Simpang Ring Banjar
Pura Agung dan Pancoran Solas Bukti Pengungsian Raja Gelgel, Hasil Meditasi Ida Bagawanta
Saking besarnya pemberontakan kala itu, membuat raja Dalem Dimade terpaksa harus mengungsi.
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Banjar Guliang Kangin, Desa Pakraman Guliang Kangin, Desa Taman Bali, Bangli yang berbatasan langsung dengan Desa Tulikup, Kabupaten Gianyar, ternyata memiliki sejarah yang erat dengan Puri Agung Semarapura, Klungkung, Bali.
Diceritakan Bendesa Adat Guliang Kangin, Ngakan Putu Suarsana, Jumat (9/2/2018), setelah berhasil menaklukkan Raja Bali Kuno di bawah kepemimpinan Patih Gajah Mada, Kerajaan Majapahit akhirnya memulai ekspedisinya dengan mengirimkan seorang raja, untuk menduduki wilayah yang kosong di wilayah Samprangan (sekarang Samplangan, sebelah timur Kota Gianyar) pada tahun 1400-an.
Baca: Merinding, Pemedek Rasakan Ada ‘Ikan Panjang’ Sentuh Kaki Saat Melukat di Pancoran Solas
Raja yang saat itu menduduki kerajaan bernama Sri Aji Kresna Kepakisan dengan kerajaan bernama Dalem Samprangan.
Pada generasi ketiga, kerajaan tersebut pindah ke wilayah Gelgel, Klungkung, yang bernama Swecapura hingga selanjutnya beregenerasi.
Namun pada generasi kedelapan, tepatnya pada masa pemerintahan Raja Dalem Dimade (1651) terjadi pemberontakan besar-besaran yang dilakukan mahapatihnya sendiri.
Saking besarnya pemberontakan kala itu, membuat raja Dalem Dimade terpaksa harus mengungsi.
“Pelarian raja dibantu orang kepercayaan kerajaan (Manca), bernama Ida Dewa Pungakan Den Pencingah yang berasal dari Taman Bali. Menurut cerita heroiknya, beliau dipercaya memiliki kesaktian mampu membuat terowongan di belakang istana. Sehingga raja mampu melarikan diri tanpa diketahui,” ujarnya.
Lanjutnya, pelarian raja menuju ke arah barat laut, tepatnya di wilayah Desa Blahpane, Gianyar yang pada saat itu bernama Alasari.
Selama tiga hingga empat hari di pengungsian, kondisi psikologis raja terus memburuk.
Ida Bagawanta (penasihat kerajaan), saat itu melakukan meditasi untuk memohon petunjuk dari Ida Sang Hyang Widi Wasa.
Saat itulah, Ida Bagawanta mendapatkan pawisik, yang mengatakan meski berada di pengungsian, sang raja harus tetap tinggal di istana.
Oleh sebab itu, dibangunlah sebuah puri (istana) sementara, serta pura kawitan (Pura Agung) yang berjarak 400 meter ke utara dari Desa Alasari, yakni Desa Tambangwilah.
Sejak saat dibangunnya puri dan pura sementara, kondisi raja perlahan mulai membaik, sehingga desa yang sebelumnya bernama Tambangwilah, diubah menjadi Guh Liang pada 1665.
Guh artinya dalam kondisi dan liang artinya senang.