Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Bali memiliki segudang kisah dan cerita unik yang berkaitan dengan agama dan budaya.
Satu di antaranya kisah Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling, yang berstana di Pura Dalem Ped, Nusa Penida, Klungkung, Bali.
Berikut sepenggal kisah yang diceritakan I Wayan Manca, Bendesa Adat Ped Nusa Penida, kepada Tribun Bali, Minggu (1/11/2020).
“Dahulu, hiduplah seorang pangeran yang bertempat tinggal di Gunung Kila, ia bernama Pangeran Jumpungan. Pangeran Jumpungan menjadi seorang pendeta sehingga mempunyai gelar Dukuh,” jelasnya di awal cerita.
Dukuh Jumpungan ini, kata dia, memiliki keahlian membuat perahu.
Ia pun mampu membuat loloan di Nusa Penida dan Nusa Ceningan.
Akhirnya Dukuh Jumpungan mempunyai istri bernama Ni Puri.
Dari perkawinannya ini, melahirkan Pangeran Merja.
Pangeran Merja juga akhirnya mempunyai istri yang bernama Ni Luna.
Kemudian dari perkawinannya tersebut, lahirlah Pangeran Undur dan seorang putri yang bernama Dyah Ranggini.
Lanjutnya, Pangeran Undur mempunyai istri bernama Ni Lumi.
Sedangkan Dyah Ranggini dipersunting menjadi permaisuri oleh Dalem Sawang.
Pangeran Undur lalu memiliki anak bernama Pangeran Renggan.
Ternyata, Dukuh Jumpungan memiliki keturunan yang lain bernama Pangeran Jurang yang beristri Ni Jarum dan tinggal di Bukit Biye.
Lalu ada Ni Luh Puri di Goa Lawah, Pangeran Yangga di Padang, Ni Runa di Sakenan, serta Pangeran Cenes di Segara.
Pangeran Renggan akhirnya menikah dengan Ni Merahim, dan lahirlah dua orang anak, satu laki-laki, yang satunya perempuan.
Anak laki-lakinya dinamai Pangeran I Gede Mecaling, dan yang perempuan diberi nama Ni Tole.
Ni Tole kemudian menjadi permaisuri Dalem Sawang yang menjadi raja di Nusa Penida.
Sedangkan Pangeran I Gede Mecaling, mempunyai seorang istri yang bernama Ratu Ayu Mas Lebur Jagat.
Dikenal juga dengan nama lain, yaitu Sang Ayu Mas Meketel, atau Sang Ayu Mas Rajeg Bumi.
“Akhirnya Pangeran I Gede Mecaling menjadi raja, setelah Dalem Sawang wafat, karena berperang dengan Dalem Dukut,” jelasnya.
Dikisahkan, I Gede Mecaling memiliki prabhawa yang tinggi, kekar, dan sangat berwibawa.
Pangeran I Gede Mecaling, kata dia, sangat senang melakukan tapa brata yoga semadi di Ped, Nusa Penida.
Pengastawaanya (pemujaannya) ditujukan kepada Ida Bhatara Siwa, Bhatari Durga, Bahatara Yama, Indra, dan Waruna.
I Gede Mecaling pun, termasuk sangat taat menjalankan tapa bratanya.
Konon ia bahkan sering melakukan tapa brata di dalam lautan dan di atas batu karang.
Baca juga: Kisah Pancoran Dedari di Taman Sari Waterfall, Pengunjung Lihat Sinar Berbentuk Sepasang Naga
Baca juga: Kisah Wayan Tuges, Perajin Gitar Ukir Bali di Masa Pandemi, Pemasaran Andalkan Facebook & Instagram
Deburan ombak dan angin lautan yang kencang, tak menggoyahkan tapanya.
Pikirannya selalu terpusat kepada para dewa yang dipujanya.
Hingga akhirnya, karena ketaatan I Gede Mecaling melakukan yoga semadi, membuat hati Ida Bhatara Siwa, Durga, Yama, Indra, dan Waruna tersentuh.
“Siapakah yang melakukan yoga semadi sedemikian hebatnya di bumi, sehingga para dewa bersedia turun dari swarga loka (surga) untuk melihat di bumi,” katanya.
Para dewa pun, berkehendak melihat siapa sosok yang melakukan yoga sampai membuat hati para dewa ini tersentuh.
Diceritakan setelah para dewa turun ke bumi, ternyata para dewa ini melihat cahaya di atas lautan antara selat Nusa dengan Bali.
Tak lain, adalah sang pangeran I Gede Mecaling yang melakukan tapa brata yoga dan semedi yang begitu hebat.
Dengan ketekunan tersebut, akhirnya Ida Bhatara Siwa, Durga, Yama, Indra, dan Waruna memberikan anugerah kesaktian berupa ajian Kanda Sanga kepada I Gede Mas Mecaling.
Setelah mendapat anugerah Kanda Sanga ini, tiba-tiba fisik Pangeran I Gede Mecaling menjadi berubah.
Badannya menjadi besar, wajahnya menjadi menyeramkan, taringnya menjadi panjang, suaranya menggetarkan seisi jagat raya.
Sedemikian hebat dan sangat menyeramkan, maka seketika itu juga jagat raya menjadi guncang.
“Kegaduhan, ketakutan, kengerian yang disebabkan oleh rupa, bentuk, dan suara yang meraung-raung siang dan malam dari pangeran I Gede Mecaling membuat gempar di mercapada (dunia),” sebutnya.
Melihat dan mendengar hal itu, para dewa pun ikut menjadi bingung karena tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kesaktian pangeran I Gede Mecaling.
Bahkan sesungguhnya para dewata ini pun, sejatinya tidak ada yang bisa menandinginya.
“Tidak ada yang bisa mengalahkan kesaktian pangeran I Gede Mecaling yang bersumber dari kedua taringnya, yang telah diberi anugerah oleh Ida Bhatara Siwa, dan para dewa lainnya,” jelas Manca.
Selain dari taring (caling), I Gede Mecaling juga memliki kesaktian Catur Sakti.
Perangainya yang tampan, menjadi tiba-tiba menyeramkan dan taringnya adalah sumber kesidhiannya atau kekuatannya, sehingga berkuasa atas rakyat Nusa sekala-niskala.
Atas kesaktian I Gede Mecaling ini, pada akhirnya dirinya menjadi nyapa kadi aku atau lupa diri.
Kesaktian tersebut, membuatnya sombong dan angkuh sehingga berani melawan para dewa.
“Tidak lagi menjadi sosok pangeran yang baik hati, tetapi justru menjadi angkuh,” jelasnya.
Rakyat Nusa yang memuja Hyang Widhi, dewa, bhatara, dan leluhur pun dilarang.
Bahkan tidak segan-segan I Gede Mecaling, memberikan hukuman kepada rakyatnya yang berani melanggar larangannya ini.
Atas ulahnya tersebut, para dewa pun menjadi resah, terlebih kesaktiannya yang sangat tinggi tak ada yang menandingi.
Para dewa akhirnya memutuskan mengutus Dewa Indra ke bumi untuk menghukum I Gede Mecaling.
Dewa Indra mengetahui kelemahan I Gede Mecaling pada ‘taringnya’ sehingga ia ke bumi adalah bermaksud memotong taring I Gede Mecaling.
Mendengar dirinya akan dihukum dan dibunuh oleh Dewa Indra, segera I Gede Mecaling mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik untuk melawan Dewa Indra.
“Singkat cerita, sampailah Dewa Indra di bumi,” katanya.
Pertarungan Dewa Indra dengan I Gede Mecaling tak terhindarkan.
Dewa Indra nampak gagah dengan senjata panah di tubuhnya.
Menatap tajam-tajam di sekelilingnya dengan sikap mawas diri, sembari berhati-hati sebab I Gede Mecaling bukanlah lawan biasa, tetapi orang sakti yang telah menerima anugerah dari para dewa, terlebih berkah dari Dewa Siwa.
Baca juga: Mengenal Aksara Modre yang Dianggap Sakral dan Magis di Bali
Baca juga: Jero Made Bayu Gendeng: Ada Energi Kuat yang Melindungi Bali
Setelah beberapa saat sampai di bumi, Dewa Indra pun melanjutkan perjalanan menuju tanah Nusa, dan selama dalam perjalanan Dewa Indra selalu waspada, jika ada serangan sekala-niskala.
Akhirnya, sampailah Dewa Indra di tanah Nusa.
“Setelah mereka berhadapan, tidak ada yang dapat menghalangi dua ksatria ini untuk berperang. Deru angin dan deburan ombak pantai Nusa menjadi sebuah isyarat, bahwa mereka harus saling menghancurkan,” tegasnya.
Mereka sama-sama sakti, dan pantang bagi mereka untuk melarikan diri dari pertarungan.
Suara burung bangkai memekakkan telingga, gagak bersorak, dan tak terkecuali anjing melolong pertanda bahwa akan ada pertempuran hebat antara keduanya.
Selanjutnya mereka pun saling serang, mereka juga sangat mahir memainkan jurus-jurus silat.
Berbagai macam siddhi pun dipraktikkan, sehingga badai begitu hebat terjadi dan gemuruh hebat keluar tatkala ilmu mereka beradu.
Dewa Indra dengan kesaktian wajranya, menyerang I Gede Mecaling.
I Gede Mecaling tak tinggal diam ketika diserang, dan ia mengeluarkan kesaktiannya anugerah dari Hyang Siwa dan Bhatari Durga.
Seketika dirinya mampu mengubah wujud menjadi sosok yang lebih menyeramkan, bersenjatakan kampak sakti.
Meraung dan tawa yang menggelegar membuat bumi bergetar.
Manusia biasa yang melihat perubahan wujud beliau sudah pasti ketakutan.
Bahkan seketika jiwa akan terlepas dari badannya, bersembunyi karena takut melihat perangai I Gede Mecaling.
Setelah menubah wujud, hanya Dewa Indra yang tidak mengalami ketakutan.
Ia menghunus senjata tombak dan menyerang I Gede Mecaling.
Terjadilah perang tanding yang lebih menakutkan lagi.
“Mata biasa sudah tidak bisa lagi melihat gerakan mereka, yang sangat cepat. Kecuali bagi orang yang memiliki waskita akan melihat keduanya mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Kilatan cahaya keluar dari dua senjata kapak dan tombak beradu,” ujarnya.
Kampak sakti diayunkan lalu ditangkis dengan tombak.
Saat tombak berayun menderu, suaranya menakutkan sekali.
Seolah-olah akan siap memangsa.
Pun demikian ketika kampak sakti diayunkan, suaranya bergemuruh seolah-olah hendak membinasakan apapun yang menyentuh mata kampak.
Perang semakin seru dan semakin hebat.
Dewa Indra menjauhi I Gede Mecaling dengan lompatan kecil ke belakang.
I Gede Mecaling seketika menghentikan serangan.
Dewa Indra nampaknya mulai berpikir untuk segera mengakhiri pertempuran ini, sebab ini akan membawa akibat pada bumi.
Akhirnya, Dewa Indra melompat tinggi terbang ke arah I Gede Mecaling, sembari menghunus senjata sakti keris anugerah dari Bhatara Siwa.
Keris yang terhunus mengeluarkan pamor yang menyilaukan, seperti sinar jutaan matahari.
Selanjutnya, dengan keris di tangan kanan, Dewa Indra menukik menuju I Gede Mecaling.
Dewa Indra fokus kepada dua taring I Gede Mecaling yang akan dipotongnya.
I Gede Mecaling mengetahui bahwa senjata keris sakti itu, adalah anugerah dari Dewa Siwa.
I Gede Mecaling pun merasa bahwa dirinya sudah akan dikalahkan.
Karena hanya senjata dari Dewa Siwa lah yang dapat menaklukkannya.
Setelah taring I Gede Mecaling berhasil dipotong, barulah ia berhenti menggemparkan seisi jagat raya.
Setelah itu, Pangeran I Gede Mecaling kembali melakukan tapa brata yoga semadi.
Pengastawanya ditujukan kepada Ida Bhatara Rudra.
Lalu Ida Bhatara Rudra pun berkenan turun ke bumi, memberikan anugerah kepada I Gede Mecaling, berupa Panca Taksu.
Panca Taksu ini, di antaranya adalah Taksu Balian,Taksu Penolak Grubug, Taksu Kemeranan, Taksu Kesaktian, dan Taksu Penggeger.
“Sebagai pengabih utama Ida Bhatari Durga Dewi, beliau diberi wewenang oleh Ida Bhatari Durga Dewi untuk mencabut nyawa manusia yang ada di bumi,” katanya.
Pangeran I Gede Mecaling juga diberikan wewenang sebagai penguasa samudera.
Karena hal itulah, ia sering juga disebut Ida Ratu Gede Samudera.
Gelar Pangeran I Gede Mecaling yang diberikan oleh Durga Dewi yaitu Papak Poleng, dan permaisurinya Sang Ayu Mas Rajeg Bumi diberi gelar Papak Selem.
Akhirnya, I Gede Mecaling moksa di Ped dan istrinya moksa di Bias Muntig.
Keduanya sekarang sebagai penguasa di bumi Nusa Penida, dan mendapat wewenang sebagai penguasa kematian.
“Akhirnya beliau bergelar Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling atau Ida Bhatara Ratu Sakti Mas Mecaling,” sebut Manca.
Akhirnya, masyarakat Hindu Bali kerap sembahyang ke Nusa untuk memohon agar dijauhkan dari mara bahaya dan bencana ke Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling.
(*)