“Tragedi terjadi."
“Itu semua terjadi dalam beberapa saat, yakni penyerbuan, mencoba untuk melarikan diri, dan akhirnya tembok runtuh kemudian terjadi kepanikan. 39 orang kehilangan nyawa di Brussel, hampir semuanya orang Italia, dan yang termuda di antara mereka baru berusia 10 tahun.
“Ada dalam ingatan mereka, bahwa hari ini, seperti setiap hari, kami mendedikasikan ingatan kami, dan rasa sakit kami.
“Tahun-tahun berlalu, tapi kata itu terus membangkitkan perasaan yang sama dan tidak berubah, yakni rasa sakit."
Juventus mengakhiri pesannya dengan menulis nama 39 korban tragedi Heysel. Adapun nama mereka sebagai berikut.
Rocco Acerra, Bruno Balli, Alfons Bos, Giancarlo Bruschera, Andrea Casula, Giovanni Casula, Nino Cerullo, Willy Chielens, Dirk Daenecky, Dionisio Fabbro, Jacques François, Eugenio Gagliano, Francesco Galli, Giancarlo Alberto Guarini.
Giovacchino Landini, Roberto Lorentini, Barbara Lusci, Franco Martelli, Gianni Mastroiaco, Sergio Bastino Mazzino, Loris Messore, Luciano Rocco Papaluca, Luigi Pidone, Benito Pistolato, Patrick Radclife.
Domenico Ragazzi, Antonio Ragnanese, Claude Robert, Ron Domenico Russo, Tarcisio Salvi, Gianfranco Sarto, Giuseppe Spalaore, Mario Spanu, Tarcisio Venturin, Jean Michel Walla dan Claudio Zavaroni.
Wali Kota Turin, Chiara Appendino, menambahkan penghormatan terhadap para korban.
"Selama 35 tahun terakhir, kami tak pernah melupakan satu pun dari ke-39 korban malam horor yang mengubah sepak bola untuk selamanya.
Kepada semua keluarga mereka, saya menyampaikan peluk hangat dari seluruh Turin," tuturnya seperti dikutip dari Gazzetta Dello Sport.
Presiden Federasi Sepak Bola Italia (FIGC), Gabriele Gravina juga mengungkapkan rasa belasungkawa.
"Tragedi Heysel adalah peringatan senantiasa agar sepak bola Eropa selalu membuka mata.
Setelah sekian lama, kami terus mengenang mereka agar tak ada lagi drama seperti ini," demikian Gravina.
Bendera Setengah Tiang
Pada Jumat pagi 29 Mei 2020, Liverpool meletakkan karangan bunga di samping plakat memorial Tragedi Heysel di Tribune Sir Kenny Dalglish Stadion Anfield serta mengibarkan bendera setengah tiang sepanjang hari.
Fans The Reds – julukan Liverpool pun menunjukkan solidaritas melalui media sosial.
"Hari ini kami memberi hormat kepada mereka yang kehilangan nyawa di Heysel. Sebagai klub kami mengenang dan menghormati mereka serta semua yang terpengaruh oleh tragedi ini. Mereka berada dalam ingatan kami hari ini dan tak akan pernah dilupakan," tutur Direktur Komunikasi Liverpool, Susan Black seperti dikutip Kompas.com.
Sama seperti Juventus, The Reds pun mencantumkan ke-39 nama korban tragedi Heysel di situs mereka.
Sir Kenny Dalglish merupakan satu di antara pemain Liverpool yang menjadi saksi mata tragedi Heysel. Pemain asal Skotlandia tersebut tidak bisa melupakan kejadian itu. Dia sangat terpukul.
“Kami melihat fans Italia menangis dan mereka memukul-mukul bagian luar bis ketika kami meninggalkan hotel. Ketika kami meninggalkan Brussel, sejumlah orang Italia marah-marah. Tapi saya bisa memahami itu karena mereka baru saja kehilangan 39 rekannya dalam tragedi tersebut,” kata Dalglish.
“Saya ingat betul ada seorang Italia yang wajahnya tepat di bawah jendela tempat saya duduk. Ia menangis dan marah. Anda bisa rasakan bagaimana ia kehilangan seseorang dalam kondisi seperti itu.” tambahnya.
Sejarah bola kemudian mencatat, Inggris memetik pelajaran berharga dari tragedi Heysel. Aparat keamanan bertindak sangat keras terhadap kaum hooligan yang berulah.
Federasi Sepak Bola Inggris (FA) pun tidak lagi menolerir klub yang supoternya membuat kerusuhan di dalam maupun di luar stadion.
Tragedi Heysel mendewasakan suporter Inggris dalam menonton pertandingan sepak bola. Sebelum peristiwa kelabu di ibu kota Belgia itu, stadion-stadion di Inggris dilengkapi pagar pembatas agar para suporter tidak bisa melakukan tindakan yang mengganggu pertandingan.
Namun setelah tragedi Heysel, FA mengambil langkah berani yaitu menghilangkan pagar pembatas di stadion-stadion Inggris. FA juga menghilangkan tribune berdiri di dalam stadion.
Ide tersebut menjadi kontroversial kala itu, namun FA tetap pada pendiriannya karena menganggap dua hal tersebut menjadi biang dari arus radikalisme hooliganisme di Inggris.
Dengan hilangnya pagar pembatas dan tribune berdiri, para fans diberi kebebasan mengekspresikan segala aksi mereka. Hasilnya para suporter tim Inggris lebih dewasa dalam bertindak.
Satu dekade terakhir jagat sepak bola Inggris relatif bersih dari aksi hooliganisme. Minim kerusuhan yang menelan korban jiwa.
Liga Inggris pun berubah menjadi surga para bintang sepak bola dari berbagai belahan dunia. Mereka merasa aman, nyaman serta bangga bisa bermain di Liga Inggris.
Saat ini Liverpool merupakan juara bertahan Liga Champions Eropa.
Di liga domestik tim asuhan Juergen Klopp tinggal butuh dua kemenangan lagi untuk meraih trofi juara Liga Inggris musim 2019-2020 setelah menanti selama 30 tahun. Peluang tersebut terbuka lebar.
Harapan kian menguat setelah FA memutuskan lanjutan Liga Inggris musim ini bergulir kembali 17 Juni 2020 mendatang. (*)