Tapi serentak pula musim itu meningkatkan sinyal kewaspadaan mengingat sisi ancamannya.
Orangtua kami acapkali mengingatkan bahaya sungai saat musim hujan tiba.
Sekalipun langit tampak cerah, tataplah dulu ke pegunungan Ndura.
Kalau wajah gunung yang empunya sumber mata air itu murung, maka jauhilah sungai.
Jangan bermain di sana apalagi nekat susur sungai seperti siswa-siswi SMP Negeri 1 Turi, Sleman Yogyakarta karena sesewaktu bisa tersapu banjir yang tiba-tiba datang lantaran hujan di hulu.
Musim hujan bukan saat yang tepat bagi anak-anak bersukaria sesukanya di bibir sungai.
Kalau hendak ke sungai, misalnya untuk memancing belut, cuci pakaian atau mandi, mesti ditemani orang dewasa atau orang tua agar anak-anak tidak takabur.
Pesan ayah ibu serta orang tua di kampung kami merujuk pada pengalaman pahit. Lowo Ria sudah menelan korban jiwa tak sedikit di masa lalu.
Leluhur kami cerdas dan bijak. Agar penerusnya selalu mengenang peristiwa kelam itu, mereka abadikan nama korban pada tempat kejadian.
Maka di sepanjang aliran Sungai Lowo Ria ada nama Tiwu Sana, Tiwu Bela, Tiwu Molu Ola, Tiwu Molu Suka dan nama-nama lainnya.
Tiwu Sana artinya kolam tempat Sana dari nama Susana yang meninggal dunia terseret sungai Lowo Ria. Tiwu Bela berarti kolam tempat Bela meninggal dunia.
Demikian pula Tiwu Molu Ola dan seterusnya.
Sampai detik ini selalu tertanam kuat di benak anak-anak Mulawatu dan kampung sekitarnya di daerah Wanes bahwa di tempat itu pernah jatuh korban jiwa sehingga mereka selalu awas, mengingat baik apa yang boleh dan tidak boleh saat berada di sungai.
Sejujurnya ini merupakan pengetahuan dasar agar kami hidup aman di sepanjang aliran sungai.
Bahasa kerennya mitigasi kebencanaan sungai.