TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Direktur Eksekutif Paiketan Krama Bali, I Nyoman Mertha, mengusulkan kepada Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Desa Adat agar memasukkan ketentuan tentang pemberian semacam gaji, honor atau biaya operasional bagi pecalang.
Usulan kepada Pansus Raperda Desa Adat DPRD Bali itu disampaikan, Senin (25/3), dalam pertemuan antara Pansus Raperda Desa Adat dengan perwakilan pecalang se-Bali di Wantilan Kantor DPRD Bali di Denpasar.
Tujuan mengundang pecalang se Bali adalah karena DPRD Bali bersama pihak Pemprov Bali kini sedang membahas Raperda tentang Desa Adat sebagai pengganti Perda Desa Pakraman yang sudah berusia sekitar 18 tahun.
Pertemuan tersebut diikuti oleh sekitar 300 orang perwakilan pecalang.
Mertha mengatakan, pecalang sebagai salah-satu organisasi yang bernaung di bawah desa adat memiliki tugas berat berupa mengatur ketenteraman masyarakat adat.
Baca: Terungkap, WNA Rusia Beli Anak Orang Utan di Pasar Gelap Hendak Dijual Lagi di Negaranya
Apalagi, imbuh Mertha, tugas pecalang bakal bertambah lagi.
Bukan saja mereka akan mengatur warga desa adat, tetapi juga krama tamiu dan tamiu sesuai dengan draft peraturan yang ada di Raperda Desa Adat.
Intinya, Raperda Desa Adat yang kini tengah dibahas oleh DPRD Bali itu hanya mengatur sesana atau kewajiban dari pecalang, dan belum mengatur tentang hak bagi pecalang.
“Nah saya usulkan supaya pecalang itu dapat gaji, honor atau biaya operasional atau apalah istilahnya supaya dia berdaya. Sebab, tugasnya berat, jadi biar ada keseimbangan antara kewajiban dan hak,” terang Mertha.
Dengan adanya hak berupa gaji atau biaya operasional ini, kata Mertha, jadinya pecalang tidak ragu-ragu lagi dalam menjalankan tugasnya dan tentu akan menjadi lebih fokus.
“Bagaimana kita membuat pecalang berdaya tapi kalau dia tidak sejahtera, tidak mandiri. Secara ekonomi dia kekurangan karena dia harus ngayah,” kata dia.
“Nah istilah ngayah itu sekarang harus direvisi itu. Gimana orang ngayah total kalau dia kehidupannya tidak dijamin,” tandas Mertha.
Baca: Murtini Menangis Putrinya Divonis 7 Tahun, Tissa Terbukti Lakukan Kekerasan hingga Bayinya Meninggal
Ia pun mengusulkan gaji, honor atau biaya operasional bagi pecalang diberikan setiap bulan, sehingga pecalang bisa lebih fokus dan tidak perlu ragu memikirkan nasib ekonomi keluarganya saat menjalankan tugasnya.
“Bagaimana orang mau jadi pecalang kalau semuanya hanya ngayah total. Sementara dia harus melakukan pekerjaan lain untuk menghidupi keluarganya,” kata Mertha.
Dengan adanya semacam gaji, honor atau biaya operasional bagi pecalang nantinya diharapkan bisa fokus dalam melakukan tugasnya.
“Kalau sudah begitu tidak mungkin dia tidak mau. Sudah setengah ngayah istilahnya. Ngayah dapet, biaya operasional dapet. Kan bagus itu,” terangnya.
Bagi Mertha, dengan memberikan pecalang gaji, honor atau biaya operasional ini merupakan jalan tengah yang bisa diambil sehingga minat orang menjadi pecalang menjadi meningkat.
Dalam pertemuan tersebut, beberapa organisasi pecalang memang mengaku kesulitan dalam merekrut anggota, karena pecalang memiliki tugas yang cukup berat dan sifatnya ngayah.
Usulan untuk memberikan gaji kepada pecalang ini tidak hanya muncul dari Paiketan Krama Bali, namun juga dari Aliansi Bali Dwipa Jaya.
Pada Jumat (22/3) lalu, berbagai organisasi yang tergabung dalam Aliansi Bali Dwipa Jaya juga menyambangi kantor DPRD Bali guna membahas Raperda tentang Desa Adat.
Mereka diterima oleh Ketua Pansus Raperda Desa Adat, Nyoman Parta. Koordinator Aliansi Bali Dwipa Jaya, I Ketut Bagus Arjana Wira Putra, mengatakan bahwa salah-satu hal yang menjadi pembahasan dalam pertemuan tersebut ialah mengenai nasib pecalang di Bali.
Putra mengatakan bahwa pecalang dalam menjalankan tugasnya diharapkan untuk mendapatkan imbalan berupa gaji.
"Kenapa mereka harus digaji? Karena mereka bekerja sampai malam. Apalagi saat ini pecalang dari pagi sampai malam menjaga desa pakraman, sehingga mereka bisa meninggalkan pekerjaannya. Itu yang kita kasihan. Mereka menjaga keamanan Bali," terang Arjana Wira Putra.
Bentuk Paiketan
Sementara itu, Ketua Pansus Raperda Desa Adat, Nyoman Parta, mengaku paham dengan kondisi pecalang yang memiliki tugas yang begitu berat.
“Di samping memiliki tugas di desa adat atau di desa pakraman, pecalang juga sering dilibatkan dalam tugas-tugas keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) bahkan tugas-tugas kebencanaan. Dengan adanya tugas yang begitu berat tersebut, memang ada usulan agar mereka memperoleh imbalan,” ungkap Parta.
Namun Parta memberikan catatan bahwa karena pecalang ini semangatnya ada dalam bentuk ngayah, maka bukan gaji yang nanti akan diberikan,tetapi biaya operasional.
“Jadi biaya operasional itu karena kegiatannya,” kata Parta saat ditemui awak media usai acara berlangsung.
Mengenai biaya operasional tersebut, Parta mengaku akan berupaya mengusulkannya nanti dalam forum pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Menurut dia. mungkin saja biaya operasional bagi pecalang bisa dimasukkan dalam dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dan yang mendapatkan nanti bukanlah perseorangan, melainkan setiap kelompok pecalang yang ada.
Parta juga menjelaskan, pihaknya mengundang beberapa pihak dalam rangka memberikan sosialisasi kepada pecalang se Bali.
Pihak Polda Bali diundang karena sesana (tugas) pecalang sangat berkaitan dengan tugas kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat).
Kedua, mengundang pihak Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Udayana.
Sebab, dalam pembahasan Raperda Desa Adat, khususnya poin tentang pecalang, ada banyak masukan agar pecalang diberi informasi tentang pertolongan pertama.
Dikatakan Parta, ada beberapa pengalaman dalam penanganan peristiwa-peristiwa yang timbul dari kegiatan ritual maupun persoalan kebencanaan di desa adat.
“Misalnya ada rumah terbakar, kalau pecalangnya sigap dan bisa melakukan tindakan pertama terhadap korban, maka peluangnya sembuh dan meminimalisir luka bakar itu ternyata dampaknya besar. Begitu juga di sebuah pura terjadi kerauhan, ada yang terluka, kalau pecalang sigap maka dia bisa diselamatkan,” kata Parta.
Parta menyampaikan, dalam isi Raperda tentang Desa Adat tercantum tentang lembaga adat. Pertama, tentang paiketan pemangku.
Yang bisa disebut paiketan pemangku adalah pemangku yang diakui oleh desa adat dan pemangku pura dadia.
Dengan diatur dalam perda nanti, maka desa dinas, pemerintah kabupaten dan provinsi bisa memberi bantuan pada pemangku.
Kedua, pembentukan paiketan pecalang.
Menurut Parta, dunia sudah mengakui peran penting pecalang.
Dari perhelatan kecil di tingkat desa adat hingga perhelatan dunia yang diadakan di Bali, ada kontribusi dari pecalang dalam hal menjaga keamanan perhetalan itu.
Jumlah pecalang pun sangat besar di Bali. Minimal dalam desa yang besar ada 36 personel pecalang. Pecalang berada di bawah lembaga desa adat.
Pecalang melaksanakan tugas berdasarkan sesana-nya. Yang dimaksud dengan sesana pecalang adalah kode etik pecalang yang harus dipatuhi.
“Nanti akan dibentuk paiketan pecalang tingkat desa, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten dan tingkat Provinsi. Dan pecalang akan dibuatkan pakaian seragam pecalang Bali supaya mereka memiliki keseragaman identitas,” terangnya.(*)