Makan Bergizi Gratis

Diterpa Keracunan Massal, Bisakah Program MBG Lanjut di Bali? Ini Pandangan Akademisi 

Selain keracunan massal di daerah lain, Program makan bergizi gratis (MBG), khususnya di Bali belum memenuhi target.

ISTIMEWA
MAKAN BERGIZI GRATIS - Para siswa di Kabupaten Bangli, Bali saat menerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) belum lama ini. Banyak yang keracunan, apakah MBG masih layak diterapkan di Bali? 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR — Selain keracunan massal di daerah lain, Program makan bergizi gratis (MBG), khususnya di Bali belum memenuhi target.

Dari sasaran penerima 893.362 orang, total yang sudah menerima MBG baru 297.183, atau 33 persen. 

Belum tercapainya angka sasaran penerima MBG, karena jumlah SPPG di daerah masih belum banyak. 

Satu SPPG dapat melayani 3.000 sampai 3.500 penerima MBG.

Baca juga: Antisipasi Keracunan MBG, Ini Langkah Disdikpora Denpasar Bali

Lantas apakah program MBG ini dapat berjalan di Bali? Berikut pandangan Akademisi sekaligus Wakil Rektor Bidang Akademik Undiknas, Dr. Ni Wayan Widhiasthini. S.Sos. M.Si. 

Menurutnya, sebenarnya jika dilihat tujuan dari MBG itu sangat bagus.

Bukan cuma untuk penyiapan generasi emas Tahun 2045, namun juga sebenarnya untuk dalam rangka mengentaskan kemiskinan.

Selain itu, dalam penyiapan makanan di MBG, SPPG diminta melibatkan semua bahan lokal.

Baca juga: KERACUNAN MBG? Pemerintah Tutup Sementara SPPG Bermasalah, 17 SPPG di Jembrana, Terbanyak di Bali

Di mana bahan lokal itu kemudian disiapkan oleh masyarakat di sekitar. Hal ini dari juknis Badan Gizi Nasional (BGN) Permen 83 tahun 2024. 

Dari program MBG ini diharapkan akan terbentuk ekonomi sirkular. 

Seperti untuk pemenuhan kebutuhan telur, daging, sayur, buah agar semuanya dipenuhi oleh masyarakat sekitar.

Tidak boleh ada kandungan impor sangat ideal dan bagus jika semua pihak bergerak.

Misalnya di suatu daerah memerlukan sekian ratus telur, nantinya akan ada masyarakat yang memasok telurnya. 

Baca juga: ANTISIPASI Keracunan karena MBG, SPPG Jaga Kualitas, 2 SPPG di Jembrana Kantongi Sertifikat Halal

“Jadi mungkin awalnya mereka bekerja di kota, kemudian sekarang pindah ke desa sebagai pemasok telur, pemasok daging, pemasok sayur dan sebagainya."

"Sehingga tidak ada lagi mobilisasi masyarakat untuk bekerja di kota Kan gitu harapannya. Jadi ekonomi sirkularnya terbentuk,” ucapnya pada, Selasa 7 Oktober 2025. 

Menurutnya, pergerakan program MBG di Bali ini memang agak lambat ya.

Bahkan di awal program ini hanya berjalan di dua kabupaten.

Itu pun langsung di bawah BGN, Jembrana dan Karangasem.

Pemda sendiri, pada saat itu tidak banyak tahu gitu tentang pergerakan MBG di Bali.

Kemudian makin ke sini sudah semakin banyak sasaran penerima mendapatkan MBG.

Selain pergerakannya yang lambat, persebaran MBG di Bali juga tidak rata. 

Sedangkan untuk kasus keracunan, sebetulnya ia mengatakan telah mengungkapkan kekhawatiran.

Terutama di daerah-daerah yang tidak tersedia SPPG dengan terakreditasi baik, kemudian diserahkan kepada yang bukan ahlinya.

Lalu bagaimana dengan daerah-daerah di pelosok yang tidak terlampir dalam penyediaan makanan dan susu.

Tentang keamanan makanan itu pun juga dipertanyakan. Belum lagi bersentuhan dengan budaya masyarakat setempat. 

“Kemudian kalau diteruskan atau tidak sangat tergantung pada evaluasi dulu. Saya juga sudah pernah menyarankan dari segi akademis, mestinya ada update gitu."

"Mungkin dianggap ini hal biasa, tapi kalau kami melihatnya sangat komprehensif. Di update dong datanya, misalnya kalau di nasional, berapa persen yang sekarang bergerak atau di Bali, berapa persen yang sudah terkena pengimbasan dari MBG itu. Kemudian apa masalah-masalah yang muncul. Jadi semua pihak memiliki atensi,” paparnya. 

Selain itu juga ia mempertanyakan kenapa jumlah SPPG-nya tidak bertambah? Apakah ada ketakutan dari masyarakat?

Apakah terlalu faktor birokratis yang diminta? Apakah terlalu banyak, mungkin perusahaan-perusahaan catering menganggap itu bukan bagian dari, keuntungannya sebab harus menyediakan peralatan makan berbentuk ompreng.

Kemudian bagaimana, mereka juga pengolahannya yang memiliki radiusnya. Pelibatan organisasi-organisasi gizi yang kemudian juga persatuan perusahaan catering itu semestinya bisa dilibatkan. Sehingga semakin mempercepat realisasi penerima MBG

Oke lah mungkin keuntungannya tidak banyak ini bagian dari CSR-nya mereka. Hal-hal seperti itu yang tidak pernah dipublikasikan, sudahkah pernah dikumpulkan perusahaan-perusahaan catering ini?

Tidak pernah ada keterbukaan itu kepada masyarakat.

Sementara jika polanya diubah pemerintah memberikan uang ke orang tua siswa untuk bekal makan anak sendiri untuk cegah keracunan dianggap tak efektif.

Terlebih MBG ini diberikan untuk siswa PAUD sampai SMA/SMK.

Namun dengan jam yang berbeda, ada klasternya.

Misalnya anak TK, PAUD sampai kelas 4 SD mendapatkan MBG untuk sarapan pagi kemudian anak kelas 4 SD ke atas itu mendapatkan MBG untuk makan siang.

Jadi pola ini kalau diubah berarti harus merubah dan ada pelanggaran aturan.

“Kan itu jadinya ya ada perubahan, pelanggaran aturan yang dibuat oleh pemerintah sendiri yang awalnya masih tidak berbentuk tunai tapi berbentuk makanan. Saya kira kalau mengalihkan ke bentuk tunai itu juga sangat beresiko. Nanti jatuhnya nggak beli makanan sehat anak-anak itu,” katanya. 

Selama ini belum ada keterbukaan untuk pendaftaran SPPG secara terbuka, klasifikasinya seperti apa. Dan juga pengaktifan organisasi-organisasi terkait.

Keterbukaan pemerintah, siapa yang mengadakan MBG ini. Bahkan sebenarnya bukan cuma PAUD sampai SMA, sasaran penerima nantinya juga ibu hamil dan menyusui yang jadwalnya hanya 2 kali seminggu.

Ke depan, MBG harus ada target yang dikejar. Jadi yang pertama targetnya secara simultan dalam sebulan ini berapa yang terjarak.

Sehingga berapa yang terimbas itu terdata juga dengan baik. Kemudian mana kelompok sasaran yang akan menjadi urgensi.

Mungkin sekolah-sekolah yang agak di pinggir, tidak juga harus yang di kota. Karena di kota mengakses makanan bergizi, makanan sehat itu lebih mudah daripada yang ada di pinggiran kota.

“Seperti itu, daripada yang ada mungkin yang di pegunungan sekali. Atau mungkin khususnya yang di dekat laut."

"Sehingga mereka mengakses sayurnya sulit. Yang seperti itu diutamakan. Ini mapping memang tidak bisa di, yang ini nih, pilih yang ini, pilih yang ini."

"Harusnya jangan begitu kan. Pola itu juga yang penting karena transparansi,” tutupnya. (*)

 

Berita lainnya di Makan Bergizi Gratis

 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved