Pecalang Diimbau Tak Bertindak Arogan dan Harus Mengedepankan Nilai Luhur Adat Bali
Kepatuhan pecalang terhadap ketentuan hukum adat, juga tidak boleh bertentangan dengan hukum agama, hukum nasional
Penulis: Putu Supartika | Editor: Irma Budiarti
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Bertempat di Gedung Wanita Santhi Graha, Jalan Sudirman Denpasar, digelar acara pelatihan Pecalang se-Kota Denpasar.
Pelatihan ini digelar selama dua hari, yakni Senin (18/3/2019) dan Selasa (19/3/2019) dengan peserta 35 orang yang merupakan perwakilan dari masing-masing pecalang di Kota Denpasar.
Dalam pelatihan tersebut, salah seorang pembicara, Nanang Sutrisno yang merupakan Penyuluh Agama Ahli Utama Kemenag Kota Denpasar mengatakan, pecalang dalam sistem sosial dan keagamaan umat Hindu di Bali terintegrasi ke dalam struktur desa pakraman.
Dan eksistensi pecalang tidak dapat dilepaskan dari struktur dan fungsi desa pakraman sebagai lembaga tradisional yang mewadahi sistem sosioreligius masyarakat Hindu di Bali.
Baca: Alasan Pelatih Bali United Tak Turunkan Skuat Terbaiknya, Teco: Jika Kita Paksa Takut Pemain Cedera
Baca: Jenis Bonsai Santigi Ditaksir Laku hingga Rp 300 Juta, Apa Keistimewaannya?
"Eksistensi pecalang telah diatur sedemikian rupa, baik secara yuridis, sosiologis, maupun filosotis. Pecalang merupakan elemen desa pakraman yang diatur dalam hukum adat Bali yang bercorak agama Hindu, sehingga peranan pacalang harus mengedepankan nilai-nilai luhur adat dan agama Hindu. Pacalang harus mampu berpikir, berkata, dan bertindak sesuai ketentuan hukum adat naik awig-awig maupun pararem, hukum agama, dan hukum negara," kata Nanang, Senin (18/3/2019).
Kepatuhan pecalang terhadap ketentuan hukum adat, juga tidak boleh bertentangan dengan hukum agama, hukum nasional terutama yang berkaitan dengan keamanan, ketenteraman, dan ketertiban masyarakat.
"Pacalang memiliki kekuatan hukum untuk menertibkan bahkan mencegah datangnya hal-hal yang dianggap dapat mengancam keberlangsungan agama Hindu dan kebudayaan Bali. Namun dalam bertindak harus memiliki rasa segan dan menjaga setiap tindakannya agar tak terjadi arogansi yang dapat memberikan stigma negatif pada pecalang," imbuhnya.
Baca: PT Angkasa Pura I Kerja Sama Konservasi dan Edukasi Lingkungan Hidup dengan WWF Indonesia
Baca: Kisah Ju Wanita Indonesia yang Jadi Korban Kawin Kontrak, Dikasari Suami Hingga Ditahan Polisi China
Secara yuridis, Nanang mengatakan keberadaan pecalang diatur dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman dan disempurnakan dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003, namun ketentuan pecalang masih tetap tanpa ada perubahan.
Dalam Perda 3 Tahun 2001 Pasal 17 disebutkan bahwa keamanan dan ketertiban wilayah desa pakraman dilaksanakan oleh pecalang, tugas pengamanannya dalam hubungannya dengan tugas adat dan agama, serta pecalang diangkat dan diberhentikan oleh desa pakraman berdasarkan paruman desa.
Adapun syarat untuk menjadi pecalang yakni tahu batas-batas dan liku-liku wilayah tugasnya dan memiliki wawasan tentang cara pengamanan, utamanya pencegahan gangguan keamanan, mempunyai rasa keberanian dan berani membela desa adat tempat tugasnya untuk membela kebenaran, serta memiliki kecerdasan pikiran dan mampu bertindak cepat dan gesit apabila ada kejadian.
Baca: Gadis 17 Tahun Asal Pontianak Jadi Korban Kawin Kontrak WN Tiongkok, Kerap Disiksa Kini Dipenjara
Baca: Waspadai Gelombang Capai 4 Meter di Perairan Bali hingga Empat Hari ke Depan
Selain itu pecalang harus memiliki sifat seorang guru yang menjadi contoh, dan selalu berbakti kepada Tuhan.
"Menurut beberapa lontar dan prasasti dijelaskan bahwa hak pecalang yakni tidak wajib ikut ngayah atau gotong royong, berhak atas busana dan atribut, berhak atas bagian uang denda warga yang melanggar, dan berhak menggunakan fasilitas umum desa sebagaiamana warga lainnya," imbuhnya.
Kewajibannya yakni dekat dengan desa dan warga, memberikan petunjuk yang benar kepada warganya, serta harus menjaga keamaan desa agar selalu dalam keadaan baik.
Sedangkan atribut seorang pecalang yakni memakai udeng, menggunakan kain dengan bagian depan dikancut, menggunakan kampuh poleng, membawa keris yang diselipkan di pinggang, dan memakai bunga pucuk rejuna di telinga kanan.
Baca: Sejak 2014 Bersama Menteri Susi, Kini Fika Fawzia Piliih Mundur Untuk Bekerja di Facebook
Baca: Satpol PP Badung Tutup Klub Malam Sky Garden di Jalan Legian Kuta, Begini Sebabnya