Seni Budaya

TARI Sakral Sanghyang Dedari Hanya Boleh Gadis Belum Mens yang Menari, Wujud Hadirnya Berkah Dewa

Suara alunan kidung perlahan mengalun dari ibu-ibu di Banjar Behu, Desa Bungamekar, Kecamatan Nusa Penida.

ISTIMEWA
WBTB - Tarian sakral Sanghyang Dedari di Banjar Behu, Desa Bunga Mekar, Nusa Penida yang diusulkan sebagai WBTB oleh Dinas Kebudayaan Klungkung, Sabtu (23/8). 

TRIBUN-BALI.COM - Suara alunan kidung perlahan mengalun dari ibu-ibu di Banjar Behu, Desa Bungamekar, Kecamatan Nusa Penida.

Lalu seorang anak perempuan seketika memejamkan mata, dan menari mengikuti alunan tembang. 
Gerakan gadis itu luwes tampak sederhana, namun terkesan sangat magis.

Seolah tubuh mungil itu hanya menjadi medium para bidadari yang turun dari kahyangan. Inilah tarian Sanghyang Dedari, tarian sakral yang sudah ratusan tahun hidup di Banjar Behu, Desa Bunga Mekar, Nusa Penida. 

Baca juga: TARGET Nol Angka Kasus Rabies, Gianyar Digitalisasi Anjing Peliharaan di Seluruh Desa

Baca juga: LUKA Lebam di Tubuh MH, Keluarga Pilih Tidak Autopsi, Kematian Warga Gilimanuk Masih Jadi Misteri

Bagi warga setempat, Sanghyang Dedari adalah wujud hadirnya berkah para dewa. Ia menjadi ritual penetral aura negatif, agar keseimbangan desa tetap terjaga.

“Kalau tradisi ini terputus, diyakini akan membawa dampak buruk bagi warga,” ujar Kelihan Adat Banjar Behu, Nyoman Partha, Sabtu (23/8). 

Sanghyang Dedari masih dipentaskan secara konsisten hingga kini. Uniknya, tarian ini hanya dimainkan oleh anak-anak perempuan yang belum akil balig (dehe).

Mereka dipercaya sebagai perantara suci, yang murni sehingga layak menjadi medium turunnya bidadari. Gerakan yang mengalir tanpa latihan, semakin memperkuat sakralnya tarian ini. “Kami masyarakat Banjar Behu, terus bertekad untuk melestarikan tradisi ini,” ungkap Partha.

Kini, Sanghyang Dedari tengah diperjuangkan untuk mendapat pengakuan resmi sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia.

Dinas Kebudayaan Klungkung bersama tim pengkaji turun langsung ke Pura Desa lan Puseh, Banjar Behu, untuk melakukan kajian mendalam.

Kepala Dinas Kebudayaan Klungkung Ketut Suadnyana mengatakan, pengusulan ini bukan hanya soal dokumentasi, tetapi juga proteksi budaya.

“Seni sakral ini harus dijaga agar tidak tergerus zaman dan tidak diklaim pihak lain. Jika lolos, peluangnya bisa melangkah lebih jauh ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia,” ungkapnya, Minggu (24/8).

Pengusulan Sanghyang Dedari menjadi bagian dari langkah lebih besar Pemkab Klungkung. Selain tarian sakral ini, tiga tradisi lain juga diajukan ke Kementerian Kebudayaan RI, yaitu Tradisi Mejurag Tipat di Desa Timuhun, Tradisi Nandan di Desa Gunaksa, serta kerajinan perak (Bokor) di Desa Kamasan. Semua diyakini menyimpan nilai spiritual sekaligus estetika yang tinggi.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa tradisi Klungkung sudah masuk daftar WBTB, mulai dari Barong Swari Desa Jumpai, Nyepi Segara di Kusamba, Tenun Cepuk Desa Tanglad, hingga Wayang Klasik Kamasan. 

Setiap tradisi yang dicatat, dibukukan, dan dilegalkan, menurut Suadnyana, akan menjadi dokumen penting bagi generasi mendatang.

“Ketika budaya dicatat, ia akan hidup selamanya. Tidak ada yang bisa mengklaim, dan kita bisa memastikan warisan leluhur tetap terjaga,” tegasnya. (eka mita suputra)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved