Pameran Lukisan Lintas Generasi "Kawitan"

Melalui tematik tertentu, semisal lukisan tentang Pasar, Tarian, atau Upacara, dapat dibaca pewarisan stilistik maupun capaian teknik

Editor: Irma Budiarti
Bentara Budaya Bali
Pameran Lukisan Lintas Generasi "Kawitan" 

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Pameran kali ini bukan semata menghadirkan karya-karya perupa Bali lintas generasi, dari yang paling sepuh I Wayan Tohjiwa (b. 1916) hingga yang terkini I Gde Ngurah Panji (b. 1986), dan I Gede Pino (b.1985), akan tetapi adalah juga upaya merunut Kawitan (asal muasal) atau melacak jejak (tematik, stilistik dan estetik) yang mewarnai proses cipta seniman lintas zaman ini.

Yang dikedepankan adalah pelukis-pelukis ragam tradisional atau klasik Bali berikut babakan young artist yang rekah dan bertumbuh di kawasan kultural Ubud –hakikatnya mencerminkan pula dinamika seni rupa sebelum dan sesudah era Pita Maha– didirikan pada 29 Januari 1936 oleh Tjokorda Gde Agung Sukawati (Raja Ubud), Walter Spies (pelukis asal Jerman), dan Rudolf Bonnet (pelukis asal Belanda).

Melalui tematik tertentu, semisal lukisan tentang Pasar, Tarian, atau Upacara, dapat dibaca pewarisan stilistik maupun capaian teknik, termasuk ragam ekspresi yang mempribadi.

Simak saja karya I Wayan Tohjiwa (b.1916) berjudul “Pasar Tradisional”, I Nyoman Manggih (b.1941) berjudul “Sabung Ayam”, Ida Bagus Made Nadera (b.1918) berjudul “Mebat (Ngelawar)”, I Wayan Rapet (b.1941) yang berjudul “Cremation”, Made Batuan (b.1941) berjudul “Dewa Yadnya”, I Gusti Ayu Natih Arimini (b.1976) berjudul “Upacara di Bali”, Made Rasna (b. 1964) berjudul “Tari Topeng”, Pande Ketut Dolik (b.1955) berjudul “Melasti”, I Wayan Bendi (b.1950) berjudul “Sebuah Perubahan” hingga I Ketut Sadia (b.1966) berjudul “Tari Kecak”, dan lain-lain.

Baca: Fakta Istri Terduga Teroris Terungkap, Kerap Kenakan Baju Seksi, Namun Berubah karena ini

Baca: Cegah Penyebaran Virus Monkeypox di Bali, Begini Persiapan Kantor Kesehatan Pelabuhan Denpasar

Atau sebaliknya, dari ragam ikonik tertentu khas Bali, semisal sosok perempuan, petopengan, tokoh wiracarita; terbukti mewarnai kreasi seniman lintas generasi.

Simak saja I Wayan Djujul (b.1942) berjudul “Jauk”, Ida Bagus Sena (b.1966) berjudul “Lahirnya Boma”, Dewa Putu Mokoh (b.1936) berjudul “Good Sleep”, I Ketut Ginarsa (b.1951) berjudul “Dewi Saraswati”, I Ketut Madri (b.1943) berjudul “Jatayu Pralaya” dan lain-lain.

Terhampar juga di dinding serta tersaji di ruang, karya-karya perupa generasi muda diantaranya I Gde Ngurah Panji (b.1986), I Made Sunarta (b.1980), I Made Warjana (b. 1985), I Wayan Wijaya (b. 1984), I Wayan Suardika (b. 1984), dan I Nyoman Winaya (b.1983); yang unik secara bentuk dan mengandung kedalaman pesan tersendiri.

Terbaca upaya para kreator tersebut untuk mengolah ikon-ikon yang hidup dalam masyarakat Bali menjadi wujud rupa yang menggambarkan capaian estetik masing-masing yang otentik.

Suatu kreasi modern yang mengandung kekuatan ekspresi terpilih, dimana ikonografi Bali direvisi atau dikreasi sedemikian rupa melampaui kebakuan bentuk lukisan Bali tradisional.

Karya-karya tersebut, baik para pendahulu maupun generasi yang lebih kini, mencirikan adanya pergulatan secara menyeluruh menyikapi secara kreatif tematik, stilistik sekaligus estetik.

Baca: Perekam dan Penyebar Video Ancam Penggal Jokowi Ditangkap, Ini Penjelasan Lengkap Kepolisian

Baca: Persib Bandung Dihantui Kegagalan Jelang Lawan Persipura Jayapura

Ini adalah sebuah upaya transformasi yang mempribadi, boleh jadi merefleksikan pula transformasi masyarakat Bali dari ragam budaya agraris komunal yang guyub hangat menuju masyarakat modern dengan kecenderungan individual.

Memang, sedini awal kolonial, bahkan jauh sebelum itu, masyarakat Bali telah mengalami sentuhan globalisasi dengan beragam determinasinya.

Sejurus hadirnya kemodernan/kekontemporeran –termasuk keniscayaan sejarah dimana Bali menjadi bagian dari dinamika keindonesiaan– mengemuka pula pergulatan perupa yang menggambarkan tahapan lintas budaya (trans-culture) atau silang budaya (cross-culture) – membenturkan sekaligus juga mempertautkan nilai-nilai warisan leluhur (tradisi) dengan nilai-nilai budaya lain.

Pada sebagian karya, merefleksikan nilai-nilai baru yang akulturatif, dimana unsur-unsur pembentuknya masih dapat dilacak asal muasalnya.

Atau suatu capaian yang bersifat asimiliasi, mengandaikan pertemuan antarkultur –menghasilkan sesuatu yang baru dengan unsur dasar yang telah dianggap luluh sepenuhnya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved