Terakhir Meletus Tahun 1963, Kini Status Gunung Agung 'Waspada' Sewaktu-waktu Bisa Berbahaya
Dengan status Waspada itu, masyarakat di sekitar Gunung Agung dan pendaki/pengunjung/wisatawan diimbau tidak beraktivitas.
Penulis: Saiful Rohim | Editor: Eviera Paramita Sandi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Terhitung mulai pukul 14.00 Wita, Kamis (14/9/2017), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menaikkan status aktivitas Gunung Agung, Karangasem, dari Level I (Normal) ke Level II (Waspada).
Dengan status Waspada itu, masyarakat di sekitar Gunung Agung dan pendaki/pengunjung/wisatawan diimbau tidak beraktivitas.
Baca: Kawah Gunung Agung Sudah Keluarkan Gas Berbahaya, Jangan Lewati Radius Ini!
Yaitu tidak melakukan pendakian, dan tidak berkemah di dalam area kawah Gunung Agung dan di seluruh area di dalam radius 3 km dari kawah puncak Gunung Agung atau pada elevasi 1.500 dari permukaan laut.
Baca: Penting! 12 Hal Yang Perlu Diketahui Tentang Gunung Agung Kini, Perhatikan Nomor Terakhir
Baca: Jangan Termakan Hoax, BPBD Karangasem : Gunung Agung Berstatus Waspada Bukan Awas
“Sebab, sewaktu-waktu bisa terjadi peningkatan aktivitas vulkanologi yang bisa membahayakan,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, Dewa Made Indra, di Denpasar, Kamis (14/9/2017).
Namun, informasi di lapangan, warga yang tinggal di lereng gunung tetap beraktivitas seperti biasa walaupun Gunung Agung berstatus Waspada.
Mereka tetap cari kayu bakar di bawah Gunung Agung.
Ritual dan persembahyangan pun tetap digelar di pura-pura yang berada di lereng gunung, seperti Pura Pasar Agung di Desa Sebudi Kecamatan Selat, dan Pura Penataran Besakih, Desa/Kecamatan Rendang.
"Warga tetap beraktivitas seperti biasa.Mereka juga tetap naik ke gunung mengantar pendaki. Maturan juga tetap lancar, tanpa ada rasa khawatir," kata Wayan Suara Arsana, Perbekel Desa Amerta Bhuana, Selat, yang berada di lereng Gunung Agung, Kamis (14/9/2017).
Suara Arsana mengatakan, para pendaki Gunung Agung lewat jalur Pura Pasar Agung, Desa Sebudi, masih tetap berdatangan untuk naik.
Bahkan, pada Selasa (12/9/2017) lalu ada 100 pendaki yang naik.
"Memang sering ada gempa kecil di puncak. Tapi itu biasa terjadi, namanya juga gunung masih aktif. Gempa tidak sampai terasa ke perkampungan, cuma di puncak gunung saja," kata Suara Arsana, yang juga juru bicara (humas) Pura Pasar Agung, Desa Sebudi, Selat.
Jalur pendakian dari Rendang dikabarkan juga masih dibuka.
Selama ini, puncak Gunung Agung dapat ditempuh dari tiga jurusan, yakni dari Pasar Agung (selatan puncak); kemudian dari Budakeling lewat Nangka (tenggara puncak); dan dari Besakih (baratdaya puncak).
Dewa Indra mengatakan, peningkatan status aktivitas Gunung Agung di Desa/Kecamatan Rendang, Karangasem itu berdasarkan hasil analisis data visual dan instrumental, serta mempertimbangkan potensi ancaman bahayanya.
Dijelaskannya, Pos Pantau PVMBG yang berada di Desa Rendang terus memonitor aktivitas Gunung Agung.
Sedangkan Pos Pantau PVMBG di Kintamani (Bangli) memonitor tetangga Gunung Agung, yakni Gunung Batur.
Dewa Indra menegaskan, sampai saat ini belum ada rencana evakuasi terhadap warga.
Namun nanti jika aktivitas kian naik, dari Level II (Waspada) menjadi Level III (Siaga) sampai ke Level IV (Awas), maka BPBD sudah menyiapkan berbagai langkah penyelamatan.
BPBD Bali dan Karangasem sudah memiliki rencana darurat jika Gunung Agung mengalami erupsi atau letusan, dengan telah menentukan Kawasan Rawan Bencana (KRB) 1, 2 dan 3.
“Penduduk di desa-desa yang bisa terdampak akan dievakuasi ke mana, itu sudah ditentukan dalam rencana. Termasuk bantuan melalui jalur mana juga sudah dipetakanRencana darurat itu sudah pernah disimulasikan. Artinya, bila levelnya meningkat, maka BPBD merespon sesuai tahapan,” jelas Indra.
Ketua Pos Pemantauan Gunung Agung, I Dewa Made Mertayasa mengatakan,
belum ada tanda-tanda peningkatan aktivitas vulkanik dan seismik yang mengarah ke status yang lebih tinggi dari waspada, yakni status Siaga (Level III), apalagi status Awas (Level IV).
Memang hasil rekam alat seismograf yang dipasang di Gunung Agung mencatat ada peningkatan gempa bagian kawah.
Biasanya, kata Mertayasa, dalam sehari cuma 2-5 kali gempa.
Namun tanggal 11 dan 13 September, aktivitas gunung aktif tertinggi di Bai ini (setinggi 3.014 meter di atas permukaan laut) meningkat menjadi 6 hingga 7 kali gempa.
“Karena Gunung Agung adalah gunung yang masih aktif, naik-turun aktivitas seismik maupun vulkaniknya adalah hal biasa,” kata Mertayasa.
Terakhir, letusan atau erupsi Gunung Agung terjadi pada tahun 1963.
Dimulai pada 18 Februari 1963 dengan gempa ringan, yang disusul gempa-gempa berskala lebih besar dan berakhir pada 27 Januari 1964.
Dalam periode itu, erupsinya yang bersifat eksplosif mengakibatkan 1.148 orang tewas, dan 296 orang luka.
Untuk kondisi terakhir saat ini, gejala-gejala sebagaimana yang mengawali erupsi tahun 1963 masih belum terasa.
“Kami berharap semua aman, dan masyarakat tenang kendati harus tetap waspada. Sebab, Gunung Agung adalah gunung berapi yang masih aktif,” jelas Dewa Indra.
Ia meminta masyarakat maupun personel BPBD Provinsi Bali, dan BPBD Kabupaten Karangasem dan instansi lain yang terkait memantau perkembangan tingkat aktivitas serta rekomendasi terkini tentang Gunung Ggung melalui aplikasi MAGMA Indonesia yang dapat diakses melalui situs
https://magma.vsi.esdm.go.id atau melalui aplikasi Android MAGMA Indonesia.

Kisah Mistis Gunung Agung
Gunung Agung menyimpan kisah mistis yang membuat merinding.
Publik masih teringat jelas saat gunung Merapi di Jogja meletus, Indonesia geger dan terenyuh dengan meninggalnya Mbah Marijan sang juru kunci gunung Merapi saat musibah tersebut.
Namun, konon katanya cerita yang sama juga terjadi saat Gunung Agung meletus pada tahun 1963.
Dikutip dari halaman www.serunik.com dikisahkan saat Gunung Agung meletus tahun 1963, tak hanya juru kunci gunung Agung yang tak mau mengungsi.
Bahkan, hampir semua lelaki dewasa dari beberapa desa “menyambut” lahar tumpahan gunung Agung tersebut.
Gunung Agung merupakan sebuah gunung vulkanik tipe monoconic strato yang tingginya mencapai sekitar 3.142 meter di atas permukaan laut.
Gunung tertinggi di Bali ini termasuk muda dan terakhir meletus pada tahun 1963 setelah mengalami tidur panjang selama 120 tahun.
Sejarah aktivitas Gunung berapi Agung memang tidak terlalu banyak diketahui.
Catatan sejarah mengenai letusan gunung ini mulai muncul pada tahun 1808.
Ketika itu letusan disertai dengan uap dan abu vulkanik.
Aktivitas gunung ini berlanjut pada tahun 1821, namun tidak ada catatan mengenai hal tersebut.
Pada tahun 1843, Gunung Agung meletus kembali yang didahului dengan sejumlah gempa bumi.
Letusan ini juga menghasilkan abu vulkanik, pasir, dan batu apung.
Sejak 120 tahun tersebut, baru pada tahun 1963 Gunung Agung meletus kembali dan menghasilkan akibat yang sangat merusak.
Periode Letusan
Dari 4 kejadian letusan masa lampau, periode istirahat Gunung Agung dapat diketahui yakni terpendek 16 tahun dan terpanjang 120 tahun.
Kronologi Letusan tahun 1963
Lama letusan Gunung Agung tahun 1963 berlangsung hampir 1 tahun, yaitu dari pertengahan Februari 1963 sampai dengan 26 Januari 1964, dengan kronologinya sebagai berikut:
16 Februari 1963: terasa gempa bumi ringan oleh penghuni beberapa Kampung Yehkori (lebih kurang 928 m dari muka laut) di lereng selatan, kira-kira 6 kilometer dari puncak Gunung Agung.
18 Februari 1963: Kira-kira pukul 23.00 di pantai utara terdengar suara gemuruh dalam tanah.
19 Februari 1963: Pukul 01.00 terlihat gumpalan asap dan bau gas belerang.
Pukul 03.00 terlihat awan yang menghembus dari kepundan, makin hebat bergumpal-gumpal dan dua jam kemudian mulai terdengar dentuman yang nyaring untuk pertama kalinya.
Suara yang lama bergema ini kemudian disusul oleh semburan batu sebesar kepalan tangan dan diakhiri oleh semburan asap berwarna kelabu kehitam-hitaman.
Sebuah bom dari jauh tampak sebesar buah kelapa terpisah dari yang lainnya dan dilontarkan lewat puncak ke arah Besakih.
Penghuni Desa Sebudi dan Nangka di lereng selatan mulai mengungsi, terutama tidak tahan hawa sekitarnya yang mulai panas dan berbau belerang itu.
Di sekitar Lebih, udara diliputi kabut, sedang abu mulai turun.
Air di sungai mulai turun. Air di sungai telah berwarna coklat dan kental membawa batu dengan suara gemuruh, tanda lahar hujan permulaan.
Penghuninya tetap tenang dan melakukan persembahyangan. Pukul 10.00 terdengar lagi suara letusan dan asap makin tebal.
Pandangan ke arah gunung terhalang kabut, sedang hujan lumpur mulai turun di sekitar lerengnya.
Di malam hari terlihat gerakan api pada mulut kawah, sedangkan kilat sambung-menyambung di atas puncaknya.
20 Februari 1963: Gunung tetap menunjukkan gerakan berapi. 06.30 terdengar suara letusan dan terlihat lemparan bom lebih besar. 07.30 penduduk Kubu mulai panik, banyak diantara mereka mengungsi ke Tianyar, sedangkan penghuni dari lereng selatan pindah ke Bebandem dan Selat.
24 Februari 1963: Hujan lumpur lebat turun di Besakih mengakibatkan beberapa bangunan Eka Dasa Rudra roboh. Penduduk Temukus mengungsi ke Besakih. Awan panas letusan turun lewat Tukad Daya hingga di Blong.
25 Februari 1963: Pukul 15.15 awan panas turun di sebelah timur laut lewat Tukad Barak dan Daya. Lahar hujan di Tukad Daya menyebabkan hubungan antara Kubu dan Tianyar terputus. Desa Bantas-Siligading dilanda awan panas mengakibatkan 10 orang korban. Lahar hujan melanda 9 buah rumah di Desa Ban, korban 8 orang.
26 Februari 1963: Lava di utara tetap meleler. Lahar hujan mengalir hingga di Desa Sogra, Sangkan Kuasa. Asap tampak meningkat dan penduduk Desa Sogra, Sangkan Kuasa, Badegdukuh dan Badegtengah mengungsi ke selatan.
17 Maret 1963 : Merupakan puncak kegiatan. Tinggi awan letusan mencapai klimaksnya pada pukul 05.32. Pada saat itu tampak awan letusannya menurut pengamatan dari Rendang sudah melewati zenith dan keadaan ini berlangsung hingga pukul 13.00. Awan panas turun dan masuk ke Tukad Yehsah, Tukad Langon, Tukad Barak dan Tukad Janga di selatan.
Di utara gunung sejak pukul 01.00 suara letusan terdengar rata-rata setiap lima detik sekali. Awan panas turun bergumpal-gumpal menuju Tukad Sakti, Tukad Daya dan sungai lainnya di sebelah utara. Mulai pukul 07.40 lahar hujan terjadi mengepulkan asap putih, dan ini berlangsung hingga pukul 08.10.
21 Maret 1963: Kota Subagan, Karangasem terlanda lahar hujan hingga jatuh korban lebih kurang 140 orang. Setelah letusan dahsyat pada tanggal 17 Maret.
16 Mei 1963: Paroksisma kedua diawali oleh letusan pendahuluan, mula-mula lemah dan lambat laun bertambah kuat.
Pada sore hari 16 Mei, kegiatan meningkat lagi terus meneru, hingga mencapai puncaknya pada pukul 17.07.
Pada umumnya kekuatan letusan memuncak untuk kedua kali ini tidak sehebat yang pertama. Awan letusannya mencapai tinggi kira-kira 10.000 m di atas puncak, sedang pada pukul 17.15 hujan lapili mulai turun hingga pukul 21.13. Sungai yang kemasukan awan panas adalah sebanyak 8 buah, 6 di selatan dan 2 di utara.
Jarak paling jauh yang dicapai lebih kurang 12 km yakni di Tukad Luah, kaki selatan. Lamanya berlangsung paroksisma lebih kurang 6 jam, yakni dari pukul 16 hingga sekitar pukul 21.00.
Pada umumnya kekuatan letusan memuncak untuk kedua kali ini tidak sehebat yang pertama.
Awan letusannya mencapai tinggi lebih kurang 10.000 m di atas puncak, sedang pada pukul 17.15 hujan lapili mulai turun hingga pukul 21.13.
Sungai yang kemasukan awan panas adalah sebanyak 8 buah, 6 di selatan dan 2 di utara. Jarak paling jauh yang dicapai lk. 12 km yakni di Tukad Luah, kaki selatan.
Lamanya berlangsung paroksisma lebih kurang 6 jam, yakni dari pukul 16 hingga sekitar pukul 21.00.
Nopember 1963: Tinggi asap solfatara/fumarola mencapai lebih kurang 500 m di ats puncak. Sejak Nopember warna asap letusan adalah putih.
10 Januari 1964: Tinggi hembusan asap mencapai 1500 m di atas puncak.
26 Januari 1964: Pukul 06.50 tampak kepulan asap dari puncak Gunung Agung berwarna kelabu dan kemudian pada pukul 07.02, 07.05 dan 07.07 tampak lagi letusan berasap hitam tebal serupa kol kembang, susul menyusul dari tiga buah lubang, mula-mula dari sebelah barat lalu sebelah timur mencapai ketinggian maksimal lebih kurang 4.000 m di atas puncak. Seluruh pinggir kawah tampak ditutupi oleh awan tersebut. Suara lemah tetapi terang terdengar pula.
27 Januari 1964: Kegiatan Gunung Agung berhenti