bisnis

PERTAMINA: Tak Punya Wewenang Awasi Sub Pangkalan, Disperindag Denpasar Rakor Bahas LPG 3 Kg Langka!

Dalam rapat tersebut, terungkap jika kondisi di lapangan sulit dikendalikan, karena belum adanya nomenklatur di tingkat pengecer.

TRIBUN BALI/ I PUTU SUPARTIKA
ANTRE – Sejumlah warga antre untuk mendapatkan elpiji 3 kg saat pasar murah di Kelurahan Ubung, Kota Denpasar, Selasa (12/8) kemarin. 

TRIBUN-BALI.COM  – Sepekan lebih, masalah kelangkaan Liquified Petroleum Gas (LPG) atau elpiji 3 kilogram (kg) di Kota Denpasar belum menemukan ujung dan pangkal. Pertamina mengklaim jika distribusi elpiji 3 kg berjalan lancar sesuai kuota.

Namun nyatanya, di lapangan masyarakat kesulitan mendapatkan elpiji 3 kg. Dan kondisi ini pun telah terjadi berulangkali, seperti tanpa penyelesaian.

Terkait permasalahan itu digelar rapat koordinasi (rakor) Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Denpasar bersama Himpunan Wiraswasta Nasional dan Gas Bumi (Hiswana Migas), Pertamina dan pengampu kepentingan lainnya pada Rabu (13/8).

Dalam rapat tersebut, terungkap jika kondisi di lapangan sulit dikendalikan, karena belum adanya nomenklatur di tingkat pengecer.

Baca juga: MATERI Pencegahan Judol & Pinjol Ilegal, 4.735 Mahasiswa Baru Undiksha Ikuti PKKMB Hari Pertama

Baca juga: GRATIS Angkot & Dokar! Upaya Dishub Buleleng Kurangi Kendaraan Pribadi di Bulfest 2025

Aturan terkait sub pangkalan pun masih belum jelas, dari distribusi hingga harga jual. Pasalnya di tingkat pengecer harga jual bisa mencapai Rp 27.000 lebih per tabung, sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) di pangkalan Rp 18.000 per tabung.

Ketua Hiswana Migas, Dewa Ananta mengatakan, sub pangkalan ini merupakan nomenklatur baru dan muncul sejak adanya penghapusan pengecer elpiji 3 kg.

“Sub pangkalan adalah nomenklatur baru namun belum diatur. Harga di sub pangkalan tidak bisa diatur karena HET hanya sampai di pangkalan. Harga saja belum diatur apalagi distribusinya,” katanya.

Sementara sub pangkalan ini menurutnya adalah pelayan masyarakat kecil sehingga diperbolehkan turut menjual elpiji 3 kg. Namun dengan tidak adanya aturan, berpotensi merusak rantai pasok di atasnya. “Makanya sub pangkalan harus diatur. Paling tidak harga bisa diatur, tidak bebas,” terangnya. 

Sementara itu, Branch Manager IV Bali Pertamina Zico Aldillah Syahtian mengatakan, semua sub pangkalan sebenarnya harus tedaftar.

Namun fakta di lapangan semua warung bisa menjual elpiji 3 kg meski belum terdaftar. Menurutnya, Pertamina juga tidak memiliki wewenang pengawasan hingga ke tingkat sub pangkalan. 

“Yang punya kewenangan itu Pemda sampai ke level desa. Kalau tidak terdaftar di kami, itu tidak tercatat di sistem kami,” terangnya.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Denpasar, Ni Nyoman Sri Utari mengatakan, dengan koordinasi ini diharapkan mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi di lapangan. 

“Sesuai pemantauan kami dengan tim Satgas elpiji 3 kg, kondisi di lapangan, sub pangkalan hanya bisa menyalurkan 10 persen dari alokasi di pangkalan,” katanya. 

Pihaknya pun berharap, unit-unit baru seperti Koperasi Desa/ Kelurahan Merah Putih juga bisa menjadi pangkalan sehingga penyebaran elpiji 3 kg bisa lebih menyeluruh. Selanjutnya, pihaknya juga akan melakukan pertemuan dengan agen dan pangkalan. 

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLPK) Bali, I Putu Armaya mengatakan, sampai saat ini banyak keluhan dari masyarakat terkait kelangkaan elpiji 3 kg. Kondisi ini menurutnya tidak saja terjadi di pengecer, namun juga pangkalan yang sempat dia temui.

“Keluhan kata dia paling banyak terjadi di Kota Denpasar dan Badung. Kami juga mempertanyakan, kalau tidak ada pengurangan kouta, kenapa bisa tidak sampai ke tangan masyarakat? Kondisi ini sudah kesekian kalinya,” ungkapnya pada, Sabtu (9/8). 

Lebih lanjut ia meminta agar distribusi LPG 3 kg lebih diawasi, apakah sudah tepat sasaran. Jangan sampai gas subsidi ini malah dipergunakan dan diborong oleh usaha-usaha yang tidak seharusnya mendapatkan. Misalnya laundry, restoran dan sebagainya. 

Demikian juga pembelian dengan penggunaan KTP bisa dipertegas dan didata kembali. Jangan sampai mereka pelaku usaha hanya mendaftarkan diri sebagai rumah tangga dan mengambil kouta UMKM.

Hal ini akan merancukan data kouta distribusi. “Jadi pengawasannya harus lebih serius dan berani menindak pelanggar. Jangan membuat masyarakat sulit memperoleh LPG 3 kg yang seharusnya memang menjadi hak mereka,” terangnya. 

Sementara itu, salah seorang pemilik pangkalan resmi, I Made Arnawa mengaku saat ini kouta yang dia dapatkan masih seperti biasanya tidak ada pengurangan. Namun, dia mengakui masyarakat berebut mendapatkan LPG 3 kg ini. “Ketika baru datang itu langsung habis,” katanya. (sup/sar)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved