Corona di bali

Guru Besar Unud Prof. Pitana Nilai Bali Belum Saatnya Dibuka untuk Wisman, Ini Alasannya

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana
Editor: Wema Satya Dinata
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Guru Besar Bidang Pariwisata Universitas Udayana (Unud), Prof I Gede Pitana

Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali sebelumnya sudah mempunyai beberapa tahapan untuk membuka pariwisata di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Tahap pertama, pariwisata Bali dibuka untuk warga lokal pada pada 9 Juli, kemudian dilanjutkan untuk wisatawan domestik/nusantara pada 31 Juli 2020 lalu sebagai tahap kedua.

Sayangnya, pembukaan pariwisata Bali tahap ketiga untuk wisatawan mancanegara (wisman) yang direncanakan pada 11 September 2020 tidak dapat dilaksanakan.

 Gagalnya pembukaan pariwisata Bali untuk wisman karena masih terganjal Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 11 tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia.

Ternyata Gampang Mengurus Dana Penunggu Pasien di Jembrana, Begini Caranya

Dukung Bangkitnya Pariwisata Bali di Masa Pandemi, BIN Kawal Wujudkan Wisata Aman Berdasarkan Prokes

Peringati HUT ke-11, Aston Kuta Hotel & Residence Gelar Donor Darah dan Bagi-bagi Sembako

Guru Besar Bidang Pariwisata Universitas Udayana (Unud), Prof I Gede Pitana menilai, pariwisata Bali memang belum saatnya dibuka untuk wisman.

Menurutnya, saat ini ada sekitar 59 negara yang melarang warganya untuk bepergian ke negara lain, termasuk yang menjadi pasar pariwisata Bali.

"Yang paling saya tahu, yang paling dekat, Australia melarang warganya.

Nah kalau pasar tertutup, kita paksa membuka, maka tentu perhitungan ekonominya tidak akan jalan," kata Prof. Pitana dalam diskusi pariwisata "Mengawal Bangkitnya Pariwisata Bali Berdasarkan Protokol Kesehatan Demi Pemulihan Perekonomian Bali" di Inna Grand Bali Beach Sanur, Denpasar, Kamis (10/9/2020).

Sementara bagi wisatawan nusantara/domestik, Prof. Pitana menilai masih adanya keengganan masyarakat untuk berwisata, terutama antarpulau melalui pesawat udara.

 Dirinya menyebut, ada ketidaknyamanan atau ketidakpercayaan psikologis para penumpang untuk bepergian menggunakan pesawat.

"Jangankan orang lain, saya sendiri saja ketika diundang ke Jakarta, diundang ke Medan, saya mengatakan lain kali saja. Padahal saya dibiayai oleh yang mengundang. Apalagi wisatawan yang harus membayar pembiayaannya sendiri," tutur Prof. Pitana.

Peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Unud itu menjelaskan, hipotesisnya tersebut mendapatkan kebenaran ketika melihat data jumlah pergerakan wisatawan ke Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Bandung.

Pergerakan wisatawan di Jawa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ke Bali.

Situasi ini disebabkan karena berbagai destinasi tersebut masih dalam satu pulau sehingga dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan darat.

Jelang Galungan Harga Daging Babi dan Ayam di Badung Meningkat

Tinggalkan Ferrari, Sebastian Vettel Gabung Aston Martin

BREAKING NEWS: 60 Bakal Calon Kepala Daerah Positif Covid-19

Halaman
12

Berita Terkini