TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Lagi joged bumbung diwarnai aksi tidak senonoh antara penari dan pengibing viral di sosial media sosial.
Video joged bumbung tersebut kembali viral sebab penari tak mengikuti pakem joged bumbung yang semestinya.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Skar., M. Hum, mengatakan permasalahan joged bumbung ini sudah dibahas sejak Tahun 2016 lalu.
Baca juga: Bawa Kabur Pacar di Buleleng, KS Diduga Paksa Gadis Dibawah Umur Berhubungan Selama 4 Hari 3 Malam
“Sudah sejak Tahun 2016 kita mengurusi permasalahan joged bumbung. Berbagai upaya sudah kita lakukan dan secara terus menerus pertama kita lakukan dengan seminar untuk mengembalikan joged bumbung ke pakemnya kita undang juga para penari joged bumbung dan Majelis Kebudayaan Bali juga sudah turun,” katanya pada, Kamis 14 Maret 2024.
Para seka (kumpulan) Joged atau penari Joged sudah dikumpulkan dan dijelaskan juga bagaimana pakem joged bumbung.
Sebelumnya Pemprov Bali juga sudah mengeluarkan surat edaran sebanyak dua kali pada jaman Gubernur Mangku Pastika dan juga pada jaman Gubernur Koster.
Baca juga: Inikah yang Namanya Ajal? Kesaksian Nyoman Ayu di Tabanan, Sempat Tolak Tamu hingga Berakhir Tragis
Kemudian Kepala Dinas PMA Bali juga sudah memanggil seluruh Bendesa Adat sudah dikumpulkan untuk memantau joged-joged Jaruh (tidak senonoh) di daerah masing-masing dan semuanya sudah siap.
“Beberapa LSM juga sempat melakukan sosialisasi. Tapi ya gitu mati satu tumbuh seribu.
Jadi segala upaya persuasif dan juga upaya upaya normatif sudah semua kita lakukan kenapa upaya itu didahulukan karena penari Joged masih memakai gelar seniman kan itu masalahnya,” imbuhnya.
Lebih lanjutnya, Prof Arya juga mengatakan dengan melakukan joged bumbung Jaruh seperti itu mereka sudah sangat menabrak pakem pakem dari joged Bumbung yang sebenarnya.
Seperti goyang ngebor yang ditunjukkan kepada penonton itu sebetulnya tidak ada joged yang seperti itu di joged bumbung.
Tindakan tak senonoh pada joged bumbung sudah melenceng dari pakemnya.
“Ia (para penari) melakukan joged bumbung Jaruh beralasan karena keadaan ekonomi ada yang karena memang taksunya.
Sebetulnya sudah kita akomodir cuma tetap saja kok semakin hari semakin menjadi tinggal satu cara yang belum kita jalankan yaitu bisa saja joged bumbung Jaruh ini dimasukkan ke dalam kejahatan hukum pelanggaran hukum kan ada UU Pornografi,” tandasnya.
Namun, kata Prof Arya hanya saja dulu Bali menolak bahwa joged jaruh itu masuk pada undang-undang pornografi.
Kalau memang bisa dipakai ke jalur hukum maka harus dipelajari, Polisi juga harus mempelajari.
Pada psikologi seniman juga harus diperhitungkan karena pro kontra nya sangat tinggi sekali.
"Akal sehat kita sendiri sudah habis untuk memberantas itu. Semuanya prihatin,” terangnya.
Langkah memasukan joged jaruh ke UU ITE dan penegakan hukum memang belum dilakukan.
Perlu dilakukan kajian terlebih dahulu ini dan diakui Prof Arya ini sangat tidak mudah karena itu memerlukan pemikiran dari berbagai segi.
Berbagai hal yang turut dihitung yakni seperti apa potensi pro dan kontra nya seperti apa.
Bahkan yang menyukai Joged Jaruh jumlahnya cukup banyak ada yang membela karena joged jaruh dianggap ekting tidak senonoh dan dianggap penghasilan daripada joget tersebut.
Prof Arya memberikan contoh seperti ada salah satu joged bumbung dari Tabanan yang diantarkan langsung oleh orang tuanya untuk melakukan joged dan dibayar Rp 2 juta per malam bahkan orang tuanya sendiri memberikan izin bagaimana kita untuk mencegahnya di situ pro dan kontranya.
“Diskusi itu dulu dilakukan kita sedang diskusi masih mencari jalan dengan pakar pakar hukum seperti apa bisa atau etis tidak terkait seniman juga dan membela ini kan kebanyakan seniman bahkan ada yang memohon kepada saya janganlah Pak Kadis keras keras dengan seka joged kasihan mereka karena mencari penghidupan,” tutupnya.