Simpang Ring Banjar
Sebutan Bali Aga untuk Banjar Cekeng, Unik Tak Mengenal Upacara Pembakaran Mayat
Dari penelitian pihak purbakala, benda purbakala tersebut, diperkirakan berusia 800 tahun sebelum masehi.
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Jika selama ini sebutan Bali Aga atau Bali Mula kerap disematkan pada sejumlah desa di Bangli, seperti Desa Pengotan, Bangli; Desa Terunyan, Kintamani; dan Desa Bayung Gede, Kintamani; ternyata sebutan Bali Aga juga terdapat di sebuah banjar.
Salah satunya yakni Banjar Cekeng.
Baca: Banjar Cekeng Jadi Desa Wisata, Mirip Penglipuran, Punya 4 Wahana Unggulan
Berasal dari kata Ceking yang berarti kurus, lantaran diapit oleh satu desa dan satu dusun, yakni Desa Pengelipuran di sebelah timur, dan Dusun Bungkuan, Desa Sulahan di sebelah barat. Secara Kedinasan, Banjar Cekeng sendiri, juga masuk di wilayah Desa Sulahan, Susut.
Disebut Bali Aga atau masyarakat Bali asli, didasari dari temuan benda-benda purbakala, berupa sarkofagus (peti jenazah).
Bendesa Pakraman Cekeng, I Wayan Mudarana, Jumat (23/2/2018) mengatakan, dari penelitian pihak purbakala, benda purbakala tersebut, diperkirakan berusia 800 tahun sebelum masehi.
“Total 3 sarkofagus ditemukan di tegalan warga, sisanya benda purbakala berupa tempat penampungan air, guci, serta dua buah lesung. Berdasarkan temuan ini, diperkirakan pula, Banjar Cekeng telah ada sejak zaman tersebut,” ungkapnya.
Menurut cerita para leluhur, pada masa kerajaan sebelum ekspansi Kerajaan Majapahit di Bali, salah satu regen (pemimpin wilayah) di Susut, sempat mendapati sarkofagus tersebut saat melintas di wilayah Banjar Cekeng, dan langsung jatuh cinta dengan bentuknya.
Sehingga sang regen yang menyukai sabung ayam ini, langsung memerintahkan untuk membawa sarkofagus tersebut ke tempat kediamannya, dengan tujuan sebagai tempat memandikan ayam aduan.
“Karena sudah merupakan titah dari penguasa, masyarakat tidak bisa menolak. Sehingga oleh empat orang teruna-teruni Cekeng, sarkofagus tersebut dibawa dengan cara dibopong ke kediaman sang regen,” ujarnya.
Sesuai dengan tujuan, sesampainya sarkofagus di kediaman sang regen, benda tersebut langsung digunakan untuk memandikan ayam-ayam aduan milik sang regen.
Namun ayam-ayam sang regen, yang baru saja dimandikan menggunakan sarkofagus tersebut, seluruhnya mengalami kekalahan.
Sang regen pun murka melihat ayamnya mengalami kekalahan.
Sehingga sang regen memerintahkan parekan-parekannya (abdi), untuk mengembalikan sarkofagus tersebut.
“Di sini yang aneh, saat diangkat parekan yang jumlahnya mencapai puluhan tidak kuat mengangkat sarkofagus tersebut. Sehingga pihaknya kembali menghubungi teruna-teruni kami untuk membawa kembali. Kembali, karena sudah merupakan titah, sebanyak 8 teruna berangkat untuk mengambil sarkofagus. Ternyata bisa diangkat dengan mudah,” tuturnya.