Hari Pahlawan

Soeharto Dapat Gelar Pahlawan Nasional, LBH Bali Sebut Ada Upaya Mencuci Ingatan

Prabowo Beri Gelar Pahlawan Nasional ke 10 Tokoh, LBH Bali Sebut Ada Upaya Mencuci Ingatan, Tuntut Cabut Gelar Pahlawan Soeharto

ISTIMEWA
Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh dari berbagai daerah yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (10/11). Adalah, KH Abdurrahman Wahid, Soeharto, Marsinah, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hj. Rahmah El Yunusiyyah, Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah. 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 tokoh dari berbagai daerah yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Senin 10 November 2025. 

Adalah, KH Abdurrahman Wahid, Soeharto, Marsinah, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hj. Rahmah El Yunusiyyah, Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah.

Dari 10 tokoh yang menuai sorotan adalah gelar Pahlawan Nasional yang diberikan kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto

Bahkan YLBHI – LBH Bali menuntut Presiden Prabowo Subianto agar mencabut gelar pahlawan nasional yang diberikan kepada Soeharto. 

Baca juga: DENPASAR Akan Usulkan Kapten Japa Jadi Pahlawan Nasional

Pemberian gelar ini dinilai tak sesuai dengan Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Kepala Advokasi YLBHI-LBH Bali, Ignatius Rhadite mengaku kecewa, marah dan bertanya-tanya terkait pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto

Menurutnya, hal ini adalah upaya mencuci ingatan masyarakat akan pelanggaran HAM yang terjadi dalam 32 tahun Soeharto berkuasa sekaligus upaya memutarbalikkan sejarah. 

“Tentu penetapan Soeharto sebagai pahlawan memunculkan luka dan amarah besar bagi masyarakat sipil, apalagi bagi para korban yang sampai saat ini masih terus mencari keadilan,” katanya saat dihubungi Senin 10 November 2025.

Ignatius Rhadite memaparkan, dari berbagai dokumen, kajian dan laporan resmi baik dalam maupun luar negeri, telah terungkap secara jelas bagaimana sepak terjang Soeharto selama memimpin. 

Banyak terjadi pelanggaran HAM bahkan dari awal menjabat hingga menjelang lengser. 

“Dalam konteks pelanggaran HAM, Soeharto bertanggungjawab terhadap pembantaian 65, Talangsari, Semanggi, Tanjung Priok, Tri Sakti, Petrus, sampai penculikan aktivis 1998,” paparnya.

Tak hanya terkait pelanggaran HAM, sejumlah dokumen dan laporan juga menunjukkan praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan Soeharto dan kroninya. 

Juga lewat UU penanaman modal asing di tahun 1966, Soeharto membuka investasi luar ke Indonesia dan menjual sumber daya alam ke luar, salah satunya Freeport.

Semasa berkuasa, sikap kritis juga dibungkam dengan berbagai cara. Media yang berani mengkritik akan dibredel dan narasi dibuat hanya satu pintu sesuai versi pemerintah. 

“Mahasiswa di kampus dibatasi ruang geraknya dalam menyampaikan aspirasi dan ekspresi. Lawan politik menjadi tahanan politik tanpa melewati peradilan yang sah,” ungkapnya.

Sehingga saat lengsernya Soeharto atau saat Reformasi muncuk enam tuntutan. 

Di antaranya tegakkan supremasi hukum, adili Soeharto dan kroni-kroninya, hapus KKN dan menghapus dwifungsi ABRI. 

“Enam agenda reformasi pasca Soeharto diminta karena memang keenamnya itu dilanggar oleh Soeharto,” imbuhnya.

Baginya, dengan rekam jejak tersebut, Soeharto tak layak dijadikan sebagai pahlawan nasional. 

Apalagi dalam undang-undang jelas disebutkan, seseorang dapat menerima gelar kehormatan hingga gelar pahlawan apabila berkontribusi besar terhadap negara termasuk dalam perjuangan kemerdekaan. 

“Tapi Soeharto ini justru mengkhianati rakyat dan mandat konstitusi,kepercayaan publik dan menciptakan ketakutan,” paparnya.

Ia juga memaparkan masih banyak pelanggaran HAM pada masa Soeharto yang sampai saat ini tak kunjung selesai. 

“Pemberian gelar pahlawan ini adalah upaya pemerintah mencuci ingatan, memanipulasi sejarah dan represi ingatan,” kata dia.

Oleh karenanya, pihaknya mendesak agar Prabowo mencabut gelar pahlawan Soeharto karena dinilai tidak layak. 

Pihaknya juga mengaku ironis saat Marsinah yang merupakan korban pelanggaran HAM pada masa Orde Baru mendapat gelar nasional bersamaan dengan orang yang harusnya bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM tersebut. 

Bahkan sampai saat ini, kasus pembunuhan terhadap Marsinah masih belum terungkap. 

Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan proses pengusulan dilakukan secara berjenjang, dimulai dari masyarakat di tingkat kabupaten dan kota, kemudian dikaji oleh tim peneliti dan pengkaji gelar daerah. 

Tim tersebut terdiri dari akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan gubernur, sebelum akhirnya diajukan ke tim peneliti dan pengkaji gelar tingkat pusat di bawah koordinasi Kementerian Sosial.

“Totalnya ada 49 nama, 40 yang baru dan 9 nama adalah yang carry over juga dari yang sebelumnya dan dari Dewan Gelar sudah menyeleksi ada 24 yang prioritas, kemudian Presiden telah memilih 10 nama pahlawan,” jelas Fadli seperti dilansir website resmi Kementerian Sekretariat Negara, kemarin.

Lebih lanjut, Fadli menegaskan seluruh tokoh yang ditetapkan telah memenuhi syarat dan kriteria sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

“Jasa-jasa mereka itu jelas, konkret, dan juga benar-benar merupakan aspirasi yang sudah terseleksi dengan tadi proses yang cukup panjang, bahkan diseminarkan, bahkan dibukukan,” ucapnya.

Terkait penetapan Soeharto, Fadli menjelaskan keputusan tersebut didasarkan pada fakta sejarah perjuangannya dalam berbagai bidang. 

“Yang terkait dengan jasa-jasa Pak Harto, yang terkait dengan perjuangan Pak Harto dalam hal ini sudah dikaji, antara lain itu serangan umum 1 Maret, beliau ikut pertempuran di Ambarawa, ikut pertempuran lima hari di Semarang, menjadi Komandan Operasi Mandala perebutan Irian Barat,” kata dia.

“Dan juga kiprah Presiden Soeharto dalam pembangunan lima tahunan, yang saya kira tadi juga sudah dibacakan, telah membantu di dalam pengentasan kemiskinan,” terang Fadli.

Menjawab pertanyaan media terkait dinamika sejarah masa lalu, Fadli menegaskan bahwa bangsa Indonesia perlu memandang perjalanan sejarah secara utuh dan objektif. 

Sementara itu, putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Hastuti Rukmana atau Mbak Tutut yang hadir dalam penganugerahan tersebut mengakui memang ada pro dan kontra penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. 

“Masyarakat Indonesia itu kan macam-macam ya. Ada yang pro, ada yang kontra, itu wajar-wajar saja. Yang penting kita melihat apa yang telah dilakukan oleh Bapak saya dari muda sampai beliau wafat, itu semua perjuangannya untuk bangsa dan negara, dan masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Tutut menambahkan, keluarga besar Soeharto akan mengungkapkan rasa syukur dengan berziarah dan berdoa. 

“Kita ziarah ke makam Bapak, kita berzikir ke sana, kita bersyukur kepada Allah SWT. Semuanya itu kalau Allah tidak mengizinkan juga tidak akan terjadi,” katanya.

Menteri Sosial Syaifullah Yusuf menegaskan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional merupakan bentuk penghormatan kepada para tokoh bangsa atas jasa dan perjuangan mereka. 

“Jadi hari ini (kemarin) memang tadi seperti yang sudah disampaikan bahwa kita melihat jasa-jasa dari para tokoh-tokoh. Terutama juga para pendahulu-pendahulu kita. Marilah sekali lagi kita belajar untuk melihat yang baik, melihat jasa-jasanya,” ujar Syaifullah Yusuf.

Syaifullah mengajak seluruh masyarakat untuk meneladani nilai-nilai perjuangan para pahlawan dan memandang sejarah bangsa secara bijak. 

“Bahwa masing-masing memiliki kekurangan sudah pasti. Tapi mari kita bersama-sama melihat ke depan. Semua generasi punya masa. Semua masa ada orangnya, ada prestasi, ada kelebihan, ada kekurangan. Marilah kita belajar untuk melihat jasa dari para pendahulu-pendahulu kita,” kata Syaifullah. (ali/sup)

Terima Kasih Marsinah

Para ahli waris dari 10 tokoh bangsa yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto hadir di Istana Negara, Jakarta, Senin 10 November 2025. 

Di tengah upacara yang khidmat, rasa bangga dan syukur berpadu dengan kenangan perjuangan yang tak lekang oleh waktu. 

Marsini, kakak dari almarhumah Marsinah, tidak dapat menyembunyikan rasa haru saat menerima gelar pahlawan nasional bagi adiknya. 

Ia pun mengucapkan rasa syukur kepada Presiden Prabowo dan seluruh pihak yang telah menghargai perjuangan Marsinah. 

“Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden Prabowo, terima kasih sebesar-besarnya untuk anugerah yang diberikan untuk adik saya Marsinah. Saya tidak menyangka, Marsinah jadi orang besar, bahkan membanggakan seluruh Indonesia, khususnya Nganjuk. Nganjuk punya pahlawan nasional sekarang ini,” ujar Marsini.

Marsinah, buruh perempuan asal Desa Nglundo, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai simbol keberanian moral dalam memperjuangkan hak-hak pekerja dan kemanusiaan. 

Ia tumbuh dalam keluarga petani sederhana, namun idealismenya yang teguh menjadikannya ikon perjuangan rakyat kecil. 

“Terima kasih adikku Marsinah, kau telah membawa keponakanmu, adikmu, saya, dan yang mendampingi saya bisa di Istana Presiden,” kata Marsini.

Sementara itu, Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali, Ida Dewa Made Rai Budi Darsana mengaku sangat mengapresiasi. 

Karena baginya Marsinah merupakan pejuang kelas pekerja yang terbunuh saat memperjuangkan hak dan kesejahteraan pekerja.

Dengan ditetapkannya Marsinah sebagai pahlawan nasional, pihaknya berharap kesejahteraan buruh makin diperhatikan negara. 

“Dengan dijadikannya Marsinah sebagai pahlawan, kami berharap bagaimana ke depannya kebebasan berserikat, berkumpul, menyampaikan pendapat menjadi perhatian Negara,” ungkapnya.

Ia berharap, suara-suara buruh tidak dibungkam lagi, bahkan berujung kriminalisasi. 

Selain itu, hak dan kesejahteraan buruh juga menjadi prioritas negara. Bagi FSPM, jika buruh sejahtera, maka rakyat juga sejahtera. 

Namun yang menjadi persoalan, 10 tahun terahir ini kenaikan upah buruh sangat rendah. 

Bahkan menurutnya, dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, Indonesia menduduki peringkat 4 dengan kenaikan upah buruh terendah. 

“Jadi buat kami, kami punya harapan pada Prabowo bisa memberikan kesejahteraan buruh. Karena melihat kenaikan upah buruh baik UMP dan UMK sangat jauh dari hidup layak yang seharusnya,” pintanya. (ali/sup)

10 TOKOH TERIMA GELAR PAHLAWAN NASIONAL 2025

1. K.H. Abdurrahman Wahid, tokoh dari Provinsi Jawa Timur
- Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Politik dan Pendidikan Islam. 

2. Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto, tokoh dari Provinsi Jawa Tengah, 
- Pahlawan dalam Bidang Perjuangan 

3. Marsinah, tokoh dari Provinsi Jawa Timur
- Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan 

4. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, tokoh dari Provinsi Jawa Barat
- Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Hukum dan Politik 

5. Hj. Rahmah El Yunusiyyah, tokoh dari Provinsi Sumatera Barat
- Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Pendidikan Islam 

6. Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, tokoh dari Provinsi Jawa Tengah
- Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Bersenjata 

7. Sultan Muhammad Salahuddin, tokoh dari Provinsi NTB 
- Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Pendidikan dan Diplomasi 

8. Syaikhona Muhammad Kholil, tokoh dari Provinsi Jawa Timur
- Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Pendidikan Islam 

9. Tuan Rondahaim Saragih, tokoh dari Provinsi Sumatera Utara
- Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Bersenjata

10. Zainal Abidin Syah, tokoh dari Provinsi Maluku Utara
- Pahlawan dalam Bidang Perjuangan Politik dan Diplomasi

Kumpulan Artikel Bali

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved