (kelola sampah mandiri)," ungkap Suwirt. (*)
Berita lainnya di Sampah di Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.