"Dari komunikasi itu, pemilik bangunan mengklaim bahwa lahan miliknya masih 25 meter dari pinggir Danau Batur yang saat ini pasang," ungkapnya.
Dari pengakuan itu, pihaknya masih menunggu bukti penunjang yang menyatakan lokasi bangunan apung masih lahan hak milik.
Jika dari sisi bukti kepemilikan tidak benar, maka pihaknya akan menyarankan agar bangunan tidak masuk ke sempadan Danau Batur.
"Tetapi kalau memang dia buktikan (lahan tersebut) masih kepemilikannya, ya nanti kita koordinasikan lagi dengan Satpol PP Provinsi Bali. Mengingat izin pemanfaatan air permukaan ada di bawah pemerintah provinsi," ucapnya.
Diakui ada sedikit dilema, dalam penertiban bangunan di atas permukaan air danau.
Sebab yang memanfaatkan air permukaan tidak hanya bangunan camping ground, namun adapula bangunan apung penyewaan tempat pancing, hingga kuramba jaring apung (KJA).
Karenanya terkait perkembangan pemanfaatan lahan di seputaran Danau Batur perlu kolaborasi lintas sektoral.
Seperti pemanfaatan KJA yang perlu peran Dinas Pertanian Ketahanan Pangan dan Perikanan (PKP).
Begitu juga dengan pariwisata, yang mana saat ini pemerintah daerah berupaya untuk meningkatkan pariwisata di Bangli.
"Kemudian untuk ekositem danau tentunya ada Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
Berikutnya soal perizinan, ada ketentuan untuk dalam pembangunan.
Seperti jarak pembangunan dari sempadan Danau Batur.
Jadi perlu kolaborasi dan mencari solusi. Bagaimana memanfaatkan potensi yang ada di danau untuk kesejahteraan masyarakat tetapi juga tidak melanggar ketentuan yang ada," ujar pejabat asal Kecamatan Susut ini. (*)