Gunung Agung Terkini

Kisah Fotografer dan Turis Berburu Hal Langka Ini di Bali, Perlukah Promosi Wisata Gunung Agung?

“Ini sangat menarik, kita tidak pernah tahu kapan lagi akan menyaksikan peristiwa semegah ini,” Kata Angus bersemangat.

Tribun Bali/I Nyoman Mahayasa
Wisatawan tampak menyaksikan keindahan Gunung Agung dari Amed, Rabu (29/11/2017) 

Di antara kesibukan itu, seorang ibu tampak asyik menganyam kerajinan tangan dari bambu.

Sedikit berbeda adalah sekumpulan anak-anak yang sedang bernyanyi dengan riang ditemani seorang wisatawan manca negara. Mereka terlihat begitu senang, tak terlihat lagi batas-batas ras yang berbeda. Semuanya telah menyatu dalam tawa kemanusiaan.

Tak lama kemudian, masuklah dua orang lagi wisatawan dari Bulgaria Diana (45) dan Diana (21). Mereka adalah ibu dan anak yang sedang mengunjungi Ubud.

“Seorang pekerja di hotel yang kami tempati bilang kalau dia tinggal di sini.” Kata Diana yang lebih muda.

“Kami pun tertarik untuk datang dan melihat, siapa tahu ada hal yang bisa kami lakukan,” tambahnya kemudian.

Ibu dan anak itu kemudian menyapa anak-anak yang semula bernyanyi.

Tak hanya itu, keduanya kemudian membaur di antara pengungsi yang berada di lapangan olah raga di bagian bawah GOR.

Mereka berjalan berkeliling sambil menyapa. Seringkali mereka berhenti untuk sekadar berbincang.

Kerapkali pula mereka berhenti dan memeluk para pengungsi.

Sebuah pemandangan yang sangat mengharukan dari manusia yang berbeda latar belakang dan budaya.

Berpelukan dengan orang asing bukanlah budaya kita.

Namun, Diana dan Diana mengabaikan hal itu.

Tanpa ragu, mereka memeluk pengungsi, mendekap erat, terkadang sambil menepuk-nepuk punggung para pengungsi dengan lembut.

“Kenapa kamu suka memeluk?” Tanya kami kepada Diana yang lebih tua.

“Inilah kemanusiaan, inilah sesungguhnya kita,” Jawab Diana sambil memeluk seorang gadis kecil Made Sulastri yang berusia sepuluh tahun dengan erat.

Di Swecapura, kami dapat menyaksikan bahwa bencana bukanlah melulu penderitaan.

Di sana, sekat-sekat perbedaan antar manusia melebur menjadi pelukan di antara bangsa yang berbeda dan tak saling kenal.

Inilah sejatinya pelukan kemanusiaan yang mewujud nyata.

Dilema Wisata Gunung Agung

Fenomena alam seperti yang terjadi di Gunung Agung tergolong langka.

Oleh sebab itu, masyarakat di seluruh dunia pun tertarik untuk menyaksikannya.

Apalagi peristiwa ini terjadi di Bali, sehingga gaungnya pun makin menggema ke seantero jagad.

Namun demikian, wisata bencana mengandung dilema.

Muncul pro dan kontra terhadapnya, seperti yang terjadi di akun Twitter Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas, BNPB.

Sebagian warganet mendukung Sutopo yang mengkampanyekan wisata erupsi Gunung Agung.

Di lain sisi, ada pula warganet yang mempertanyakan manakala bencana dijadikan sebagai obyek wisata.

Indonesia dapat belajar dari Islandia bagaimana mengelola dan mengubah letusan gunung menjadi obyek wisata. Di sana, Gunung Eyjafjallajokull yang erupsi telah mendatangkan jutaan turis dari seluruh dunia.

Publikasi mengenai erupsi gunung ini berkontribusi pada lonjakan wisatawan yang datang ke Islandia.

Terlepas dari pro dan kontra tersebut, sesungguhnya wisata bencana perlu dikelola dengan baik.

Persiapan wisatawan sebelum berkunjung dan rambu-rambu yang menunjukkan zona bahaya perlu disosialisasikan.

Oleh sebab itu, penyebaran informasi mengenai dua hal tersebut menjadi mutlak diperlukan.

Selanjutnya berkaitan dengan penanganan pengungsi atau warga yang terdampak. Pemenuhan kebutuhan mereka juga menjadi kewajiban yang tak bisa ditinggalkan.

Apabila dua hal ini dapat dipenuhi, maka fenomena alam seperti letusan gunung bisa menjadi obyek wisata tanpa mengabaikan pengungsi.

Dengan begitu, maka tak hanya pengungsi yang terbantu, namun juga membantu kehidupan banyak orang di Bali yang sebagian besar hidup dari kegiatan pariwisata.

Di masa depan, apabila wisata bencana dikelola dengan baik, maka akan dapat kita lihat harmoni antara wisatawan dan pengungsi.

Wisatawan menikmati pemandangan langka yang tak pernah ditemui dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Pengungsi pun tak hanya merana di lokasi pengungsian, mereka bisa menerima pelukan dan uluran tangan dari para wisatawan.

Lebih jauh lagi, Deput I BNPB, Wisnu Widjaja, mengharapkan agar pengungsi tak hanya menjadi obyek, tetapi juga sebagai subyek atau penyintas.

Manakala pengungsi menjadi penyintas, maka mereka aktif terlibat dalam berbagai aktivitas pariwisata ketika dan pasca letusan.

Penyintas dapat berperan sebagai pemandu wisata, penyedia berbagai kerajinan dan jasa untuk wisatawan.

Harapannya, fenomena alami seperti keangungan Gunung Agung tak sampai mengganggu kehidupan dan penghidupan warga terdampak serta warga lain di sekitarnya.

Mereka, wisatawan dan penyintas diharapkan mampu memberikan ruang kepada alam untuk melaksanakan aktivitasnya tanpa menimbulkan korban jiwa.

Di Bali, saat ini zona bahaya adalah radius 8 dan perluasan sectoral 10 kilometer ke arah Utara-Timur Laut dan Tenggara-Selatan-Barat Daya. Di luar zona tersebut Bali aman untuk dikunjungi.

Selamat datang dan selamat berwisata di Bali. (Tim Pusdatin Humas BNPB). (*)

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho

Sumber: Tribun Bali
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved