Menerka Semesta Kita, Masuk ke ‘Semesta’ Sang Perupa

Pernahkah kita menerka bagaimana rupa sebuah semesta yang penuh dengan keliaran imajinasi, kebebasan tiada batas?

Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Ni Ketut Sudiani
Salah satu lukisan yang dipamerkan dalam pameran bertajuk “Semesta Kita” di Bentara Budaya Bali, yang berlangsung hingga 27 Januari 2019. 

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Pernahkah kita menerka bagaimana rupa sebuah semesta yang penuh dengan keliaran imajinasi, kebebasan tiada batas?

The untold and the unspoken world.

Akankah kita mampu menyelami dan memahaminya?

Barangkali inilah yang ditawarkan empat pelukis muda berkemampuan khusus yang kini karyanya tengah dipamerkan di Bentara Budaya Bali.

Sedari awal, sebelum publik memasuki ruang galeri Bentara Budaya Bali di Ketewel, Gianyar, kurator pameran, Wicaksono Adi, telah mengingatkan, ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk menelisik karya-karya yang dihadirkan.

Pertama, melalui pendekatan umum yakni menilik sebuah lukisan sebagai karya seni tanpa mempertimbangkan aspek psiko-sosial pelukisnya.

Kedua, menggunakan pendekatan khusus yaitu menyadari latar belakang psikologis sang kreator sehingga memungkinkan bagi penikmatnya untuk mencoba ikut masuk ke ‘semesta’ sang perupa.

Pameran bertajuk “Semesta Kita” yang berlangsung hingga 27 Januari 2019 ini memang terbilang tidak biasa.

Empat seniman muda yang karyanya ditampilkan merupakan insan difabel, differently ability people, yang berkebutuhan dan berkemampuan khusus.

Mereka adalah Aqillurachman Prabowo (14), Naripama Ramawijaya (16), Raynaldy Halim (21) dan Anfield Wibowo (13).

Karenanya, Wicaksono Adi menilai publik bisa menggunakan pendekatan kedua untuk menyelami karya-karya tersebut.

Apa yang ditegaskan sang kurator tampaknya sejalan dengan semangat yang diusung para penggagas.

Mereka ingin membuka ruang kreativitas seluas-luasnya serta apresiasi sewajarnya bagi para kreator yang selama ini terpinggirkan.

Tersisih karena faktor sosial maupun yang berkenaan dengan ‘kebutuhan khusus’.

Merancang dan merealisasikan program ini tentu bukan perkara yang mudah.

Pastilah sebuah perjalanan yang panjang, terutama bagi sang kreator mencipta karya-karyanya.

Para penggagas yakni Amalia Prabowo, Kanoraituha Wiwin, bersama Wicaksono Adi, dan Bentara Budaya Bali telah mempersiapkannya sedari tahun 2017.

Sekaligus pula untuk menuju Festival Bebas Batas 2019, festival pertama yang menampilkan karya seni brilian dari para seniman disabilitas, yang diinisiasi Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Baca: Vandalisme Masih Terjadi di Denpasar, Kasatpol PP: Kami Kesulitan Melacak Pelakunya

Baca: Surat Keterangan Miskin Tak Berlaku dalam Penerimaan Peserta Didik Baru 2019

Baca: Gubernur Koster akan Keluarkan Pergub Penggunaan Energi Bersih Terbarukan di Provinsi Bali

Unspoken World

Kurator menyebut karya mereka sebagai gambaran dari dunia yang nyaris tak tersampaikan, semesta yang unspoken, dunia yang ‘berbeda’ dengan yang dialami orang kebanyakan.

Dari 56 lukisan yang berangka tahun dari 2012 hingga 2018 itu, publik dapat menyaksikan gambaran semesta yang seakan begitu kelam, tragis, penuh misteri, juga sebuah kenaifan dan kemurnian anak-anak yang melukiskan sesuatu apa adanya.

Ekspresi akan apa yang mereka rasakan dan pikirkan pada satu momen tanpa terbebani kepentingan apapun.

Ada pula lukisan nirsosok, atau dikatakan sebagai abstrak, yang sama sekali tidak secara gamblang menampakkan tokoh, latar tempat, maupun deskripsi sebuah peristiwa.

Melainkan perpaduan bebas aneka warna yang dipuas, dicipta sealur perasaan, pikiran, juga imajinasi sang kreator.

Cukup jauh berbeda, pada lukisan lainnya, justru muncul gambaran yang sangat detail memenuhi kanvas.

Di dalamnya pun dapat dirasakan ada sebuah kesadaran akan komposisi, pilihan warna, yang tampaknya juga merupakan sebuah respons akan kehidupan sosial masyarakat.

Masing-masing anak muda ini hadir dengan caranya yang berbeda dan publik dapat dengan segera merasakannya.

Setiap kreator memiliki karakter yang cukup kuat, sehingga walaupun lukisannya diletakkan secara acak, kita dapat mengenali siapa pelukisnya.

Coba kita perhatikan karya Anfield Wibowo, kelahiran Jakarta, 19 November 2004.

Lukisan-lukisannya terbilang cukup mencekam.

Misalkan saja “Mermaid dan Angin” (2017), “Diterjang Badai” (2017), “Godaan Iblis” (2018), “Taman Eden 2018” (2018), “The Sacred Riana” (2017), “Face of Lucy” (2017).

Bahkan untuk menggambarkan sosok yang biasanya dikenal jenaka, lukisan “Badut” (2017) pun tampil dengan cara yang “gelap”.

Terlepas dari betapa “gelap” dunia yang digambarkan Anfield, kita masih bisa menemukan sisi kanak Anfield melalui tokoh-tokoh film anak yang dipinjamnya.

Satu di antaranya adalah Mermaid, yang begitu populer di kalangan anak-anak.

Tahun lalu, Anfield sempat mengikuti pameran “Solidarity, Peace and Justice”, di Balai Budaya, Jakarta.

Lukisan Naripama Ramavijaya terbilang berbanding terbalik dengan Anfield.

Karya Gus Rama, kelahiran Bali, 18 Oktober 2002, lebih riang dan penuh warna-warna terang.

Di dalamnya pun terjadi komunikasi di antara tokoh-tokoh yang dihadirkan.

Beberapa di antaranya juga tampak lebih seperti karikatur.

Misalkan pada “Mobil Kereta” (2018), “Ulang Tahun” (2016), “Circus” (2012).

Apabila diperhatikan angka tahun lukisan, antara karya tahun 2012, 2016, dan terkini 2018, Gus Rama tetap menghadirkan kegembiraan.  

Meski memiliki keterbatasan untuk berkomunikasi secara terstruktur, namun melalui gambar-gambar itulah ia menyampaikan maksud dan keinginannya.

Ia bukan tidak mampu berkomunikasi, tapi ia memiliki cara yang berbeda untuk berkomunikasi.

Baca: Edy Rahmayadi Akui Poin-poin Ini Gagal Dijalankan Selama Jabat Ketua Umum PSSI

Baca: Ramalan Zodiak 20 Januari 2019: Libra Super Romantis, Hari Penuh Kebahagiaan Bagi Aquarius

Baca: Edy Rahmayadi Harapkan Sosok Ini Sebagai Penggantinya di PSSI

Menarik pula melihat hasil puasan Raynaldy Halim yang tanpa tokoh.

Lahir di Jakarta, 9 September 1997, Aldy pernah meraih penghargaan MURI untuk lukisan terbanyak anak berkemampuan khusus.

Cara Aldy mengungkapkan semestanya boleh jadi paling sulit untuk dipahami orang kebanyakan. 

Lihatkan bagaimana Aldy melukiskan “Pelita Kasih” (2018).

Bercak-bercak dan paduan sejumlah warna seakan bebas menari pada karya itu.

Begitu juga dengan caranya menggambarkan “Keluarga” (2018).

Ada sekitar empat hingga lima komposisi warna di dalamnya.

Masing-masing diberikan ruang tersendiri dengan bentuknya yang tak berbentuk.

Barangkali baginya, biru mewakili ayah, merah dirinya, hijau berpadu kuning adalah ibu.

Kita hanya bisa menafsir, walau tidak pernah tahu bagaimana sesungguhnya isi semesta Aldy.

Sementara Aquillurachman Prabowo, boleh jadi yang paling mampu menguasai semestanya dan semesta kebanyakan orang.

Pada “Menghidap Gawai” (2018), bahkan dia dapat memberikan kritik terhadap apa yang terjadi kini dalam kehidupan sosial masyarakat yang telah kecanduan gawai.

Kegilaan orang, yang digambarkan lewat figur menyerupai buaya, akan gawai, telah melebihi candu perokok.

Karakter serupa bisa dilihat juga pada “Me Againts The World” (2018), dan “Apa Serunya Normal” (2016).

Ia pernah meraih The Best Puppet Maker pada International Red Mood Festival Moscow – Red Teather Rusia (2018).

Spontan dan Merdeka

Apa yang dilakoni keempat anak muda ini dapat dikatakan sebagai Art Brut, seni yang dicipta oleh mereka yang selama ini dipinggirkan.

Namun sebagaimana dituliskan Wayan ‘Kun’ Adnyana, dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar, pemahaman tentang Art Brut tidak lagi dibaca sebagai karya seni kaum terpinggirkan, tetapi platform untuk menimbang akar kespontanan seni atau pun ekspresi kejiwaan yang murni.

Hingga kini, seni tetap dipercaya sebagai terapi untuk memeroleh atau menuju jiwa-jiwa yang merdeka.

Melepas bebaskan segala kespontanan dalam diri.

Seni pulalah yang memungkinkan terjadi peleburan sekat-sekat pembatas yang selama ini cenderung membuat orang-orang kerap anti dengan perbedaan.

Begitu pula dengan keempat seniman muda ini yang telah berhasil menerabas batas-batas pembatas itu. Terimakasih telah mengenalkan semesta kalian pada kami. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved