Pengamat Budaya Sebut Tari Sang Hyang Telah 'Dijual' Sejak Tahun 1979 untuk Tamu

Pengamat budaya dan akademisi, Prof. Dr. I Wayan Dibya mengatakan saat ini Tari Sang Hyang telah mengalami degradasi

Penulis: Putu Supartika | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/I Putu Supartika
Prof. Dr. I Wayan Dibya (kiri) saat memberi materi workshop di Art Center, Kamis (21/2/2019). 

Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pengamat budaya dan akademisi, Prof. Dr. I Wayan Dibya mengatakan saat ini Tari Sang Hyang telah mengalami degradasi.

Hal ini dimulai sejak tahun 1979, dimana Tari Sang Hyang mulai dijual untuk kepentingan pariwisata.

Padahal Tari Sang Hyang ini merupakan tarian sakral yang hanya dipentaskan saat upacara tertentu saja.

Baca: Sebelumnya Terlihat Ngorok, Kholik Ternyata Meninggal Saat Naik Bus di Sekitaran Gilimanuk

Baca: Reinkarnasi Spirit Salunglung Sabayantaka, Gotong Royong Demi Kelestarian Adat dan Lingkungan

"Sejak tahun 1979 Tari Sang Hyang kita mulai dijual. Yang dijual sesuatu yang eksotik, aneh. Karena Sang Hyang aneh sehingga dijadikan atraksi baru untuk tontonan wisata," kata Dibya di Art Center, Kamis (21/2/2019) siang.

Sehingga saat pentas ada limit waktu tertentu.

Padahal menurutnya, tidak ada yang bisa menjamin penari bisa kerauhan dalam 15 menit.

Baca: Adira Finance Luncurkan Program HARCILNAS, Undian Pelunasan Cicilan Konsumen

Baca: Berpakaian Seksi, Pemandu Lagu di Blok M Kerap Menggoda Tamu Asing Dengan Ajakan Manja

Sehingga untuk kebutuhan pariwisata ada aktivitas kerahuan yang dibuat-buat.

"Saya pernah lihat cak di daerah wisata di Bali dan saya tidak mau menyebut daerahnya. Habis Sang Hyang, penarinya pura-pura kerauhan dan bersimpuh di depan tamu. Seketika ada anak kecil melempar uang 20 ribuan di sampingnya. Karena dikasi oleh anak kecil Rp 20 ribu, tamu lalu ngasi uang Rp 50 ribu. Pas tamu sudah habis pergi, tidak bertanya apa lagi, uang tersebut diambil dan terlihat tidak seperti kerauhan lagi. Sehingga kemagisan tari ini sudah tidak ada," katanya.

Sehingga ia berharap ke depannya perlu dibicarakan agar tidak menimbulkan kerancuan.

Baca: Nikmatnya Sasomi, Sate Cumi Isian Sosis 30 Cm, Grand Zuri Kuta Bali Tawarkan Aneka Sate yang Gurih

Baca: Kenapa Rejang Renteng Mewabah ke Desa-desa?

Persoalan ini juga dijumpai dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) karena banyak kesenian sakral yang dipentaskan di PKB.

Walaupun cara pandangnya berbeda, namun menurutnya jika mengacu pada sakral atau propannya sebuah kesenian maka hal tersebut jelas telah bertentangan. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved