Dewan Lagi-Lagi Soroti Kecilnya Persentase Anggaran untuk Sektor Pertanian di Bali

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana
Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali, I Nyoman Sugawa Korry memimpin rapat paripurna internal DPRD Bali, Senin (20/7/2020). Rapat paripurna intern kali ini guna membahas dua Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda), yakni Ranperda tentang Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Semesta Berencana Provinsi Bali tahun 2019 dan Ranperda tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Bali tahun 2020-2050

Pihaknya meminta agar Gubernur Bali secara konsisten menaikkan anggaran sektor pertanian sehingga menjadi minimal 5 persen dari APBD Provinsi Bali.

Selain itu, pihaknya juga meminta agar adanya pengembangkan sektor industri pengolahan produk-produk sektor pertanian.

Tak hanya itu, Gunawan juga meminta Gubernur Bali untuk menumbuhkembangkan entrepreneur, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM); dan petani muda keren atau petani milenial dengan melibatkan perguruan tinggi negeri dan swasta.

Jumlah IPO di Indonesia Terbanyak se-ASEAN, BEI Kedatangan 28 Emiten Baru, Pasar Modal Prospektif?

Begini Cara Penanganan Penyakit Saraf Akibat Menderita Diabetes Melitus

Hal tersebut juga dilakukan melalui pendidikan dan latihan serta pendampingan yang didukung anggaran dari APBD Provinsi Bali.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud), Prof. I Wayan Windia mengatakan, keseriusan pembangunan sektor pertanian memang bisa dilihat dari dana yang disalurkan melalui APBD.

Dalam APBD tersebut harusnya muncul berupa program beserta dananya yang akan dijalankan guna membangun pertanian.

Selama ini, jika dilihat dari APBD yang disalurkan, Pemprov Bali masih sangat kurang memperhatikan sektor pertanian. Windia menyebutkan, alokasi APBD Provinsi Bali ke sektor pertanian masih berada dibawah dua persen.

Padahal Organisasi Pangan dan Pertanian atau Food and Agriculture Organization (FAO) menginginkan agar APBD yang dialokasikan ke sektor pertanian minimal 10 persen. "Jadi jauh sekali dari standar minimal yang diharapkan atau yang diimbau oleh FAO itu," jelasnya.

Windia mengatakan, seharusnya Pemprov Bali menaikkan anggaran untuk pembangunan sektor pertanian. Apalagi, pada tahun ini Pemprov Bali menaikkan dana bantuan ke desa adat menjadi Rp 300 juta.

Di tengah adanya kenaikan bantuan kepada desa adat, dana yang diberikan kepada subak justru tidak mengalami kenaikan sama sekali.

Dari hal itu menunjukkan, bahwa orientasi pembangunan Pemprov Bali tidak berada di sektor pertanian, baik itu kepada para petani sendiri maupun lembaga pertanian seperti subak.

"Jadi semuanya masih jauh dari harapan untuk mengembangkan pertanian dan mengembangkan lembaga-lembaga yang ada di pertanian," kata dia.

Harusnya, kata dia, Pemprov Bali dan pemerintah yang lain kini mulai mendidik lembaga pertanian, khususnya subak di Bali, agar bisa berekonomi. "Jadi subak harus diperkuat dan diberdayakan, jangan dilemahkan lagi," pintanya.

Windia mengatakan, selain dilihat dari segi anggaran, ketidakseriusan pembangunan pertanian di Bali bisa dilihat dari minimnya produk hukum seperti Peraturan Daerah (Perda) di bidang pertanian yang harusnya dicetuskan oleh Pemprov bersama DPRD Bali.

Dirinya mengatakan, salah satu Perda yang harusnya dibuat yakni tentang Pertanian Berkelanjutan.

"Jadi (pembangunan pertanian harusnya) muncul dalam produk-produk legislatif kita, kalau tidak ya itu (berarti) omong kosong," tegas Windia. (*)

Berita Terkini