“Keakraban dengan tubuh sendiri dan tubuh orang lain, saling rangkul, tidur bersama, atau keakraban kehidupan kolektif dalam upacara agama, tontonan dan sangkep. Semua itu tidak bisa lagi dilakukan karena covid-19,” paparnya.
Namun demikian, Jean Couteau mengaku kaget dengan fakta orang Bali disebutnya “luput” dari serangan covid-19.
"Kondisi ini karena orang Bali diatur dengan system banjar, yang memiliki otoritas penuh mengatur warganya dan mengantisipasi masuknya pihak lain ke wilayahnya dengan menanyakan tujuan perjalanan orang lalu lalang di banjar tersebut. Diyakini kondisi ini menjadikan penanganan covid-19 terbaik di Indonesia dan dunia," jabarnya.
Sesi diskusi berlangsung hangat, selain pertanyaan lewat chatting, peserta juga diundang bertanya langsung.
Peserta webinar asal Gianyar Prof. Dr. Wayan Pastika menolak “pujian” intelektual Jean Couteau itu dengan menyodorkan fakta jumlah orang terjangkit Covid-19 di Bali lebih banyak dari beberapa provinsi di Indonesia seperti Aceh dan Bangka Belitung.
“Jangan dininabobokan terus orang Bali. Orang Bali menghadapi masalah krusial dimana mereka melakukan kanibal budaya. Orang Bali harus jual tanah untuk membiaya yadnya, termasuk menggelar seni pertunjukkan,” tagas Wayan
Senada dengan itu, Antropolog UGM Dr. Pande Made Kutanegara menyebut rakyat Bali menghadapi kegamangan situasi di masa depan.
Alasannya, karakter orang Bali yang biasa gotong-royong dan hidup kebersamaan sebagai komunitas terpaksa berubah di era new normal, lebih individualistis sehingga terjadi perubahan esensial dalam kebudayaan Bali.
Lalu pada kesempatan itu, Prof. Bandem menyatakan perlu dipikirkan sistem menjaga suasana kegotong-royongan masyarakat Bali khususnya seniman.
Seniman, kata Prof. Bandem, menjadi pihak paling menderita di tengah COVID-19.
Pertunjukkan komersial dan pentas dengan system ngayah sudah tidak mungkin digelar karena pemerintah menekankan masyarakat tidak boleh keluar rumah dan berkerumun.
“Seniman Bali sangat patuh himbauan pemerintah kendati pendapatannta hilang. Jadi kedepan perlu dipikirkan ansuransi seniman dan pemasaran hasil karya seniman secara digital,” ujar dia.
Dicontohkannya, perajin perak Desak Suarti pernah sukses memasarkan produknya secara digital kepada warga Amerika Serikat pasca peristiwa 11/9 tahun 2001 lalu.
Prof. Bandem juga menceritakan situasi sulit yang dihadapi seniman saat ini yakni 12 seka tari Barong di Bali yang biasanya pentas setiap pagi dan sore sebelum covid mewabah kini harus tinggal dirumah, lelang lukisan di museum, atau pentas kesenian saat piodalan tidak ada lagi.
Webinar ini disambut antusias oleh berbagai kalangan di seluruh Indonesia dan luar negeri terbukti penanya pada webinar ada dari Papua, NTT, Padang, Jogjakarta, Madura dan Bali sendiri.