Berita Bali

ISU Terminal LNG Sidakarya Bakal Geser ke 10 Km Lepas Pantai, Pengamat Kebijakan Publik Buka Suara!

Menurut Agus, yang perlu dipertimbangkan adalah aspek teknis maupun lingkungan namun di luar hal itu masih mencuat pro dan kontra. 

Istimewa/Dok Pri
Pengamat Kebijakan Publik, dan penasihat senior di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Agus Pambagio. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -  Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, buka suara mengenai kabar pemindahan lokasi terminal LNG Sidakarya, Bali, dari jarak 3,5 Km ke 10 Km dari pesisir.

Menurut Agus, yang perlu dipertimbangkan adalah aspek teknis maupun lingkungan namun di luar hal itu masih mencuat pro dan kontra. 

“Awalnya masyarakat Serangan, Intaran, Sanur, Sesetan, dan Sidakarya sudah sepakat dan mendapat manfaat ekonomi, pemerintah juga sudah menetapkan titik di 3,5 Km yang merupakan laut bebas dan hasil kajian para ahli menyatakan aman,” kata Agus di Denpasar pada Senin 29 September 2025.

Agus menilai pemindahan proyek ke 10 kilometer, justru menimbulkan beban anggaran yang lebih besar karena harus membangun jalur pipa baru, serta memperpanjang proses studi Amdal. 

Kondisi ini, kata penasihat senior di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini, justru menghambat penyelesaian proyek yang krusial untuk menjamin pasokan listrik di Bali.

Terminal LNG Benoa. Pakar Energi UNUD Bali Soroti Proyek LNG 3,5 Km, Dorong Sosialisasi
Terminal LNG Benoa. Pakar Energi UNUD Bali Soroti Proyek LNG 3,5 Km, Dorong Sosialisasi (istimewa)

“Apabila digeser sampai 10 Km biayanya sangat besar. Semua kajian aspek keamanan, teknologi, dan lingkungan sudah tuntas. Jadi permintaan geser lagi hanya mempermainkan proyek strategis,” ujar dia.

Bali saat ini masih sangat bergantung pada pasokan listrik, dari Jawa melalui kabel laut sebesar 350 Megawatt (MW). Ia berharap pemerintah bersikap tegas agar proyek tidak terus tertunda. 

“Kalau terus digeser, investor akan babak belur, proyek terhambat, dan rakyat Bali yang menanggung resiko kekurangan listrik,” tandasnya.

Jika proyek mangkrak sangat beresiko bagi kestabilan listrik Bali, mengingat kapasitas pembangkit lokal dan ketergantungan kabel laut, maka gangguan di satu titik bisa memicu blackout. 

“Koordinasi antarpemangku kebijakan (pusat, provinsi, lokal,-Red) harus kuat agar pengambilan keputusan tidak didominasi oleh kepentingan kelompok,” ujar dia.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Udayana, Prof. Ida Ayu Giriantari, menilai kebergantungan tersebut bisa menjadi titik lemah karena jika terjadi gangguan di Jawa, Bali beresiko mengalami blackout.

Selain itu, kata dia, komposisi energi Bali belum berkelanjutan. Sekitar 76 persen masih berbasis fosil, dengan gas menyumbang 688 MW dan batu bara 380 MW. 

Konsumsi solar untuk pembangkit di Bali bahkan mencapai 500.000 metrik ton per tahun atau 25 persen dari total konsumsi nasional untuk listrik.

"Kebutuhan listrik di Bali pun terus meningkat hingga 16 persen per tahun," jelasnya.

Gubernur Bali, Wayan Koster, juga kerap menggaungkan kemandirian energi dengan energi bersih menjadi keharusan agar Bali tidak lagi mengalami pemadaman besar. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved