Kasus SPI Unud

Tolak Dalil Prof Antara dan Timnya, Sidang Kasus Dugaan Korupsi SPI Unud, JPU Tetap Pada Tuntutan

Penulis: Putu Candra
Editor: I Putu Juniadhy Eka Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof Antara menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa 23 Januari 2024.

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanggapi pembelaan dari terdakwa mantan Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof DR Ir I Nyoman Gde Antara MEng IPU dan tim penasihat hukumnya di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar pada  Selasa 6 Februari 2024.

Dalam tanggapannya (replik), tim JPU I Nengah Astawa dkk menyatakan, tetap pada tuntutan yang telah diajukan. Pula menolak dalil pembelaan, baik yang diajukan tersendiri oleh Prof Antara maupun tim penasihat hukumnya, I Gede Pasek Suardika dkk.

Sebelumnya Prof Antara dan timnya mengajukan pembelaan, menanggapi tuntutan yang diajukan tim JPU.

Oleh JPU, Prof Antara dituntut pidana penjara masing-masing selama 6 tahun denda Rp 300 juta subsidair 3 bulan kurungan.

Prof Antara dinilai terbukti melakukan tindak pidana gabungan pemerasan dalam jabatan secara bersama-sama dan berlanjut dalam perkara dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru (maba) seleksi jalur mandiri Unud tahun 2018-2022.

Baca juga: Dua Kasus Besar Tunggu Ketut Sumedana, Jaksa Agung Lantik Jadi Kajati Bali, Wajib Jaga Netralitas

"Intinya kami tetap pada tuntutan dan menolak dalil-dalil pembelaan yang diajukan tim penasihat hukum maupun terdakwa Prof Antara," tegas JPU I Nengah Astawa didampingi Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasi Penkum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Putu Agus Eka Sabana seusai sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar.

Nengah Astawa menjelaskan, dalam repliknya tidak lagi membicarakan kerugian keuangan negara. Ini karena pasal yang dibuktikan oleh JPU kepada terdakwa adalah pasal 12 huruf e yang tidak ada kaitannya dengan kerugian keuangan negara.

"Dalam proses pemungutan SPI tidak ada pergeseran, karena dalam dakwaan pasal 12 huruf e itu berbicara inti deliknya adalah unsur pemaksaan untuk menyerahkan uang. Delik itu sudah sesuai ketika penyerahan uang itu dilakukan. Keuntungan itu adalah sebagai motivasi dari pada terdakwa untuk melakukan tindak pidana pemerasan," paparnya.

Terkait pengendapan dana SPI di beberapa bank rekanan, kata Nengah Astawa, jika berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 129 dan Peraturan Rektor Nomor 3 tahun 2021 seharusnya disimpan dalam bentuk deposito, bukan giro.

"Mereka juga sudah mendalilkan, bahwa ini sudah ada beauty contest. Ada aturannya jelas, tapi dalam bentuk deposito bukan dalam bentuk giro dan tidak boleh diikat," jelasnya.

tim JPU membacakan tanggapan (replik) atas pembelaan terdakwa Prof Antara dan tim penasihat hukumnya di Pengadilan Tipikor Denpasar. (Putu Candra)

Yang paling substansial, menurut JPU, adalah ketika tim penasihat hukum Prof Antara mengajukan bukti tambahan dari 39 universitas atau perguruan tinggi.

"Itu sudah kami kelompokkan. Ada PTNBH, itu jelas pungutannya otonom dan mutlak mereka mempunyai kewenangan. Kalau BLU tetap atas kewenangan Kementerian Keuangan. Kalau PTN Satker itu merujuk pada kementerian teknisnya, ada PT-nya," kata Nengah Astawa.

"Sedangkan dalam PMK, yang 9 universitas PN BLU itu ada pendelegasian kewenangan. Diatur di pasal 7 PMK-nya. Supaya pungutan SPI-nya itu mengikuti ketentuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kalau di PMK-nya Unud, baik PMK 51 maupun 95 tidak ada klausul itu. Itu lah yang membedakan. Intinya, rektor dan terdakwa lainnya tidak boleh mendapatkan keuntungan apapun dari pungutan SPI," sambungnya.

Nengah Astawa kembali menyatakan, pungutan SPI yang tidak sesuai PMK kemudian hanya berdasarkan SK Rektor dan dalam penerapannya tidak benar.

Baca juga: Sidang Dugaan Korupsi SPI Unud, Tiga Pejabat Unud Ini Dituntut Penjara 5 dan 4 Tahun

"Seharusnya penggunaan SPI diatur dalam PMK. Ini sudah tidak ada, tapi hanya dibuatkan SK Rektor. SK Rektor yang dipakai dasar memungut dalam implementasinya juga tidak benar, karena ada program studi yang seharusnya tidak dipungut berdasarkan SK Rektor, malah dipungut juga," katanya.

Halaman
12

Berita Terkini