Namun dalam putusanya itu MK juga menyatakan bahwa selama belum terbentuk pengadilan khusus Pilkada, maka MK akan tetap mengadili perselisihan hasil Pilkada.
Demikian juga dalam pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor: 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua UU Nomor: 1 tahun 2015 tentang penetapan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor: 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, menyatakan bahwa penetapan perolehan suara hasil akhir jika terjadi sengketa diadili di Mahkamah Kontitusi sampai dibentuk nya badan peradilan khusus Pilkada.
Namun Mahkamah Kontitusi dalam putusanya dalam perkara Nomor: 85/ PUU - XX / 2022, menganulir putusan MK terdahulu dalam perkara Nomor: 97/PUU - XI/2013. Dalam amar putusanya menyatakan, "frasa, sampai terbentuknya badan peradilan khusus, pada pasal 157 ayat ( 3) Undang-Undang RI Nomor: 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor: 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati, menjadi Undang-Undang sesuai Lembaran Negara RI tahun 2016 Nomor 130, dinyatakan Oleh MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Demi memperjelas makna pasal 157 ayat (3) UU Nomor: 10 tahun 2016 yang tidak lagi mengandung sifat sementara, yang menurut Mahkamah Kontitusi frasa sampai terbentuknya badan peradilan khusus harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dengan hilangnya frasa sementara tersebut sesuai pasal 157 ayat (3) UU Nomor: 10/2016 selengkapnya harus dibaca "Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan kepala daerah diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Kontitusi, yang bersifat final dan mengikat.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa mengapa kewenangan mengadili dalam Pemilukada menjadi kewenangan Mahkamah Kontitusi, bukan lagi sebuah lembaga khusus yang dibentuk dibawah Mahkamah Agung atau Mahkamah Kontitusi sendiri, karena sesuai amanat Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, karena pemilihan Kepala Daerah adalah pemilihan umum sebagai mana dimaksud Pasal 22E UUD 1945 yang berbunyi:
1. pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung , umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun
2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPRD, Presiden dan Wakil presiden dan DPD .
Seterusnya, didalam pasal 22E dari UUD 1945 tersebut tidak ada satu katapun Pemilu diselenggarakan untuk memilih Gubernur, Bupati Walikota sebagai Kepala Daerah.
Hanya saja pada ayat (6) tertera, ketentuan lebih lanjut tentang Pemilihan Umum diatur dengan Undang-Undang.
Demikian juga dalam Pasal 24 C dari UUD 1945, ayat (1) berbunyi: Mahkamah Kontitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk menguji Undang Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Antara Pasal 22E dan Pasal 24C dalam Undang-Undang Dasar, merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan ditafsirkan secara terpisah, dimana didalam bunyi Kontitusi tertulis sesuai Pasal 22E dan Pasal 24 dan 24C tidak ada satu kalimatpun Mahkamah Kontitusi diberikan kewenangan untuk mengadili Pemilihan umum Kepala Daerah.
Itukah sebabnya setelah pasca putusan perkara MK Nomor: 97/PUU- XI/2013, dibentuklah Undang-Undang Nomor: 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor: 1 tahun 2015 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti UU Nomor: 1 tahun 2014, tentang pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota.
Pertimbangan Mahkamah Kontitusi dianulirnya putusan Nomor: 97 / PUU-XI/2013 karena hingga tahun 2022 dengan telah ditetapkannya, diajukan Pemilukada secara serentak di seluruh wilayah RI yang telah habis masa jabatannya.
Dimana Eksekutif dalam hal ini Pemerintah juga belum melaksanakan untuk membentuk peradilan khusus Pemilukada yang harus diatur dan dilakukan penelitian secara komprehensif, apakah dibawah Mahkamah Agung atau dibawah Mahkamah Kontitusi, yang mendasari salah satu dalam pertimbangannya bahwa MK mempunyai kewenangan permanen untuk mengadili hasil perhitungan akhir sengketa Pilkada, secara final dan mengikat.
Dari pertimbangan MK diatas , jelas sekali Majelis Hakim di MK telah menempatkan diri sebagai pembuat dan pembentukan dari Hukum Dasar, dalam hal ini adalah Pemerintah ( eksekutif ) yakni Presiden dan atas persetujuan DPR. Dua lembaga tersebutlah yang diberikan kewenangan untuk merubah dan mengamandemen dari isi dan bunyi pasal di dalam UUD 1945.
Didalam UUD 1945 sendiri kewenangan Mahkamah Kontitusi adalah hanya mengadili Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, bukannya mengubah dan menafsirkan frasa dari bunyi UUD itu sendiri yang secara limitatif sudah jelas diatur sesuai pasal 22 E dan pasal 24 dan 24 C dari UUD 1945.
Hal ini menabrak pembagian kekuasaan sesuai Trias Politica dalam pemerintahan yang demokratis.
Apabila pertimbangannya mengambil alih kewenangan mengadili secara permanen dalam peradilan Pemilukada dikarenakan eksekutif belum juga memberikan peradilan khusus Pemilukada, maka pertimbangan tersebut sangat naif, karena disamping biaya cosh yang harus dipersiapkan juga sangat besar, Pemilukada bersifat hajatan lima tahunan, tentu eksekutif/pemerintah akan lebih mengutamakan untuk sektor yang lebih penting dalam pembangunan. Bukannya tidak mau membentuk, tapi mungkin akan dianggarkan pada tahun berikutnya dan harus dikaji secara komprehensif.
Pertanyaan selanjutnya, setelah Mahkamah Kontitusi mengambil alih kewenangan untuk mengadili dalam kasus perkara Pemilukada yang sudah dilaksanakan secara serentak pada tgl 27 November 2024 yang lalu, apakah mampu untuk menampung dan menjalankan? Proses peradilan tersebut, katakanlah peradilan yang bertujuan kepastian hukum bisa diterapkan, bagaimana dengan peradilan untuk mencapai keadilan? Belum lagi setelah keadilan dan kepastian hukum tercapai bagaimana untuk mencapai asas kemanfaatan bagi masyarakat, bagi Bangsa dan Negara?
Sedang kita mengetahui Pemilukada serentak ini dilakukan dari Sabang hingga pulau Merauke dengan 508 Kabupaten/Kota dan 37 propinsi. Sesuai asas proses peradilan yang menuntut biaya murah dengan proses cepat tidak bertele-tele, dengan batasan waktu yag telah ditetapkan oleh Undang-Undang dalam peradilan Pemilukada. Bagaimana bisa terpenuhi, katakanlah calon kepala daerah dari Indonesia Timur atau Aceh datang ke Jakarta untuk mengajukan gugatan di Mahkamah Kontitusi. Berapa biaya dan waktu yang harus ditempuh dan sanggupkah dengan kondisi hanya dengan sembilan Hakim Kontitusi dan jumlah ruangan serta keterbatasan waktu yang ditentukan?
Inilah kita menunggu Jiwa Kenegarawanan dari Hakim Mahkamah Kontitusi, yang diibaratkan telah duduk dikursi gadung dimana segala putusanya adalah mahkota dari kehormatan hakim itu sendiri.
Apakah bisa memutuskan, bukan saja dari aspek keadilan dan kepastian hukum, tapi juga dari aspek kemanfaatan?
Dengan Kekuasaan yang telah diberikan oleh Negara kepada Mahkamah Kontitusi yang diberikan kewenangan mengadili secara final dan mengingat tidak ada upaya hukum banding apalagi kasasi. Boleh diibaratkan , Kekuasaanya menyamai Firman Tuhan.