Berita Bali

Dihantam Pandemi, Bali Sudah Kehilangan Rp 116 Triliun dari Pariwisata

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana
Editor: Widyartha Suryawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - Sejumlah wisatawan menanti sunset di penghujung tahun 2020 di Objek Wisata Tanah Lot, Tabanan, Kamis (31/12/2020).

Sekarang terbukti bahwa masyarakat Nusa Penida kembali sedikit demi sedikit mulai kembali ke ladang dengan menanam kacang, jagung, pisang dan tanaman hortikultura.

Prof Windia mengungkapkan, pariwisata sebagai bonus ekonomi telah sempat dirasakan di Bali sebelum akhir tahun 1969-an.

Buku The Island of Bali-nya Cuvarubias, telah mengundang Walter Spies, Arie Smith, Rudolf Bonnet, Antonio Blanco, Han Snel dan sebagainya datang ke Ubud.

Baca juga: Terkait Rencana Menparekraf Sandiaga Uno Berkantor di Pulau Dewata, Begini Respons Pemprov Bali

Ubud kemudian berkembang sebagai kampung turis yang dinikmati langsung oleh masyarakat setempat.

Di Ubud, mereka menikmati kebudayaan Bali seperti upacara ngaben, menikmati keindahan pura, menyaksikan ritual panca yadnya, menikmati sawah, ritual di subak, melihat petani yang sedang bekerja, menikmati jaringan irigasi subak, menikmati gunung dan sebagainya.

"Jadi, menurut pikiran saya, bahwa kita di Bali jalani saja kehidupan kita sebagai masyarakat Hindu di Bali. Kalau ada turis yang datang ya syukuri, dan kalaupun tidak ada, ya tidak apa-apa," jelas Windia.

Namun sebagai orang timur, maka harus melayani dan menghormati kedatangan wisatawan itu dengan ikhlas dan ramah.

Pada akhir tahun 1960-an, para turis itu menginap di rumah-rumah penduduk (home stay) dan para turis yang harus menyesuaikan dirinya dengan alam serta budaya Bali.

Baca juga: Teman WNA Rusia yang Ikut Ceburkan Motor ke Laut Tak Dideportasi? Ini Kata Kakanwil Kemenkumham Bali

"Saya masih ingat, bahwa dari Ubud turis semakin menyebar ke Desa Batuan, Sukawati. Kenapa? Karena di Batuan mereka dapat juga menikmati alam berkesenian, dan budaya masyarakat yang sepadan dengan di Ubud," tutur Windia.

Menurut Windia, pariwisata sebagai bonus menyebabkan hasilnya dapat dinikmati langsung oleh rakyat dan menimbulkan pemerataan, tapi tidak menyebabkan pertumbuhan yang drastis.

Apabila terjadi porsi pertumbuhan yang drastis pada umumnya akan dinikmati oleh kaum kapitalis yang kemudian akan menyebab kesenjangan.

"Seperti sekarang yang kita nikmati di Bali," kata Ahli Subak Unud itu.

Petani tampak menggarap sawahnya di kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) Jatiluwih, Penebel, Tabanan, Kamis (6/9/2018). (Tribun Bali/I Made Prasetia Aryawan)

Lalu apakah kita bisa kembali ke ideologi bahwa pariwisata sebagai bonus?

Bagi Windia, hal itu tentu saja akan sangat berat karena harus ada kesepakatan dan komitmen bersama masyarakat Bali.

Terlebih kaim kapitalis sudah terlanjur menggurita dan pemerintah sudah terlanjur berada dalam zona nyaman.

"Pemerintah terlanjur sangat berharap pada perkembangan pariwisata. Pariwisata yang menyebabkan pertumbuhan, dan penyerapan tenaga kerja.

Tetapi dengan efek negatif berupa migrasi yang masif, penduduk Bali menjadi penonton di pulaunya sendiri, dan transformasi sosio-kultural yang membahayakan," jelas Windia. (*)

Berita Terkini