TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Risiko gangguan mental paling banyak dialami pada masa remaja. Pemicunya beragam, salah satunya yakni perundungan.
Bahkan resiko gangguan jiwa ini berpotensi terhadap kasus bunuh diri.
Hal tersebut diungkapkan Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI, dr Maria Endang Sumiwi, Senin (10/10).
Endang mengatakan potensi gangguan jiwa paling banyak pada usia di atas 15 tahun. Kendati demikian risiko itu terbangun selama masa kehidupan.
"Bisa jadi yang terjadi pada kelompok usia di atas 15 tahun itu, sudah mengalami hal-hal yang menyebabkan dia berisiko sebelumnya. Artinya sudah dibentuk mulai dari bayi sampai pertumbuhannya di masa remaja."
Baca juga: Kesehatan Mental Penting, Angka Harapan Hidup ODGJ Jauh Lebih Rendah
"Oleh sebab itu penting sekali pola asuh dari mulai keluarga. Sehingga mempersiapkan seseorang untuk menghadapi tantangan saat menginjak usia remaja," ujarnya saat menghadiri peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) di RSJ Bali, Bangli.
Endang yang saat itu didampingi Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes RI, Vensya Sitohang mengatakan, sesuai data morbidity atau penyebab kematian dan penyebab hidup dengan tidak berkualitas di Indonesia, masalah mental health bagi remaja adalah masalah terbesar kedua.
"Kita sudah lihat dari setiap siklus hidup, apa yang menjadi beban terbesar. Mulai dari bayi, masa sekolah, masa remaja, usia produktif, hingga lansia. Yang paling besar beban kesehatan jiwa dari data itu adalah pada remaja. 2 dari 3 remaja melaporkan mengalami satu bentuk kekerasan. Bisa verbal maupun fisik. Dan bisa juga bullying di sekolah. Itu faktor risiko yang mendasari gangguan jiwa," ungkapnya.
Pihaknya tidak memungkiri gangguan jiwa pada remaja juga berpotensi terhadap kasus bunuh diri.
Dijelaskan, bunuh diri merupakan kumpulan dari semua permasalahan atau gangguan jiwa yang tidak terselesaikan dengan baik.
"Baik itu tidak terilis di keluarga maupun di teman sebayanya. Ataupun tidak ada orang untuk dicurhati. Baik masalah sekolah, pergaulan, rumah tangga dan sebagainya," jelas dia.
Baca juga: Hari Kesehatan Mental Sedunia: Angka Gangguan Kesehatan Mental Bertambah Setiap Tahun
Plt Direktur RSJ Bali, Dewa Gede Basudewa mengatakan, gangguan mental terhadap remaja di Bali kebanyakan berupa gangguan emosional, baik berupa kecemasan atau kesedihan terhadap tumbuh kembang dirinya.
"Misalnya merasa wajahnya atau dirinya tidak seperti orang lain. Selain itu juga trauma karena kekerasan, kurangnya perhatian, maupun tertekan karena pola asuh yang bersifat keharusan. Itu lebih banyak berpengaruh pada mental emosional remaja," sebutnya.
Menurut Basudewa, prevelensi remaja Bali yang mengalami gangguan emosional sekitar 60 persen. Disebutkan pula, pada 7 Oktober, pihaknya sempat melakukan Deteksi Dini Kesehatan Jiwa Anak Usia Sekolah di Alun-alun Kota Bangli.
"Kegiatan ini diikuti 95 siswa dengan interpretasi hasil 29 persen siswa memiliki masalah emosional yang berkaitan dengan perasaan negatif seperti sering merasa tidak Bahagia dan 28 persen memiliki masalah teman sebaya yang berkaitan dengan diganggu, dipermainkan, digertak atau diancam oleh anak-anak lain," sebutnya.
Disinggung angka bunuh diri di Bali, Basudewa mengatakan angkanya cenderung masih tinggi pada 2021. Faktornya mulai dari depresi, adanya gangguan jiwa berat, hingga faktor keluarga yang pernah meninggal bunuh diri.
Khususnya bunuh diri di usia remaja, Basudewa mengatakan salah satu faktornya karena merasa dirinya berbeda dengan temannya. Di samping itu karena tekanan keluarga. Terutama grup usia 15 tahun hingga 18 tahun.
"Bunuh diri itu seseorang yang menghabisi dirinya sendiri. Kita tidak tahu kapan. Karenanya faktor-faktor tersebut harus dicermati sebagai resiko terjadinya bunuh diri, dan harus ditangani."
"Caranya, dengan cara mendengarkan keluh kesahnya, jangan dibiarkan sendiri, dan kalau mengalami gangguan signifikan seperti susah tidur, sedih berminggu-minggu, putus asa, atau karena kehilangan orang terdekat, segera kunjungi pusat-pusat kesehatan jiwa," katanya.
Sementara itu, Psikiater di Klinik SMC sekaligus Founder dari Rumah Berdaya Denpasar, dr I Gusti Rai Putra Wiguna SpKJ mengatakan, angka gangguan mental kian bertambah setiap tahun.
Bahkan nantinya pada 2030 diprediksi gangguan jiwa akan menjadi angka kesakitan nomor dua setelah penyakit jantung atau pembuluh darah. Menurutnya, ini harus menjadi warning untuk semua orang.
“Tapi melihat kejadian dua tahun terakhir sebelum pandemi Covid-19 angkanya tetap tinggi (kasus gangguan kejiwaan). Artinya dari yang mengalami sakit sampai yang mengakses terapi sangat jauh bedanya,” katanya pada Hari Kesehatan Mental Dunia, Senin (10/10).
Melalui riset kesehatan dasar pada 2018 hasilnya, 6 persen penduduk Indonesia mengalami depresi dan dari 6 persen hanya 9 persen yang mengakses terapi. Sementara sisanya 91 persen penduduk yang mengalami depresi tidak melakukan terapi.
Hal tersebut bisa saja karena tidak tahu itu perlu diterapi atau tidak paham itu bisa diterapi atau memang tidak bisa mengaksesnya.
“Sebanyak 91 persen tidak berobat kan sangat buruk apalagi dua tahun mengalami pandemi dampaknya lebih besar lagi. Angka bunuh diri meningkat hampir 100 persen jadi dari 2020 sebanyak 68 orang yang sampai meninggal dan pada 2021 itu 124 orang. Itu kan hampir 2 kali lipat. Kita belum punya angka yang 2022. Kemungkinan meningkat lagi,” imbuhnya.
Penyebab gangguan mental ini beragam, mulai dari tekanan ekonomi, masalah keluarga hingga kekerasan. Terlebih kejadian ini meningkat selama pandemi Covid-19.
Terlebih soal kesehatan mental ini stigma atau pandangan masyarakat dari dulu kesannya menganggap pengidap gangguan jiwa ini kurang iman, ibadah, kurang bersyukur, memang memiliki karakter seperti itu dan macam-macam stigma buruk lainnya.
Kasus bunuh diri belakangan ini marak terjadi khususnya pada usia yang cenderung masih muda. Menurut dr Rai, tekanan pada usia muda memang dinilai cukup besar.
Hal tersebut yang mendorong angka bunuh diri juga kian tinggi. Terlalu banyak tugas yang harus diemban pada usia muda.
“Memang tekanan pada anak usia muda cukup besar kalau kita lihat dari hal psikologi memang pekerjaan rumah (PR )-nya anak muda, terutama antara belasan, dua puluhan sampai tiga puluh itukan PR-nya besar,” jelasnya.
Tugas-tugas tersebut pertamanya yakni bagaimana caranya agar dapat diterima oleh teman sebayanya. Lalu bagaimana dapat menentaskan pendidikan pada bangku kuliah, di usia itu juga biasanya ada PR untuk memiliki penghasilan.
Bahkan di usia tersebut itu juga sudah ditanyakan terkait pasangan.
“Bayangkan satu dasawarsa PR nya banyak ‘banget’. Umur 10-20 tahun apalagi 30-40 tahun tidak terlalu banyak. Memang paling banyak PR Psikologis itu 20-30 tahun. Maka ada istilah ‘quarter life crisis’. Pentingnya tekanan mental atau resiliensi mental sehingga apapun PR-PR diusia tersebut bisa kita hadapi atau kita coba satu persatu,” imbuhnya.
Bahkan ia mengatakan bunuh diri menjadi penyebab kematian kedua setelah kecelakaan pada usia muda. Saat ini, dikatakan dr. Rai merupakan era di mana banyak orang yang tertekan dengan yang dinamakan culture-culture yang harus buru-buru atau tergesa-gesa.
“Pesan saya sih bagaimana kita menggalakkan ballance life untuk menjaga kesehatan jiwa. Seperti 8 jam untuk bekerja 8 jam istirahat atau tidur dan 8 jam untuk pengembangan diri olahraga dan sebagainya. Jadi tidak benar kata orang kalau makin panjang jam kerjanya makin produktif. Tidak ada dan tentu berpengaruh pada kesehatan jiwa,” katanya.
Menurut dr Rai, kesehatan mental sangat penting untuk diperhatikan. Dia mengatakan sangat penting untuk membuat kesehatan jiwa itu sebagai global priority.
“Selama ini perlakuan orang itu berbeda pada kesehatan fisik dan jiwa. Kalau ada orang jatuh patah langsung disuruh istirahat. Kalau gangguan fisik diajak ke rumah sakit kalau gangguan mental ke tempat ibadah itu beda lho. Padahal kan sama-sama gangguan kesehatan,” katanya.
dia mengatakan jika orang gangguan fisik diberikan previllage untuk istirahat, sementara pada orang yang memiliki gangguan mental biasanya akan mendapatkan perlakuan atau perkataan seperti kurang bersyukur, atau kurang ibadah tentunya ini membutuhkan momen yang baik untuk mengedukasi. Namun sejak pandemi Covid-19, dr. Rai mengatakan terdapat titik cerah khususnya untuk generasi milenial jadi lebih terdukasi soal kesehatan mental.
Perjuangan Pengidap Bipolar
AWAL 2020, Bela, bukan nama sebenarnya, memberanikan diri kembali datang ke psikiater. Bukan tanpa sebab, Bela wanita berusia 26 Tahun ini memang sempat merasakan ada yang tidak beres di dalam mentalnya.
“Aku merasa diriku udah nggak baik-baik saja. Sudah mengganggu aktivitas sehari-hari bahkan nggak ada niat untuk fokus menjalani kedepan, menarik diri dari sosial, mulai mimpi buruk, tidak nafsu makan hingga akhirnya aku datang ke psikiater yang ada di tengah Kota Denpasar,” katanya, Senin (10/10).
Pada 2020 itu awal mula pandemi Covid-19 merebak. Sehingga membuatnya harus berkonsultasi secara online dengan psikiater tersebut. Banyak hal yang ia katakan pada psikiater tersebut, mulai dari sejak kapan perasaan tidak tenang ini muncul hingga apa yang Bela lakukan sehari-hari. Hingga akhirnya Bela pun disarankan untuk mengonsumsi obat dan mengambil resepnya di apotek. Dan di sana ia telah didiagnosis mengidap F26 yakni skizofrenia paranoid.
“Aku diberi obat ada 3 macam, dan tiap 8 jam sekali aku harus minum. Sebenarnya gangguan mental ini sudah sejak 2010, dan sudah nggak ke dokter karena merasa diri ini sudah baik,” tambahnya.
Gangguan mentalnya ini kembali kambuh pada 2020. Bela mengatakan, kebetulan saat itu ia sedang dihadapkan dengan masalah keluarga hingga dirumahkan dari pekerjaannya.
Dengan kondisi serba pas-pasan, Bela pun memutuskan menghentikan konsultasi dengan psikiater tersebut setelah dua kali ke kliniknya karena biayanya yang cukup menguras kantong, sementara ia sendiri sudah tak memiliki pekerjaan yang tetap.
“Akhirnya aku cari-cari info ternyata bisa pakai BPJS (kesehatan). Akhirnya aku ganti dokter ke salah satu rumah sakit di Denpasar sampai sekarang,” imbuhnya.
Namun saat ia kembali berobat, gejala sakit mentalnya sudah berbeda. Hingga akhirnya ia menjalani terapi dengan diagnosa F31 atau bipolar affective disorder. Selama menggunakan BPJS Kesehatan untuk berobat, Bela tidak dikenai biaya konsultasi dan pembelian obat.
Dan ia diberikan 3 macam obat serta melakukan konsultasi selama seminggu sekali. Ketika melakukan konsultasi, biasanya dokter menanyakan bagaimana kenyamanan saat beristirahat seperti tidur, apa yang Bela lakukan saat ini, serta menyarankan untuk berafirmasi positif.
“Ya lebih ke ngobrol, lalu diberi obat yang sesuai dengan permasalahan yang kita alami (biasanya ada dosis yang dikurangi atau ditambah bila dirasa perlu),” sambungnya.
Mengetahui anaknya mengidap gangguan mental, tentunya membuat orangtua Bela terkejut. Dan memikirkan solusi agar Bela dapat sehat kembali. Sementara untuk teman-teman dan lingkungannya dikatakan Bela menuai beragam rekasi pro dan kontra.
“Ada yang mau menerima, ada yang bilang paling aku ini kecapekan aja, dibilang kurang bersyukur, disuruh kencangin ibadahnya kurang lebih gitu. Malah ada yang jadiin sakitku ini jadi kelemahanku. Padahal aku bisa mengerjakan semuanya,” paparnya.
Untuk saat ini Bela mengatakan lebih berdamai saja dengan keadaan tanpa melawan. Dan kini Bela lebih sering mencari bagaimana letak kenyamanan untuk dirinya. Biasanya ia membaca buku tentang kesehatan mental atau lainnya, memasak, menggambar dan menulis.
Menurut Bela, pengobatan para gangguan mental sangat penting dilakukan, karena setelah beberapa kali menemukan problem, serta ketika merasa diri bergejala yang sama akhirnya memutuskan sendiri jika mengidap bipolar juga. Dan hal tersebut merupakan self diagnose yang buruk. Padahal, kata Bela gejala setiap orang berbeda-beda.
“Ya di hari kesehatan mental dunia ini, aku sangat berterima kasih untuk diriku dan orang-orang terdekat sekitarku yang mau sama-sama berjuang sampai sekarang. Naik turun kondisiku, aku bisa melewatinya. Mau mengerti di segala kondisi, aku berharap orang-orang juga lebih peduli dan peka ketika sudah nggak baik-baik saja bisa langsung datang ke yang lebih profesional bisa psikolog atau psikiater. Karena kebanyakan mereka lebih self diagnosa gitu. Apalagi sekarang segala informasi tentang kesehatan mental, gangguan mental sudah cukup mudah dijangkau,” katanya. (*)
Berita lainnya di Kesehatan Mental