Disinggung angka bunuh diri di Bali, Basudewa mengatakan angkanya cenderung masih tinggi pada 2021. Faktornya mulai dari depresi, adanya gangguan jiwa berat, hingga faktor keluarga yang pernah meninggal bunuh diri.
Khususnya bunuh diri di usia remaja, Basudewa mengatakan salah satu faktornya karena merasa dirinya berbeda dengan temannya. Di samping itu karena tekanan keluarga. Terutama grup usia 15 tahun hingga 18 tahun.
"Bunuh diri itu seseorang yang menghabisi dirinya sendiri. Kita tidak tahu kapan. Karenanya faktor-faktor tersebut harus dicermati sebagai resiko terjadinya bunuh diri, dan harus ditangani."
"Caranya, dengan cara mendengarkan keluh kesahnya, jangan dibiarkan sendiri, dan kalau mengalami gangguan signifikan seperti susah tidur, sedih berminggu-minggu, putus asa, atau karena kehilangan orang terdekat, segera kunjungi pusat-pusat kesehatan jiwa," katanya.
Sementara itu, Psikiater di Klinik SMC sekaligus Founder dari Rumah Berdaya Denpasar, dr I Gusti Rai Putra Wiguna SpKJ mengatakan, angka gangguan mental kian bertambah setiap tahun.
Bahkan nantinya pada 2030 diprediksi gangguan jiwa akan menjadi angka kesakitan nomor dua setelah penyakit jantung atau pembuluh darah. Menurutnya, ini harus menjadi warning untuk semua orang.
“Tapi melihat kejadian dua tahun terakhir sebelum pandemi Covid-19 angkanya tetap tinggi (kasus gangguan kejiwaan). Artinya dari yang mengalami sakit sampai yang mengakses terapi sangat jauh bedanya,” katanya pada Hari Kesehatan Mental Dunia, Senin (10/10).
Melalui riset kesehatan dasar pada 2018 hasilnya, 6 persen penduduk Indonesia mengalami depresi dan dari 6 persen hanya 9 persen yang mengakses terapi. Sementara sisanya 91 persen penduduk yang mengalami depresi tidak melakukan terapi.
Hal tersebut bisa saja karena tidak tahu itu perlu diterapi atau tidak paham itu bisa diterapi atau memang tidak bisa mengaksesnya.
“Sebanyak 91 persen tidak berobat kan sangat buruk apalagi dua tahun mengalami pandemi dampaknya lebih besar lagi. Angka bunuh diri meningkat hampir 100 persen jadi dari 2020 sebanyak 68 orang yang sampai meninggal dan pada 2021 itu 124 orang. Itu kan hampir 2 kali lipat. Kita belum punya angka yang 2022. Kemungkinan meningkat lagi,” imbuhnya.
Penyebab gangguan mental ini beragam, mulai dari tekanan ekonomi, masalah keluarga hingga kekerasan. Terlebih kejadian ini meningkat selama pandemi Covid-19.
Terlebih soal kesehatan mental ini stigma atau pandangan masyarakat dari dulu kesannya menganggap pengidap gangguan jiwa ini kurang iman, ibadah, kurang bersyukur, memang memiliki karakter seperti itu dan macam-macam stigma buruk lainnya.
Kasus bunuh diri belakangan ini marak terjadi khususnya pada usia yang cenderung masih muda. Menurut dr Rai, tekanan pada usia muda memang dinilai cukup besar.
Hal tersebut yang mendorong angka bunuh diri juga kian tinggi. Terlalu banyak tugas yang harus diemban pada usia muda.
“Memang tekanan pada anak usia muda cukup besar kalau kita lihat dari hal psikologi memang pekerjaan rumah (PR )-nya anak muda, terutama antara belasan, dua puluhan sampai tiga puluh itukan PR-nya besar,” jelasnya.