Berita Bali

Lokasi Berubah, Ketua PPLH Unud Sebut LNG Harus Ulang Kajian Lingkungan

Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana (Unud) Dr. Drs. I Made Sara Wijana, M.Si, menegaskan bahwa setiap perubahan desain

Istimewa
LOKASI PEMBANGUNAN - Lokasi pembangunan proyek besar seperti Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Terminal Liquified Natural Gas (LNG) di Perairan Serangan Bali. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR — Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana (Unud) Dr. Drs. I Made Sara Wijana, M.Si, menegaskan bahwa setiap perubahan desain atau lokasi pembangunan proyek besar seperti Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Terminal Liquified Natural Gas (LNG) di Perairan Serangan Bali harus melalui proses kajian lingkungan dari awal (nol).

Hal ini mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Baca juga: DAMPAK Positif Bagi Warga Belum Ada, Pakar Energi UNUD Soroti Proyek LNG 3,5 Km di Bali!

“Siapapun yang melakukan kajian AMDAL, yang paling penting adalah tahapan dan prosedurnya dijalankan sesuai aturan,” ujar Sara Wijana, Selasa 11 November 2025. 

Menurutnya, perubahan lokasi atau desain proyek misalnya dari daratan ke wilayah laut lepas secara hukum menuntut proses penyusunan ulang dokumen AMDAL, karena variabel lingkungan dan sosial yang terpengaruh juga berubah.

“Kalau penetapan lokasinya baru, berarti kajian lingkungan juga harus baru. Tidak bisa langsung memakai dokumen sebelumnya,” tegasnya.

Tahapan penyusunan AMDAL, lanjut Sara Wijana, dimulai dari pengumuman rencana kegiatan kepada publik, dilanjutkan dengan konsultasi masyarakat dan penyusunan Kerangka Acuan (KA-ANDAL).

Baca juga: ISU Terminal LNG Sidakarya Bakal Geser ke 10 Km Lepas Pantai, Pengamat Kebijakan Publik Buka Suara!

Dalam tahapan tersebut, transparansi dan partisipasi menjadi prinsip utama.

“Transparansi itu artinya terbuka. Semua pihak harus tahu rencana kegiatan, termasuk masyarakat yang terdampak langsung,” jelasnya.

“Tidak hanya yang setuju, yang menolak juga wajib diundang dan didengarkan pendapatnya.”

Ia menambahkan, dalam setiap proses konsultasi publik, hasil tanggapan masyarakat harus dicatat dan direspons oleh tim penyusun.

“Pendapat masyarakat, baik pro maupun kontra, wajib dianalisis. Kalau ada potensi gangguan sosial, budaya, atau ekologi, itu harus dijelaskan dampaknya dalam dokumen,” katanya.

Menurut Sara Wijana, kajian lingkungan bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen untuk memastikan keberlanjutan pembangunan.

“Kajian AMDAL harus mampu menelusuri perubahan lingkungan yang mungkin terjadi dalam jangka panjang,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya lokal dalam kajian lingkungan, terutama di Bali yang masyarakatnya memiliki keterikatan spiritual terhadap ruang hidup.

“Nilai-nilai sosial dan budaya itu tidak bisa dikuantifikasi. Kadang berupa keyakinan, pantangan, atau rasa yang berkaitan dengan kearifan lokal. Itu harus dihormati,” kata dosen Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan Unud ini.

Terkait aspek teknis, Sara Wijana menjelaskan bahwa proses penetapan lokasi baru dalam kajian lingkungan harus mendapatkan konfirmasi kesesuaian ruang, baik di darat maupun di laut.

“Kalau lokasinya di laut, harus ada kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL) terlebih dahulu. Setelah itu baru bisa lanjut ke AMDAL,” paparnya.

Selain itu, pihaknya juga menilai pentingnya menggandeng SDM setempat dalam melakukan kajian, di samping pihak-pihak terkait sesuai kompetensi yang diperlukan.

Selama ini, pihaknya belum mengetahui keterlibatan Unud baik lembaga maupun perorangan dalam melakukan kajian dalam proyek LNG tersebut yang menuai pro kontra. 

Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan tenaga ahli bersertifikat dan Lembaga Penyedia Jasa Penyusun (LPJP) AMDAL dalam proses tersebut.

“Yang boleh menyusun AMDAL adalah perorangan yang memiliki sertifikasi kompetensi, atau lembaga jasa penyusunan yang terdaftar resmi,” jelasnya.

Namun demikian, ia menilai bahwa partisipasi ahli lokal tetap harus diutamakan, terutama untuk memahami konteks sosial-budaya di sekitar wilayah proyek.

“Tenaga ahli lokal lebih tahu nilai-nilai adat dan kearifan masyarakatnya. Itu penting agar hasil kajian lebih kontekstual dan diterima masyarakat,” imbuhnya.

Menurutnya, pendekatan yang partisipatif bukan hanya memenuhi regulasi, tetapi juga membangun kepercayaan publik terhadap proyek pembangunan.

“Kalau masyarakat diajak bicara sejak awal, mereka akan lebih mudah memahami dan ikut mengawasi,” katanya.

Sara Wijana berharap, proses penyusunan dokumen AMDAL untuk proyek energi seperti FSRU Terminal LNG dapat dilakukan dengan prinsip terbuka, ilmiah, dan berbasis data lapangan.

“AMDAL bukan sekadar syarat izin, tapi bentuk tanggung jawab moral untuk memastikan pembangunan tidak mengorbankan manusia dan lingkungan,” tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved