Berita Bali
Pakar Hukum Sebutkan SE Tak Bisa Berikan Sanksi Sebab Bukan Produk Hukum
Mereka menilai bahwa SE tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apalagi memberikan sanksi bagi pihak eksternal pemerintahan.
TRIBUN-BALI.COM - Surat Edaran (SE) Gubernur Bali, yang melarang produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter terus mendapat kritikan para pakar hukum.
Mereka menilai bahwa SE tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apalagi memberikan sanksi bagi pihak eksternal pemerintahan.
Setelah sebelumnya dikritik Pakar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul Profesor Juanda, Pakar Kebijakan publik Universitas Airlangga (UNAIR) Profesor Jusuf Irianto, dan Praktisi Hukum Gede Pasek Suardika, kini kritik datang dari Pakar Hukum Tata Negara Universitas Lampung (Unila) Dr Budiono.
Senada, Budiono juga menegaskan bahwa SE tidak memiliki kekuatan hukum. Dia melanjutkan, sebabnya SE tidak bisa dijadikan dasar untuk memberikan sanksi bagi pihak eksternal atau lembaga di luar pemerintah pusat dan daerah.
Baca juga: BALAP Liar, Polresta Denpasar Sita Puluhan Motor Knalpot Brong Jelang Operasi Zebra Agung 2025!
Baca juga: Permintaan Babi di Buleleng Tembus 6 Ton Jelang Hari Raya Galungan
"Surat edaran bukan produk hukum, surat edaran sifatnya hanya untuk tertib administrasi dan untuk mengingatkan serta mengikat hanya bersifat internal dan tidak ada sanksi," kata Budiono baru-baru ini.
Dia menjelaskan bahwa SE hanya bersifat sebagai petunjuk, atau memperjelas suatu keadaan. Kekuatan SE hanya berlaku bagi para pegawai/individu yang berada di lingkungan otoritas yang menerbitkan surat edaran tersebut.
Sehingga, SE tidak mengikat pihak di luar lembaga yang menerbitkan surat edaran dimaksud. "Artinya kalau ada pihak eksternal yang dihukum, maka sanksi tersebut tidak akan valid," katanya.
Budiono mengatakan, sanksi yang diberikan bagi pihak yang melanggar surat edaran sah-sah saja apabila ingin digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dia menekankan, hal ini lantaran SE tidak berada dalam dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Seperti diketahui, tidak sedikit pejabat pemerintahan yang mengeluarkan SE di Indonesia yang disetarakan sanksi bagi siapapun yang melanggar.
Misalnya, SE gubernur Bali yang melarang produksi dan distribusi air mineral di bawah 1 liter. SE tersebut kemudian menuai polemik karena bersifat memaksa semua pihak tunduk pada imbauan yang tidak berdasar hukum.
Pakar Kebijakan publik Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Jusuf Irianto menegaskan bahwa pada dasarnya SE tidak bisa disebut sebagai sebuah kebijakan publik.
Dia menjelaskan, sebuah kebijakan harus memiliki landasan hukum yang lahir dari proses legislasi atau regulasi formal sehingga memiliki kekuatan hukum tetap.
"Sebuah surat edaran (SE) bupati/walikota dan gubernur adalah internal. Oleh karena itu SE tak dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi," kata Prof. Jusuf Irianto.
Jusuf menjelaskan, bahwa SE hanya berlaku di lingkungan internal pemerintahan daerah dan tidak memiliki daya paksa hukum sebagaimana undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan gubernur/daerah.
| Anggota DPRD Bali Tanggapi Polemik Imbauan PLN, Usulkan Tidak Boleh Ada Kabel di Atas |
|
|---|
| Bandara Ngurah Rai Bali Tambah Penerbangan ke Negeri Singa, TransNusa Buka Rute Bali-Singapura PP |
|
|---|
| Ugal-ugalan, Dirlantas Polda Bali Imbau Turis Tak Berkendara Sendiri Jika Tidak Terampil |
|
|---|
| Terkait Putusan MK Soal Polri Duduki Jabatan Luar, Hadjon Dorong Kembalikan ke Fungsi Kamtibmas |
|
|---|
| Koster Sindir Investor Berlagak Pemilik Pantai, Pemprov dan DPRD Bali Bahas Ranperda Perlindungan |
|
|---|
