Tradisi Mapeed dan Ngarebeg Saat Pujawali Pura Dalem Kahyangan Kedaton Tabanan
Pujawali dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Setiap pujawali memang menggelar tradisi mapeed dan ngarebeg
Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Ibu-ibu PKK dari 12 banjar adat yang ada di Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan, nyuwun gebogan menuju Pura Alas Kedaton, Tabanan, Selasa (13/8/2019).
Mereka mengikuti tradisi mapeed serangkaian pujawali di Pura Dalem Kahyangan Kedaton.
Setelah semua banjar adat selesai menggelar mapeed, tarian Rejang Renteng massal menyusul setelahnya.
Tarian ini juga ditarikan ibu-ibu PKK dari 12 banjar adat yang di Desa Kukuh.
"Pujawali dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Setiap pujawali memang menggelar tradisi mapeed dan ngarebeg," ujar Perbekel Kukuh, I Made Sugianto.
Sugianto menjelaskan, tradisi mapeed berasal dari kata mepaid atau mengikutsertakan semua komponen masyarakat terutama ibu-ibu PKK dengan nyuwun gebogan.
Peserta berjalan beriringan menuju areal pura. Sedangkan krama laki-laki mengikuti dengan membawa bandrang dan tedung.
"Tradisi ini memiliki makna sebagai bentuk semangat krama desa untuk ngayah ke Pura Kahyangan Kedaton. Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun," jelasnya.
Sedangkan tradisi ngarebeg memiliki arti greget, semangat dalam pengabdian. Dalam ngarebeg selalu diawali dengan barisan anak-anak membawa ranting pohon enau karena terkait erat dengan sejarah berdirinya pura.
Di mana pendahulu mereka, sembunyi di balik pohon enau sehingga tidak terlihat oleh musuh.
Selanjutnya, kata dia, ada barisan lelaki orangtua dengan membawa bandrang dan tedung kemudian berlari sekitar tiga kali mengitari pura.
"Tradisi ini tidak pernah ditiadakan meskipun bagaimana kondisi cuacanya," tandasnya. (*)