Simpang Ring Banjar

Sebutan Bali Aga untuk Banjar Cekeng, Unik Tak Mengenal Upacara Pembakaran Mayat

Dari penelitian pihak purbakala, benda purbakala tersebut, diperkirakan berusia 800 tahun sebelum masehi.

Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
Temuan benda-benda purbakala, berupa sarkofagus (peti jenazah) di Banjar Cekeng 

Berdasarkan kejadian tersebut, kata Wayan Mudarana, dari sisi niskala masyarakat menilai bahwa ada penunggu yang mendiami sarkofagus ini.

Mengingat fungsi sesungguhnya adalah sebagai peti jenazah, akhirnya masyarakat sekitar mengkeramatkan sarkofagus ini, dan ditempatkan di utama mandala Pura Puseh.

“Sarkofagus ini untuk pria, melihat dari bentuknya yang besar. Sedangkan sarkofagus satunya untuk wanita, karena bentuknya kecil,” sebutnya.

Tidak Ada Istilah Ngaben Dibakar

Prosesi upacara ngaben yang identik dengan cara dibakar, pada Banjar Cekeng justru berbeda dalam pelaksanaannya.

Kepala Wilayah Banjar Cekeng, Wayan Arimidia mengatakan, di Banjar Cekeng prosesi ngaben tidak dilaksanakan dengan cara dibakar, namun dikubur.

“Istilahnya di sini bukan ngaben, melainkan biatanam. Artinya orang yang meninggal tidak dibakar, namun dikubur,” tuturnya.

Pelaksanaan biatanam diakui sudah diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya, sehingga pihaknya tidak mampu menjelaskan maksud dan tujuan perbedaan proses pengabenan tersebut.

Diakui, pelaksanaan biatanam hanya dilaksanakan di dua desa, yakni di Desa Penglipuran, dan Banjar Cekeng.

Ditambahkan dia, Banjar Cekeng juga tidak mengenal sistem memaling yang banyak dilakukan di desa lain, untuk mengubur jenazah, bilamana seseorang meninggal tidak bertepatan dengan hari baik untuk menguburkan jenazah.

“Biasanya pada hari-hari seperti purnama, tilem, dan lainnya, memang tidak boleh menguburkan jenazah selama tujuh hari tersebut. Sehingga selama satu minggu, jenazah tetap berada di rumah masing-masing, namun keluarga yang bersangkutan statusnya cuntaka,” ujarnya.

Penentuan cuntaka bagi masyarakat Banjar Cekeng yang berduka juga tidak menentu.

Ungkapnya, penentuan cuntaka ditentukan berdasarkan waktu meninggal, hingga dilaksanakannya upacara ngurug.

“Jika dalam satu bulan belum terdapat hari baik untuk ngurug, maka status keluarga yang bersangkutan masih cuntaka, hingga dilaksanakan upacara ngurug. Begitu pula jika seseorang meninggal bertepatan dengan hari-hari baik, maka satus cuntaka-nya hanya hitungan hari saja. Selanjutnya mereka dipersilakan untuk masuk ke pura,” jelas Wayan Arimidia. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved