Liputan Khusus
LBH Ungkap Fakta Mengejutkan di Balik Jeratan Pinjaman Online, Puluhan Orang di Bali Jadi Korban
Korban pinjaman online di Bali ternyata tidak sedikit. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali banyak menerima permohonan bantuan hukum dari mereka
Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Korban pinjaman online di Bali ternyata tidak sedikit.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali banyak menerima permohonan bantuan hukum dari mereka yang menyebut diri sebagai korban pinjaman online.
Sejak November 2018, LBH Bali rata-rata menerima dua pengaduan tiap minggu dari para peminjam online di Bali.
“Sangat banyak klien kami yang mengadu soal pinjaman online itu. Dari data pengaduan yang kami terima secara keseluruhan, setengahnya adalah soal pinjaman online,” beber Direktur YLBHI-LBH Bali, Vany Primaliraning, saat ditemui Tribun Bali di ruang kerjanya pekan lalu.
• Waspada Jeratan Pinjaman Online di Bali, Ada yang Diteror Penagih Utang hingga Bunuh Diri
Dari puluhan pengadu yang berasal dari berbagai kabupaten di Bali yang melapor ke LBH dan membuat draf permohonan bantuan hukum, LBH Bali telah mendata nama-nama aplikasi pinjaman online yang digunakan.
LBH Bali kemudian mencatat berapa besar pinjaman awal, berapa uang yang diberikan/dicairkan fintech, dan kemudian berapa uang yang harus dibayar peminjam.
Dari hasil pendataan LBH Bali, rata-rata bunga yang dikenakan kepada peminjam memang sangat tinggi.
Misalnya, seorang warga Denpasar berinisial PI melapor kepada LBH Bali bahwa dirinya merasa keberatan dengan pengenaan bunga yang sangat tinggi.
Ceritanya, pada Desember 2018, PI mengajukan pinjaman online sebesar Rp 1,2 juta ke fintech.
Jatuh tempo pinjaman itu adalah awal bulan Januari 2019 sebesar Rp 1,8 juta.
Tapi PI belum bisa melunasi utangnya, sehingga nunggak dua bulan dan kini utang plus bunganya bengkak menjadi Rp 4,8 juta.
“Kebanyakan fintech peer to peer lending yang memberikan bunga sangat tinggi itu adalah yang ilegal. Dari yang mengadu ke kami, itu sebagian besar pakai yang ilegal. Ada yang sampai pakai 40 aplikasi pinjaman online. Saya cek, ternyata yang legal cuma dua aplikasi saja,” ungkap Vany.
• Koster Hentikan Reklamasi Pelabuhan Benoa, Proyek Pengurukan Hancurkan Ekosistem Bakau 17 Hektare
Dari hasil interogasi LBH Bali terhadap para korban pinjaman online tersebut, ada dua alasan kenapa mereka bisa menggunakan aplikasi pinjaman online lebih dari satu.
Pertama, untuk membayar utang di aplikasi sebelumnya. Kedua, karena uang yang ditransfer lebih sedikit dari nilai pinjaman yang diajukan, sehingga tidak cukup untuk menutupi utang lainnya.
“Jadi awalnya para peminjam itu pingin pinjam di satu aplikasi saja. Trus ketika dikenai beban bunga dan jangka waktu pelunasan yang sangat pendek, ditambah pinjaman yang dicairkan tidak sesuai nominal permintaan, maka mereka terpaksa nyari aplikasi pinjaman online yang lain. Ada juga yang gali lubang tutup lubang,” ungkap Vany.
Dari keterangan puluhan korban yang telah menyampaikan permasalahannya, LBH menilai mereka sebetulnya kurang mendapat informasi yang benar mengenai pinjaman online ini.
Lantaran kurangnya informasi mengenai fintech, masyarakat dengan gampang dipengaruhi dan dimainkan oleh para fintech nakal atau ilegal.
LBH Bali berharap OJK (Otoritas Jasa Keuangan) segera bersikap agar jumlah korban fintech nakal dan ilegal tidak semakin banyak.
“Di sini sebenarnya peran OJK sangat diharapkan. OJK itu sebenarnya pengendali. Dulu kan peran itu ada di Bank Indonesia. Nah sekarang kan ada lembaganya sendiri yakni OJK. Jadi pengawasan terhadap lembaga keuangan seperti fintech itu ada di OJK. Kehadiran OJK adalah melakukan perlindungan terhadap nasabah, atau melakukan penindakan terhadap jasa-jasa keuangan yang tidak baik,” harap Vany.
• Setelah Viral Video Bopong Jenazah Ponakannya, Supriyadi Tak Salahkan Puskesmas, Begini Sebabnya
Vany prihatin atas banyaknya korban pinjaman online ini. Apalagi, mereka rata-rata adalah masyarakat kecil dengan ekonomi menengah ke bawah.
Vany menyayangkan sikap OJK selama ini yang terkesan tak mau tahu terhadap ulah fintech ilegal.
Ia berharap, terhadap fintech yang belum terdaftar atau berizin namun aplikasinya sudah bisa diunduh, OJK bisa melakukan langkah-langkah pencegahan atau penindakan agar tak jatuh korban lebih banyak.
“Namun, OJK mau bertanggungjawab jika fintech-nya sudah terdaftar. Kalau belum terdaftar, OJK menganggap bahwa ini adalah kesepakatan antara si pemberi pinjaman dan si peminjam. Kami tidak meminta OJK untuk menghapus hutang, kan ini terkait hak dan kewajiban, Tapi ketika ada selisih yang tidak wajar, ya harusnya OJK punya cara, misalnya restrukturisasi hutang,” harap Vany.
Dikatakan Vany, rata-rata para peminjam online yang mengadu ke LBH Bali mengaku mendapatkan teror dengan bahasa-bahasa kasar dari si pemberi pinjaman.
Akses fintech ke ponsel para peminjam juga disalahgunakan. Ada yang fotonya disebarkan, ada yang tiba-tiba mengirim pesan aneh ke teman, keluarga, dan atasan di tempat peminjam bekerja.
“Dari sisi kepercayaan diri, psikis mereka ditekan. Mereka mendapatkan intimidasi, seperti mendapatkan SMS kasar. Bahkan penagih menghubungi orang yang ada di daftar kontak telepon peminjam, menghubungi bosnya, dan orang tuanya. Ketika pihak pinjaman online itu melakukan intervensi secara agresif, ada orang tua klien kami yang kebetulan kondisinya sakit parah, saat itu jadi meninggal dunia. Mereka melakukan intimidasi,” ungkap Vany.
Ada juga penagih yang dianggap melakukan pelecehan seksual dengan meminta si peminjam menjual dirinya atau menjadi pelacur.
“Ada klien saya yang disuruh jual diri. `Sudah kalau kamu tidak bisa bayar, kamu jual diri saja. Atau kalau kamu kesulitan, saya bantu jual dirimu supaya kamu bisa bayar hutang`. Begitu bahasanya,” ungkap Vany.
Menurut Vany, banyak klien LBH Bali yang mengaku bermasalah di tempat kerjanya lantaran pihak penagih utang mengirim pesan ke atasan mereka.
Ini bisa dilakukan lantaran sebelum peminjam menginstal aplikasi pinjaman online di Play Store, peminjam dimintai persetujuan agar pihak fintech dapat mengakses kontak dan ponsel peminjam.
Banyak juga yang mengadu bahwa mereka di-PHK secara sepihak oleh perusahaannya, karena pimpinan perusahaan mendapat pesan singkat dari pihak pinjaman online.
“Ada yang malah membuatkan grup WA dengan anggota seluruh kontak dari klien kami. Trus mereka mengirim pesan di grup itu, yang menyudutkan klien. Jadi sebenarnya cara ini salah. Bagaimana mereka mau membayar hutang kalau akhirnya mereka di-PHK. Kan malah mereka tidak ada penghasilan,” ujar Vany.
Bahkan, para penagih utang online ada yang menyebarkan foto-foto di ponsel peminjam. Ada satu klien LBH Bali yang menjadi korban penyalahgunaan foto anaknya di ponsel.
“Pinjaman itu kan urusan orang dewasa. Anak-anak tidak tahu apa-apa tapi mereka jadi korban. Karena si penagih bisa mengakses hape si peminjam, kebetulan dia menemukan foto anak, terus kemudian dikatakan bahwa anaknya itu makan uang haram. Saya harap pelaku-pelaku Itu tidak sampai melibatkan anak-anak. Karena ini akan merusak mental anak,” kata Vany.
Vany menuturkan, rata-rata klien dari LBH Bali yang terjerat pinjaman online mengaku sudah kooperatif dengan pihak penagih utang. Mereka, misalnya, minta jeda waktu beberapa hari menunggu hari gajian.
Akan tetapi, penagih utang tak mau tahu dan langsung saja mengintimidasi dengan menyalahgunakan data pribadi peminjam.
Tak hanya itu. Vany juga mengungkap bahwa ada korban pinjaman online yang melapor ke polisi atas penyalahgunaan data pribadi di ponsel mereka oleh jasa pinjaman online.
Namun, laporan tak mendapatkan respons dari pihak kepolisian.
Bahkan, si korban justru ditertawai oleh sejumlah petugas saat melaporkan masalahnya ke Unit Cyber Crime Polda Bali.
“Mereka malah ditertawai. Kalau minjam ya harus mengembalikan, begitu kata petugas saat klien kami melapor. Kalau begitu kan sebenarnya polisi juga tidak aware, tidak paham terhadap korban-korban pinjaman online ini. Padahal di sana kan ada unsur pidana, seperti intimidasi dan ancaman,” ungkap Vany.(*)