Hindari ‘Dua Matahari’ Kepemimpinan, Sugawa Korry Inginkan Pembagian Kewenangan Desa Adat dan Dinas
Nyoman Sugawa Korry menginginkan peranan dan fungsi Majelis desa adat jangan terlalu kuat hingga menyebabkan munculnya ‘dua matahari' kepemimpinan
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Panitia Khusus (Pansus) DPRD Bali tentang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) desa adat masih melakukan proses pembahasan untuk menyelesaikan Raperda bersama tim perumus dari pihak eksekutif Pemprov Bali.
Wakil Ketua DPRD Bali, Nyoman Sugawa Korry menginginkan dalam Raperda desa adat, peranan dan fungsi Majelis desa adat jangan terlalu kuat hingga menyebabkan munculnya ‘dua matahari’ kepemimpinan di Bali, yaitu adat dan dinas.
Menurutnya dalam Raperda itu perlu adanya pengaturan pembagian kewenangan antara desa dinas dan desa adat.
“Kalau masalah adat, agama, upacara kewenangannya sebaiknya diserahkan pada desa adat. Sedangkan kalau masalah pemerintahan, pembangunan, sekolah, kewenangannya ada di desa dinas,” kata Sugawa Korry saat dihubungi, Selasa (5/3/2019).
Baca: Polda Bali: Dilarang Buat Ogoh-ogoh Mirip Wajah Paslon, Ini 7 Imbauan Nyepi yang Harus Diperhatikan
Baca: Perebutkan Hadiah Puluhan Juta, 13 Ogoh-ogoh di Simpang Catus Pata Dinilai Langsung Kapolda Bali
Sugawa Korry mencontohkan, misalnya terjadi kasus sengketa galian pasir di suatu desa, maka harus dicari apakah sengketa tersebut merupakan ranah pemerintahan atau adat.
Kalau wilayah penambangan itu terjadi di wilayah adat, misalnya tanah yang digunakan milik tanah desa adat, maka pihak adat boleh masuk melakukan intervensi.
Sedangkan kalau tanah itu milik perorangan dan tidak ada kaitannya dengan adat, maka kasusnya masuk dalam ranah pemerintahan dan semua aturannya harus sesuai dengan kaedah hukum nasional.
Begitu pula ketika wilayah galian pasir itu adalah milik desa adat, namun kalau dalam RTRWK (Rencana Tata Ruang Dan Wilayah Kabupaten)-nya melarang adanya penambangan, maka penggalian tersebut juga tidak boleh dilakukan karena RTRWK merupakan bagian dari Perda Kabupaten.
Baca: Pawai Ogoh-ogoh PAUD Harapan Bangsa di Mako TNI AL Denpasar
Baca: 436 Anggota Jajaran Polres Badung Amankan Malam Pengerupukan
Jadi sebaiknya, kata dia, bila galian pasir ada di tanah adat dan itu dibolehkan sesuai aturan bisa saja diizinkan dan dia juga bisa berkontribusi kepada pemiliknya, yaitu desa adat.
Namun, walaupun itu tanah adat dan diizinkan oleh desa adat, tapi tidak diizinkan oleh aturan Pemerintah maka sebaiknya jangan dilakukan karena posisi hukum nasional lebih tinggi.
“Makanya perlu diatur peranan majelis ini jangan terlalu kuat, bisa memutuskan suatu sengketa. Jadi keputusan ada di tangan Gubernur, Bupati atau Wali Kota. Jadi majelis hanya memberi saran, masukan dan sebagainya yang sifatnya memberi pertimbangan dan melengkapi,” tuturnya.
Selanjutnya jika terjadi konflik yang melibatkan dua desa adat, maka bisa diselesaikan di Majelis Alit Desa Adat (MADA) yang ada tingkat kecamatan.
Baca: H-4 hingga H-2 Nyepi, 16.531 Kendaraan Roda Dua dan 13.829 Kendaraan Roda Empat Tinggalkan Bali
Baca: Kapolda Bali Ikuti Tawur Kesanga di Halaman Mapolda Beserta Personel
Anggota MADA dipilih oleh perwakilan masing-masing desa adat yang ada di wilayah Kecamatan itu.
Dalam Raperda desa adat juga diatur status krama adat, terdiri dari krama wed (warga asli yang beragama Hindu), krama tamiu (pendatang Hindu), dan tamiu (pendatang non Hindu).
Ketiga jenis krama tersebut dibedakan dalam hak dan kewajibannya.
Kalau krama wed, memiliki kewajiban dan hak yang penuh.
Baca: Ilmu Pengetahuan Rahasia, Shang Nyang Aji Kreket Penangkal Ilmu Hitam
Baca: Upacara Tawur Kesanga Dipuput Enam Sulinggih, Dihadiri Ribuan Masyarakat Denpasar
Sedangkan krama tamiu dan tamiu memiliki kewajiban dan hak yang terbatas.
“Jadi aturan kita buat juga tidak boleh bertentangan dengan prinsip NKRI,” imbuhnya.
Berikutnya yang juga diatur adalah mengenai keberadaan pecalang.
Sugawa Korry menyebutkan keberadaan Pecalang diatur dengan tegas bahwa yang berhak memiliki pecalang adalah desa adat.
Sehingga tidak boleh sembarangan orang membentuk Pecalang dan menggunakan kewenangannya atas nama pecalang.
“Jadi kendali pecalang adalah bendesa adat. Selama ini ada terjadi beberapa orang yang berpakaian pecalang, kemudian datang melakukan pungutan terhadap pendatang. Itu tidak boleh,” tegas politisi Partai Golkar ini. (*)