Buruh yang Tak Bekerja karena Sakit, Cuti Melahirkan hingga Haid Terancam Tak Dibayar di Omnibus Law

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi pekerja

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Pemerintah dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan mengenai ketenagakerjaan untuk meningkatkan investasi di dalam negeri.

Hal menarik dalam omnibus law tersebut salah satunya adalah ketentuan mengenai kewajiban pengusaha untuk memberikan upah kepada pekerja yang sedang sakit dilonggarkan.

Jika di dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pemerintah mengatur mengenai kewajiban pemberi kerja untuk tetap membayarkan upah kepada pekerja yang sakit, hari pertama dan kedua masa haid hingga melahirkan, hal tersebut tidak disebutkan dalam omnibus law.

Beijing Minta Warganya yang Baru Pulang Berlibur Dikarantina 14 Hari, Bila Tidak Akan Dihukum

Musim Pancaroba, Denpasar Barat dan Selatan Waspada Demam Berdarah

Kiper Terbaik Asal Bali Ini Ungkap Striker yang Paling Menakutkan di Indonesia, Si Predator

Dalam perubahan pasal 93 RUU tersebut hanya dijelaskan, ketentuan ketentuan pekerja tidak dibayar ketika tidak melakukan pekerjaan tidak berlaku hanya bila pekerja atau buruh tidak masuk kerja atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan.

Selain itu, keputusan untuk tetap dibayar atau tidak juga bergantung pada pemberi kerja yang bersangkutan.

Berikut isi perubahan pasal 93 UU Ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja:

1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

5 Fakta soal Kabar WN China Positif Corona Setelah dari Bali, Bermula dari Pihak Ini

Ritual Penggandaan Uang di Tegalalang Gianyar Digerebek, Rp 125 Juta dari Satu Korban

Its My School di SMAN 1 Dawan Klungkung, Siswa: Saya Menyukai Fitur dan Tampilan Yamaha FreeGo

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dan pengusaha wajib membayar upah apabila: a. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan;

b. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya dan telah mendapatkan persetujuan pengusaha;

c. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya karena kesalahan pengusaha sendiri atau halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

atau

d. pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya

Virus Corona Atau COVID-19 Lebih Berbahaya Saat Serang Organ Tubuh Manusia Dibanding SARS dan MERS

Spesialis Pencuri RS Sanglah Akhirnya Dibekuk, Kerap Curi Hp, Uang dan Pakaian Saat Pengunjung Tidur

Sementara, di dalam pasal 93 UU Ketenagakerjaan, pemerintah lebih detil dalam memberikan ketentuan-ketentuan pengecualian tersebut.

Misalnya sajak ketika buruh tidak bekerja karena menikah, menikahkan atau mengkhitankan anaknya, juga ketika pekerja membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.

Berikut isi UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila :

a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;

e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha;

dan

i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Selain itu, aturan tersebut juga mengatur mengenai besaran upah yang dibayarkan kepada pekerja atau buruh yang sakit.

Untuk 4 bulan pertama, dibayar 100 persen dari upah, kemudian untuk 4 bulan kedua, dibayar 75 persen dari upah, untuk 4 bulan ketiga, dibayar 50 persen dari upah dan untuk bulan selanjutnya dibayar 25 persen (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum PHK dilakukan oleh pengusaha.

Sementara, hal tersebut tidak dijelaskan dalam omnibus law.

Omnibus law pun tidak mengatur mengenai besaran kewajiban pemberian kerja dalam memberi upah karyawan yang sakit atau izin ketika menikah hingga pasangan atau orangtuanya meninggal dunia.

Adapun di UU Ketenagakerjaan diatur sebagai berikut:

a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;

b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari

d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan

g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Omnibus Law, Upah Buruh yang Tak Bekerja karena Sakit, Cuti Melahirkan hingga Haid Terancam Tak Dibayar"

Berita Terkini