“Kawin lari pada masa itu tidak bisa dipandang sesuatu yang negatif. Justru kawin lari pada masa itu dipercaya akan melahirkan anak yang kesatria,” ucapnya.
Setelah menikah, Raden Soekemi dan Rai Srimben masih tinggal di kosnya. Hingga pada 1898, anak pertama keduanya lahir.
Anak itu diberi nama Soekarmini. Ari-arinya ditanam di belakang rumah, yang kemudian ditanami pohon belimbing sebagai pengingat.
Made Pageh mendukung penuh rencana menjadikan bekas indekost Raden Soekemi, maupun SDN 1 Paket Agung sebagai cagar budaya.
Namun ia menekankan tentang kontinuitas.
“Sejarah itu berkaitan dengan kontinuitas, berkaitan juga dengan isi otak, bukan sekadar isi perut. Sehingga saya harap minimal ada penjelasan mengenai situs-situs ini. Agar masyarakat paham dan mengerti mengapa ini menjadi cagar budaya,” ucapnya.
Bekas kamar kos Raden Soekemi maupun pohon belimbing itu hingga kini masih ada.
Namun karena bangunan termakan usia, kamar itu sempat direnovasi oleh pemilik rumah.
“Renovasinya sudah cukup lama. Namun kami tetap mempertahankan bentuk aslinya,” ucap Nyoman Suma Arthana, pemilik rumah kos itu.
Suma Arthana juga mengatakan, ruang kamar kos Raden Soekemi dulunya dibagi menjadi dua tempat. Yakni untuk kamar tidur dan gudang.
Setelah Soekarmini berusia setahun, keluarga kecil ini pindah ke Surabaya.
“Diperkirakan saat pindah ke Jawa, usia kehamilan Rai Srimben sudah memasuki beberapa bulan,” ujarnya. (*)
Berita lainnya di Sang Proklamator