Liputan Khusus
Waspada Jeratan Pinjaman Online di Bali, Ada yang Diteror Penagih Utang hingga Bunuh Diri
Waspadalah sebelum memutuskan meminjam uang di aplikasi pinjaman online.Aplikasi pinjaman online itu pada umumnya dioperasikan oleh perusahaan jasa
Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -- Waspadalah sebelum memutuskan meminjam uang di aplikasi pinjaman online.
Aplikasi pinjaman online itu pada umumnya dioperasikan oleh perusahaan jasa keuangan berbasis teknologi atau biasa disebut sebagai fintech, yang merupakan singkatan dari financial technology.
Saat ini, menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, ada puluhan kasus peminjam online di Bali yang diuber-uber oleh penagih hutang dari fintech, yang kebanyakan beroperasi secara ilegal dengan menggunakan aplikasi.
Seorang warga Bali diminta menjual diri untuk melunasi seluruh utang-utangnya di jasa fintech peer to peer lending atau yang dikenal dengan pinjaman online.
• Lahir Senin Pon Pahang, Sukses Saat Umur Ini, Begini Perjalanan Hidupnya
• Setelah Viral Video Bopong Jenazah Ponakannya, Supriyadi Tak Salahkan Puskesmas, Begini Sebabnya
Bahkan, seorang gadis berusia 23 tahun asal Tabanan mengakhiri hidupnya dengan meminum pembasmi serangga lantaran terjerat “lingkaran setan” pinjaman online, sehingga utangnya mencapai ratusan juta rupiah.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ada ribuan perusahaan fintech abal-abal alias ilegal. OJK adalah lembaga yang menetapkan regulasi dan mengawasi fintech.
Saat ditemui Tribun Bali pekan lalu, RA mengatakan, dirinya benar-benar tak menyangka temannya bakal mengakhiri hidup dengan cara menenggak racun pembasmi serangga. Teman RA yang merupakan gadis berusia 23 tahun asal Tabanan itu, terjerat pinjaman online.
Utang teman RA yang mencapai seratus juta lebih membuat hidupnya kacau, karena hampir setiap hari dia mendapat teror dari penagih hutang.
Bahkan, bahasa-bahasa kasar kerap dilontarkan penagih kepada dia, sehingga membuat teman RA ini mengalami depresi berat dan kemudian mengakhiri hidupnya.
“Dia sempat dirujuk ke rumah sakit. Dirawat tiga hari. Sempat agak membaik kondisinya, tapi akhirnya meninggal dunia. Keluarganya sangat tertekan sampai sekarang, dan tidak ada satupun yang berani menanyakan soal ini,” kata RA yang meminta identitas temannya dirahasiakan saat diwawancarai Tribun Bali.
Meski peristiwa ini terjadi pada akhir 2018 lalu, menurut RA, hingga kini pihak keluarga temannya itu dikabarkan masih shock.
RA menceritakan, temannya yang bunuh diri itu menggunakan beberapa aplikasi pinjaman online yang bisa diunduh di Play Store.
RA tak mengetahui persis berapa awalnya nilai pinjaman temannya itu ke fintech, sehingga utang yang harus dibayarnya menumpuk hingga seratus juta lebih.
Ketika belum melakukan tindakan nekat itu, si teman sempat curhat kepada RA bahwa ia sedang dililit utang lewat aplikasi online.
Kondisi itu membuat hidupnya tidak tenang. Setelah mengetahui temannya meninggal, RA pun kaget dan tak menyangka.
“Saya kasihan sekali sama dia. Saya harap tidak ada lagi korban berikutnya,” kata RA kepada Tribun Bali pekan lalu.
Mainkan Data Peminjam
Mawar, bukan nama sebenarnya, juga mengaku menjadi korban pinjaman online.
Kepada Tribun Bali, Mawar bercerita dirinya sempat diancam penagih dengan bahasa kasar, dan pernah juga disuruh mengakhiri hidup agar utang-utangnya lunas.
“Saya kan sempat komplain kenapa bunganya begitu tinggi dan cepat naik, eh...malah saya disuruh mati saja biar tidak lagi bayar hutang. `Kamu mati saja, biar tidak berurusan dengan kami lagi`, begitu kata si penagih dari pihak pinjaman online. Bahasanya kasar sekali, pas nelpon langsung nyerocos gitu,” ungkap Mawar.
Kini utang Mawar sudah mencapai Rp 15 juta di fintech. Padahal, ia cuma meminjam Rp 2 juta pada Februari 2019 lalu.
Waktu itu, Mawar mengaku meminjam uang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sebetulnya Mawar tidaklah membutuhkan uang sebesar itu.
Dia cuma coba-coba mengajukan pinjaman Rp 2 juta ke fintech setelah tahu ada aplikasi untuk pinjaman secara online. Ternyata pengajuan pinjamannya diterima.
Dalam satu jam setelah beres mengisi data di aplikasi pinjaman online yang ia gunakan, uang sudah masuk ke rekening Mawar, Meskipun uang yang ditransfer kepadanya waktu itu cuma sekitar Rp 1,7 juta, namun dia tak bertanya karena saking senangnya dengan prosedur pinjam-meminjam yang cepat sekali prosesnya itu.
“Namanya lagi tanggal tua kan duit pas habis banget saat itu. Saya coba-coba sebenarnya waktu itu. Iseng aja ngajuin hutang Rp 2 juta, eh diterima. Semua syaratnya saya centang `ya` saja, tanpa baca dan banyak tanya,” tutur Mawar.
Tak lama kemudian uang masuk ke rekeningnya sebesar Rp 1,7 juta, masa tenor (masa cicilan) adalah selama tujuh hari setelah uang masuk.
Saat H-1 batas pengembalian, Mawar menerima pesan dari penagih yang dikirimkan melalui aplikasi WhatsApp (WA). Namun ia lupa membacanya, sehingga ia telat sehari dari masa waktu pembayaran.
Mawar pun kembali menerima pesan dari penagih. Namun, saat itu nilai yang harus dibayarnya sebesar Rp 3,1 juta.
Artinya, dalam waktu sekitar seminggu, ia harus mengembalikan hampir dua kali lipat dari nilai pinjaman yang dicairkan.
“Saya kira bayarnya tidak sampai Rp 3,1 juta. Kan saya dapatnya cuma Rp 1,7 juta. Jadi, saya sisakan uang di rekening Rp 2,2 juta, dan saya kira itu cukup untuk melunasi pinjaman. Ternyata, saya ditagih Rp 3,1 juta, sehingga duit saya gak cukup dan saya gak ada lagi uang. Saat saya berjanji untuk bayar esoknya, chat WA saya tidak dibalas. Saya kira dia sudah mengerti besok saya pasti bayar, eh malah semua kontak di hape saya dimainin sama dia. Dia kirim SMS ke teman saya, keluarga saya bahkan ke teman-teman di tempat saya kerja,” ungkap Mawar.
Akibatnya Mawar harus menjelaskan tentang ihwal utang pinjaman online tersebut ke teman, keluarga, dan atasannya di kantor.
“Bunyi SMS itu ngawur. Saya disebut telah menjadikan atasan saya sebagai penjamin. Yang saya alami ini persis seperti yang dialami para peminjam yang lain,” ungkapnya.
Tak lama kemudian, hari itu Mawar juga menerima SMS di ponselnya tentang tawaran pinjaman online dari fintech lain, yang menyebut pinjaman bisa cair secara kilat tanpa ribet, dan cukup bermodal KTP sebagai syarat.
Karena masih panik dengan tagihan dari jasa fintech sebelumnya, Mawar akhirnya mencoba menghubungi kontak di dalam SMS itu.
Pihak penyedia pinjaman online ini menyarankannya untuk mengunduh sebuah aplikasi di Play Store.
Ia sudah mengerti dan langsung menginstal aplikasi yang disarankan. Tak berpikir panjang, Mawar kemudian mencoba meminjam sebesar Rp 1 juta di aplikasi kedua yang ia unduh.
“Ternyata yang kedua ini sama dengan yang sebelumnya, potongannya banyak. Saya pinjam sejuta, tapi dikasih delapan ratus ribu sekian, mereka bilangnya dipotong uang admin, inilah, itulah. Saya ngikut saja, yang penting uang saya cair. Setelah cair, saya bayar hutang di aplikasi sebelumnya,” tuturnya.
Namun bak terhipnotis, Mawar tergiur lagi dengan rayuan si pemberi pinjaman online yang pertama, sehingga membuatnya kembali meminjam uang.
Pemberi pinjaman itu mengatakan bahwa untuk pinjaman berikutnya tidak akan ada potongan dan intimidasi seperti sebelumnya.
Orang dari fintech yang menghubunginya itu beralasan, cara penagihan pinjaman yang pertama memang demikian untuk memastikan klien mau membayar utang secepatnya.
Namun kemudian hari, untuk pinjaman berikutnya di aplikasi yang sama, ternyata Mawar tetap mendapatkan perlakuan yang sama.
“Entah kenapa saya tergiur dan mengajukan lagi pinjaman Rp 2 juta setelah lunasi pinjaman sebelumnya dari duit minjam di fintech kedua. Pokoknya saya seperti terhipnotis dengan tawaran-tawarannya. Kini saya sampai pakai 10 aplikasi pinjaman online, dan total hutang saya jadi Rp 15 juta, karena gali lubang tutup lubang. Saya bingung mau gimana, dan ingin sekali lepas dari ini,” ujar perempuan yang tinggal di Denpasar ini.
Mawar menyadari dirinya harus membayar utang tersebut, karena ini merupakan tanggungjawabnya sebagai peminjam.
Namun, yang ia persoalkan adalah cara penagih utang dari pihak fintech yang sampai membuka privasinya ke teman, keluarga, dan tempatnya bekerja. Padahal, ia sudah berjanji akan membayar secepatnya.
“Selain itu, kata-katanya juga keras dan kasar. Saat nelpon, si penagih langsung nyerocos tanpa memberi kesempatan saya untuk tanya-tanya,” ujar Mawar.
Ia berharap pihak-pihak terkait bisa menertibkan aplikasi-aplikasi pinjaman online agar tidak semakin banyak orang yang hidupnya tertekan seperti yang ia alami.
“Untung saya masih kuat, tidak sampai bunuh diri. Pokoknya jelek banget rasanya diteror terus,” curhat mawar.(*)
Ikuti berita terkini Tribun Bali di Group WhatsApp Tribun Bali News Update
SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNBALI